Konsekuensi Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Tanpa Perjanjian Perkawinan
Seluk Beluk Hukum Keluarga

Konsekuensi Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Tanpa Perjanjian Perkawinan

​​​​​​​Dalam situasi tertentu, pengadilan bisa memutuskan untuk memberikan bagian harta bersama lebih besar kepada istri ketimbang suami.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 7 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Pernikahan atau biasa disebut dengan perkawinan merupakan hubungan permanen yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan, diakui sah oleh masyarakat yang bersangkutan berdasarkan atas peraturan perkawinan yang berlaku. Namun dalam beberapa kasus, perkawinan dapat berakhir dengan perpisahan atau perceraian dengan berbagai macam alasan dan penyebab.

Jika perceraian itu terjadi, maka pembagian harta gono gini akan muncul sebagai persoalan lain. Harta gono gini akan jadi bagian tuntutan dari kedua belah pihak, baik suami maupun istri. Bahkan tak jarang pembagian harta gono gini menimbulkan perselisihan antara kedua belah pihak.

Pada dasarnya, konsep perkawinan mengalami perubahan. Saat ini dikenal dengan Perjanjian Perkawinan. Banyak pasangan yang menikah memutuskan untuk membuat Perjanjian Perkawinan yang bertujuan memisahkan seluruh harta bawaan dan harta perolehan antara suami istri tersebut.

Tapi banyak juga pasangan yang tidak melakukan Perjanjian Perkawinan sehingga seluruh harta menjadi harta bersama. Saat perceraian terjadi, maka konsekuensi hukum terhadap dua konsep perkawinan ini menjadi berbeda.

Dalam hukum Islam harta bersama disebut juga dengan syirkah. Syirkah adalah percampuran, dalam hal ini yaitu percampuran harta yang diperoleh oleh suami dan istri selama perkawinan berlangsung. Harta yang bersatu karena syirkah selama perkawinan menjadi milik bersama. Jika terjadi perceraian maka harta syirkah tersebut dibagi antara suami istri menurut perimbangan sejauh mana usaha mereka dalam memperoleh harta tersebut.

Konsekuensi atau akibat hukum perceraian terhadap harta bersama diatur dalam Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) yang menyatakan “Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.” Lebih jauh dalam Penjelasan Pasal 37 UU Perkawinan disebutkan bahwa “Yang dimaksud dengan "hukumnya" masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.”

H. Hilman Hadikusuma menjelaskan dalam buku “Hukum Perkawinan Indonesia Menurut: Perundangan Hukum Adat Hukum Agama” (hlm. 189), akibat hukum yang menyangkut harta bersama berdasarkan Pasal 37 UU Perkawinan ini diserahkan kepada para pihak yang bercerai tentang hukum mana dan hukum apa yang akan berlaku, dan jika tidak ada kesepakatan antara mantan suami-istri, hakim dapat mempertimbangkan menurut rasa keadilan yang sewajarnya.

Dalam UU Perkawinan, yang menjadi harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan, sedangkan harta yang diperoleh sebelum perkawinan menjadi harta bawaan dari masing-masing suami dan istri. Harta bawaan dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan berada di bawah penguasaan masing-masig sepanjang para pihak tidak menentukan lain (Pasal 35 UU Perkawinan).

Jika tidak ada perjanjian perkawinan, dalam perceraian harta bawaan otomatis menjadi hak masing-masing suami atau istri dan harta bersama akan dibagi dua sama rata diantara keduanya (Pasal 128 KUHPer, Pasal 97 KHI). Tentunya jika ada perjanjian perkawinan, pembagian harta dilakukan berdasarkan ketentuan dalam perjanjian itu.

Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur “janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.”. Lalu, dijelaskan Hilman (hlm. 193), bagi umat Katolik pada dasarnya tidak ada perceraian dalam agama Katolik, karena agama Katolik menolak adanya perceraian. Namun dalam praktiknya, pasangan Katolik tetap dapat bercerai secara perdata, walaupun secara Katolik perceraian tersebut dianggap tidak sah. Dalam hal yang demikian, perceraian dan pembagian harta bersama berpedoman pada ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”).

Berdasarkan Pasal 126 KUHPer, harta bersama bubar demi hukum salah satunya karena perceraian. Lalu, setelah bubarnya harta bersama, kekayaan bersama mereka dibagi dua antara suami dan isteri, atau antara para ahli waris mereka, tanpa mempersoalkan dan pihak mana asal barang-barang itu.

Pada dasarnya persoalan pembagian harta ini bisa diajukan bersamaan dengan gugatan cerai. Dalam hal demikian maka daftar harta bersama dan bukti-bukti bila harta tersebut diperoleh selama perkawinan disebutkan dalam alasan pengajuan gugatan cerai (posita). Dan kemudian disebutkan dalam tentang permintaan pembagian harta dalam berkas tuntutan (petitum). Putusan pengadilan atas perceraian tersebut akan memuat pembagian harta.

Bagaimana jika dilakukan perjanjian perkawinan yang intinya memisahkan seluruh harta bawaan dan harta perolehan antara suami istri tersebut? Maka ketika perceraian terjadi, masing-masing suami/istri tersebut hanya memperoleh harta yang terdaftar atas nama mereka. Karena tidak dikenal istilah harta bersama atau istilah awamnya “harta gono gini”.

Baik KUHPer maupun UU Perkawinan sudah mengatur pembagian harta bersama dimana harta dibagi dengan besaran yang sama atau 50:50 persen. Tetapi nyatanya aturan ini tidak menjadi patokan kaku bagi hakim yang menangani kasus perceraian dengan kasus harta bersama atau tidak dipisahkan.

Baca:

Harta Bersama Dalam Hukum Positif

Dalam artikel Klinik Hukumonline, berjudul “Harta Bersama Jika Tak Ada Perjanjian Perkawinan”, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Nur Jihad mengatakan bahwa hukum perkawinan tidak hanya mengatur bab mengenai harta bersama, tapi juga harta bawaan. Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri karena perkawinan.

Harta istri tetap jadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami. Harta bawaan masing-masing suami atau istri, serta harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan sepenuhnya berada di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Suami dan isteri mempunyai hak penuh untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing.

Menurut Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan, harta benda yang diperoleh selama perkawinan merupakan harta bersama. Lebih lanjut Pasal 1 huruf f Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjelaskan: Harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan atas nama siapapun.

Dalam suatu kasus misalnya saat menikah suami sudah memiliki rumah dan sepeda motor yang merupakan harta bawaan suami, maka status kepemilikannya tetap ada pada suami ketika terjadi perceraian.

Adapun mengenai harta yang diperoleh setelah menikah statusnya merupakan harta bersama, di mana suami dan istri berhak mendapatkan separuh bagian, kecuali perjanjian perkawinan mengatur lain.

Ketentuan harta bersama lebih lanjut tercantum dalam Pasal 35, 36 dan 37 UU Perkawinan. Selain itu, di atur pula dalam Pasal 85 sampai dengan Pasal 97 KHI. Adapun berikut ini beberapa pasal yang penting untuk diketahui adalah:

Akan tetapi Nur Jihad mengingatkan bahwa ketentuan pembagian harta bersama sebagaimana telah diurai di atas, bukanlah aturan yang bersifat mutlak. Suami istri yang karena suatu alasan memutuskan untuk bercerai, dapat juga melakukan urusan penyelesaian pembagian harta bersama dengan musyawarah atau perdamaian (al-shulh). Sebab bagaimanapun keduanya, pernah saling mencintai, mengasihi, dan menghormati satu sama lain sebagai suami istri.

Porsi Istri Lebih Besar

Pada dasarnya kewajiban menafkahi adalah bagian dari kewajiban suami. Nafkah lahir tersebut bisa berupa makanan, pakaian dan juga tempat tinggal.  Nafkah berasal dari bahasa arab (an-nafaqah) yang artinya pengeluaran. Yakni Pengeluaran yang biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk sesuatu yang baik atau dibelanjakan untuk orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya.

Sementara dalam Al-Quran kewajiban nafkah ini telah dijelaskan Allah SWT. dalam surat Al Baqarah ayat 233 dan Surat At-Thalaaq ayat 6. QS Al-Baqarah ayat 233 berbunyi: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.” Dan QS Ath-Thalaaq ayat 6 berbunyi: “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu (suami) bertempat tinggal menurut kemampuan kamu,…”

QS Al-Baqarah ayat 233 dan QS Ath-Thalaaq ayat 6 menunjukkan kewajiban nafkah berada di pihak suami. Namun dalam menjalani hubungan rumah tangga, tak jarang istri juga turut bekerja untuk membantu ekonomi keluarga. Bahkan banyak pula ditemukan posisi yang berkebalikan dimana istri seakan bertindak sebagai kepala rumah tangga, bekerja dan memenuhi kebutuhan keluarga, sementara suami tidak bekerja. Dalam kasus lain ada juga suami yang tidak memberikan nafkah lahir kepada istri dengan alasan istri bekerja dan memiliki uang sendiri.

Bagaimana jika terjadi perceraian dalam situasi seperti ini? Bagaimana pembagian harta gono gini jika ternyata istri menjalankan kewajiban suami, atau uang istri lebih besar dari suami?

Dalam putusan Mahkamah Agung (MA) No. 78 K/AG/1999, MA memutuskan untuk membagi dua harta antara suami dan istri sesuai ketentuan UU Perkawinan. Salah satu sebab perceraian adalah suami tak bekerja. Dalam perkara ini, MA memutuskan harta bersama dibagi rata, masing-masing seperdua. Anda bisa cek juga putusan MA No. 424 K/Sip/1959.

Dalam artikel klinik Hukumonline “Jika Penghasilan Istri Lebih Besar Daripada Suami’ yang ditulis oleh M. Yasin, pada dasarnya hukum memberikan kebebasan bersama (persetujuan bersama) kepada kedua belah pihak untuk melakukan tindakan terhadap harta bersama. Berdasarkan Pasal 37 UU Perkawinan, jika terjadi perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Jadi, UU Perkawinan memberikan kebebasan untuk mengatur pembagian harta bersama berdasarkan hukum agama, hukum adat, atau hukum lain.

Salah satu asas yang dianut dalam UU Perkawinan adalah asas ekualitas bagi suami isteri. Dengan asas ini berarti suami-isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga sesuai dengan tugas dan tanggungjawab masing-masing. Suami mempunyai kewajiban antara lain memberikan nafkah. Pasal 80 ayat (4) KHI menyebutkan ‘sesuai dengan penghasilannya suami menanggung (a) nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi isteri; (b) biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak; dan (c) biaya pendidikan bagi anak.’

Pemahaman bahwa harta bersama dibagi dua masing-masing mendapat bagian juga disebut dalam literatur, meskipun cenderung diserahkan kepada hukum adat (lihat misalnya M. Yahya Harahap [2007: 45]). Bisa jadi, pandangan ini sejalan pula dengan Pasal 96 KHI dan Pasal 37 UU Perkawinan.

Namun, jika isteri bisa membuktikan di pengadilan telah memberikan tanggung jawab lebih, termasuk membiayai rumah tangga, sangat mungkin pembagiannya lain. Jadi, keadilan dalam konteks ini sangat ditentukan oleh majelis hakim. Pengadilan berwenang menentukan porsi isteri yang menjadi tulang punggung keluarga lebih besar daripada suami dalam pembagian harta bersama.

Jadi, aparat penegak hukum sebaiknya sudah harus berhati-hati dalam pembagian harta bersama apalagi dalam beberapa kasus, suami tidak berpartisipasi signifikan dalam perekonomian keluarga. Hakim agung Abdul Manan (2006: 129) mengingatkan masalah ini: ‘sebaiknya para praktisi hukum lebih berhati-hati dalam memeriksa kasus-kasus tersebut agar memenuhi rasa keadilan, kewajaran, dan kepatutan’. Ia meminta agar hakim mengambil sikap ‘lentur’ agar keadilan tercapai.

Salah satu contoh kasus semacam ini termuat dalam putusan MA No. 266K/AG/2010. Dalam putusan ini, majelis hakim memberikan ¾ bagian kepada isteri, dan sisanya (1/4 bagian) kepada suami. Pertimbangan majelis adalah: berdasarkan bukti dan fakta di persidangan ternyata suami tidak memberikan nafkah dari hasil kerjanya dan seluruh harta bersama diperoleh isteri dari hasil kerjanya, maka demi rasa keadilan, pantaslah Penggugat (isteri) memperoleh harta bersama sebesar yang ditetapkan dalam amar putusan.

Kewenangan hakim bukan hanya menentukan proporsionalitas pembagian harta bersama, tetapi juga memutuskan kemungkinan suami membayar nafkah isteri dan anak-anak pasca perceraian. Putusan MA No. 78 K/AG/2001 menentukan jika terjadi perceraian, maka suami berkewajiban memberikan nafkah iddah dan nafkah mut’ah.

Bahkan dalam putusan No. 24K/AG/2003, MA menghukum suami untuk membayar ‘nafkah lampau’ kepada isteri. Majelis hakim yang memutus perkara merujuk pada Pasal 34 ayat (1) dan ayat (3) UU Perkawinan. Majelis menyatakan ‘kelalaian suami memberikan nafkah kepada isterinya pada masa lampau, karena sudah terbukti di persidangan, maka pihak suami wajib memberikan uang nafkah lampau’.

Tags:

Berita Terkait