Konstitusionalisme Digital
Kolom

Konstitusionalisme Digital

Teknologi digital membawa deretan dampak bagi keseimbangan ekosistem konstitusional.

Bacaan 5 Menit

Dirunut rentang sejarahnya, konstitusi bertujuan menyediakan mekanisme checks and balances kekuasaan. Dalam mekanisme ini, negara merupakan aktor dominan dan utama. Untuk itu, instrumen konstitusi menggariskan cara-cara untuk membatasi kekuasaan negara dengan tujuan menghormati, menjamin, dan melindungi hak-hak dasar warga negara.

Masalah timbul ketika kewajiban menghormati, menjamin, dan melindungi hak-hak dasar warga negara sebagaimana dimuat di dalam dan menjadi materi pokok konstitusi, hanya berlaku untuk dan mengikat negara. Tech corporations tidak secara langsung tunduk pada mekanisme konstitusi. Maka, adalah kewajiban negara untuk memastikan bahwa mereka juga berkewajiban menghormati hak-hak dasar warga negara.

Namun, itu jelas tidak gampang. Kekuasaan baru aktor non-negara itu disokong oleh kapasitas besar yang potensial merugikan negara, dan juga hak-hak dasar warga negara. Bahkan, eksistensi dan fungsi negara dapat dieliminir oleh kuasa teknologi digital. Ada candaan menggelitik. Siapa yang ingin dijumpai untuk menemukan solusi bagi masalah sosial kolektif warga negara? Mungkin bukan lagi negara, tetapi pahlawan super ahli teknologi di industri digital modern. Algoritma akan memberi jawabnya. Akibatnya, teknologi digital menggeser konsepsi dan peran otoritatif negara-pemerintah ke pinggiran, menjadi tidak berguna.

Deskripsi ringkas Jamie Bartlett (2018) mengenai kripto-anarki, gabungan “kripto”, yang berarti matematika tentang menjaga hal-hal tertentu tetap tersembunyi, dan “anarki”, yang berarti tanpa pemerintahan, memperjelas dalil itu. Kripto-anarki identik dengan keputusan sejumlah “penguasa teknologi” untuk membangun teknologi yang membuat ruang digital tidak dapat diatur oleh hukum atau regulasi negara. Mereka punya filosofi bahwa enkripsi, seni dan ilmu untuk menyembunyikan rahasia dari orang yang anda ingin orang itu tidak mengetahui rahasia tertentu, namun rahasia itu dapat muncul pada orang yang anda inginkan, bisa digunakan untuk menciptakan ruang kebebasan daring dan mungkin mendorong masyarakat dekat dengan “surga anarkis’, tempat negara-pemerintah, menjadi sangat lemah.

Kehadiran aktor kekuasaan non-negara ini, oleh Celeste dikatakan, telah mempengaruhi keseimbangan ekosistem konstitusional. Ini membuktikan sinyalemen Sartor (2017) bahwa ekosistem konstitusional tidak kebal terhadap kekuatan industri teknologi digital. Tech corporations itu secara faktual memiliki kekuasaan untuk mengatur individu warga negara ketika mengakses dan menggunakan instrumen teknologi digital yang dikelolanya. Alhasil, mereka punya kuasa mempengaruhi, bahkan menentukan cara-cara warga negara dalam melaksanakan atau menggunakan hak-hak dasarnya. Pada titik ini, negara dan perlindungan hak-hak dasar warga negara sama-sama berada dalam ancaman.

Betul bahwa pelanggaran hak-hak dasar warga negara oleh aktor non-negara bukan hal baru. Tapi dalam konteks masyarakat digital, kemungkinan pelanggaran itu akan semakin meningkat dilakukan. Artinya, kemungkinan aktor non-negara mengganggu atau melanggar hak dasar warga bisa berlipat kali lebih intens ketimbang sebelumnya. Celakanya, situasi ini tidak tertangani secara memadai oleh mekanisme power balancing yang diatur konstitusi. Sebab, dari definisi muasalnya, konstitusi lebih banyak dan lebih fokus menyediakan aturan dasar mengenai hubungan warga negara dengan negara.

Gagasan Konstitusionalisme Digital

Menjadi tidak adil kalau menyalahkan belaka tech corporations, apalagi mengutuk teknologi itu sendiri. Tak terbayangkan kehidupan masa kini dan mendatang tanpa mereka. Menggemakan romantisme kehidupan pra-teknologi digital, jelas tak ada faedah. Ini soal keterbatasan jangkauan antisipasi futuristik ajaran konstitusionalisme yang dicipta dan dipertahankan para pemikir negara, dari satu zaman ke zaman berikutnya. Itu sebabnya, penting memikirkan bagaimana konstitusionalisme mampu merespon situasi kontemporer, terutama yang disebabkan oleh masifnya penetrasi teknologi digital.

Tags:

Berita Terkait