Kontribusi DNA Forensik dalam Merevisi Penghukuman yang Salah
Kolom

Kontribusi DNA Forensik dalam Merevisi Penghukuman yang Salah

​​​​​​​Pemanfaatan pemeriksaan DNA dalam peradilan pidana di Indonesia menghadapi beberapa tantangan.

Bacaan 2 Menit
Choky R Ramadhan. Foto: Istimewa
Choky R Ramadhan. Foto: Istimewa

Sengkon dan Karta dihukum karena tuduhan merampok dan membunuh pasangan suami-istri pada tahun 1974. Mereka kemudian bebas setelah pelaku sebenarnya mengaku. Penghukuman yang salah (salah hukum) juga terjadi pada David, Kemat, dan Andro. Mereka sempat meraskan kelamnya hidup di balik jeruji besi sebelum Mahkamah Agung memutuskan bahwa mereka tidak bersalah.

Tidak hanya di Indonesia, praktik salah hukum juga terjadi di Amerika Serikat (AS). Ted Bradford, seseorang yang sebenarnya tidak bersalah, mendekam di penjara selama empat belas tahun. Ted kemudian bebas berkat kontribusi DNA forensik yang membuktikan bahwa dia bukan pelaku pemerkosaan. Meski bebas, Ted sayangnya telah kehilangan pekerjaan dan mengalami perceraian.

Penghukuman kepada orang yang tidak bersalah jelas merenggut hak konstitusional untuk mendapatkan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil. Hak-hak lainnya, terutama untuk memperoleh pendidikan dan pekerjaan akan hilang pula jika mereka mendekam sekian tahun di penjara. Selain itu, mereka juga berpotensi mengalami keretakan dalam berkeluarga seperti yang dialami Ted Bradford. Praktik buruk tersebut juga jelas menciderai tujuan penegakan hukum pidana: menghukum pelaku kejahatan yang sebenarnya agar dirinya mendapatkan balasan (retributif), jera (deterrence), dan memperbaiki dirinya (rehabilitatif).

Di Amerika Serikat, tes DNA pertama kali digunakan untuk membebaskan Gary Dotson pada tahun 1989. Setelah 10 tahun tinggal di balik jeruji besi, Dotson yang dihukum karena tindak pidana penculikan dan perkosaan terbantukan oleh kemajuan teknologi DNA. DNA atau Deoxyribo Nucleic Acid, ialah sebuah asam nukleat di dalam sel yang memiliki informasi tentang materi genetik.

DNA pada darah sama dengan yang terdapat pada rambut, kulit, ludah, tulang, dan bagian tubuh seseorang. DNA seseorang tidak mungkin sama dengan DNA orang lain, kecuali kembar identik, serta tidak berubah sepanjang hidup seseorang (NCJRS). Dotson mengajukan pemeriksaan DNA paska putusan (post-conviction DNA testing trial) untuk membuktikan bahwa sperma pada barang bukti korban bukan milik Dotson.

Keberhasilan Dotson menginspirasi pembentukan Innocence Project di Cardozo School of Law pada tahun 1992. Selama 3 dekade, organisasi ini berkembang dan bertambah cabang di berbagai negara bagian di Amerika Serikat. Mereka telah berhasil membebaskan 367 orang yang tidak bersalah dengan dukungan pemeriksaan DNA sekaligus mendata berbagai penyebab salah hukum.

Penyebab Salah Hukum

Tahapan pra-persidangan, terutama yang dilakukan oleh penyidik, menjadi faktor utama terjadinya menghukum orang yang tidak bersalah (innocent) (Simon, 2009). Penyidik membawa alat bukti yang tidak akurat kepada jaksa untuk dituntut di pengadilan. Di AS, Garret dan Innocence Project menyimpulkan empat jenis ketidakakuratan bukti yang dihasilkan oleh penyidik, yaitu; pengakuan yang dipaksakan, informan yang tidak valid, saksi yang salah mengidentifikasi, serta ketidakuratan analisis forensik (Garret, 2011). Keempat hal ini dapat dijadikan pijakan untuk mengevaluasi peradilan pidana di Indonesia.

Pertama, pengakuan tersangka diperoleh dengan pemaksaan psikologis atau penyiksaan fisik yang dilakukan oleh penegak hukum. Innocence Projet mencatat terjadinya pengakuan secara terpaksa pada 28% kasus yang berhasil dibebaskan. Di Indonesia, pengakuan yang diperoleh dari kekerasan seperti ini juga masih terjadi. Dalam kasus Andro, penyidik menyiksa Andro dengan memukul dan menyetrum tubuhnya agar terucap pengakuan atas pembunuhan yang tidak dilakukannya. PBHI mencatat setidaknya terjadi 1089 kasus penyiksaan terhadap tersangka di Indonesia (Radjab dkk, 2012).

Kedua, penegak hukum seringkali menggunakan informan yang tidak valid untuk mengungkap suatu kasus. Di AS, penegak hukum bekerjasama dengan terpidana lainnya di rumah tahanan atau lembaga pemasyakatan sebagai informan. Penggunaan informan seperti ini terjadi pada 17% kasus yang dibebaskan oleh Innocence Project. Di Indonesia, informan yang menjebak ditemukan LBH Masyarakat sebagai praktik yang lazim dilakukan oleh Penyidik dalam kasus Narkotika (Gunawan, 2012).

Ketiga, kesalahan saksi dalam mengidentifikasi pelaku. Di AS, hal ini memberikan persentase terbesar, sekitar 69 %, sebagai bukti yang meyakinkan pengadilan untuk menghukum orang yang tidak bersalah. Di Indonesia, penyidik sempat salah menetapkan tersangka karena kesalahan saksi dalam mengidentifikasi pelaku. Penyidik mengetahui di kemudian hari bahwa saksi mengalami kelainan jiwa. Memori manusia tidaklah sempurna karena berpotensi lupa atau terpengaruhi. Beberapa faktor mempengaruhi keakuratan kesaksaian, seperti: jarak saksi dengan kejadian, umur dan kondisi psikis saksi (stress), atau pertanyaan menyudutkan oleh penyidik (Wise, Fishman, Safer, 2009).

Keempat, ketidakakuratan analisis forensik berkontribusi terhadap 44% kasus salah hukum di AS. Sebelum tes DNA digunakan, aparat penegak hukum AS kerap kali menggunakan sidik jari, perbandingan rambut, atau penggolongan darah (Reno dkk., 2014).  Dibandingkan dengan teknologi terdahulu, tes DNA diyakini sebagai teknologi terkini yang paling valid dan dapat dipertanggungjawabkan dalam membuktikan suatu tindak pidana. Tingkat probabilitas tes DNA lebih tinggi dibandingkan teknologi forensik lainnya (Garett, 2011).

Peluang dan Tantangan di Indonesia

Pemeriksaan DNA pada peradilan pidana Indonesia bukan hal yang baru. Pada tahun 2008 di Indonesia, hasil tes DNA menjadi alat bukti penting untuk Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali David dan Kemat. Mereka merupakan pihak yang tidak bersalah (innocent) namun dihukum oleh Pengadilan Negeri Jombang karena turut serta membunuh Asrori. Tujuh bulan paska putusan tersebut, keduanya dibebaskan karena hasil tes DNA membuktikan mayat yang diidentifikasi bukanlah Asrori sebagaimana dakwaan jaksa. Oleh karenanya, dia terbukti tidak melakukan tindak pidana pembunuhan dan bebas.

Kasus tersebut dapat menjadi rujukan sekaligus peluang bagi pihak yang tidak bersalah memproleh keadilan melalui pemeriksaan DNA. Terdakwa atau terpidana dapat mengajukan kepada pengadilan untuk diberi kesempatan melakukan pemeriksaan DNA terhadap barang bukti. Hasil pemeriksaan DNA kemudian dapat digunakan sebagai alat bukti surat atau keterangan ahli apabila dihadirkan ahli forensik untuk menjelaskannya di pengadilan.

Pemanfaatan pemeriksaan DNA dalam peradilan pidana di Indonesia menghadapi beberapa tantangan. Pertama, terdakwa atau terpidana memiliki hambatan untuk mengakses barang bukti yang disimpan oleh penegak hukum. Akses terhadap barang bukti tersebut penting untuk melakukan pemeriksaan silang, termasuk pemeriksaan DNA.

Pada kasus David dan Kemat, pengacara mereka memperoleh hasil pengujian DNA korban Asrori bukan hasil pemeriksaan silang dalam perkaranya. Akan tetapi, pengujian DNA dilakukan oleh penyidik di Pusat Laboratorium dan Forensik (Puslabfor) Kepolisian untuk membuktikan pembunuhan yang dilakukan Very Idham (alias Rian Jombang).

Kedua, barang bukti yang memiliki sampel jaringan biologis untuk diuji DNA belum tentu disimpan dengan baik oleh penegak hukum. Dalam suatu putusan pidana, majelis hakim umumnya memerintahkan jaksa untuk memusnahkan barang bukti, merampas barang bukti untuk negara, atau mengembalikan barang bukti kepada korban. Ketiadaan aturan dan panduan penyimpanan barang bukti yang berpotensi diuji DNA dapat menutup akses keadilan terpidana.

Ketiga, akses terdakwa atau terpidana terhadap pembiayaan pemeriksaan DNA beserta ahli forensik untuk memberikan keterangan di pengadilan. Pengujian DNA memakan biaya yang tidak murah. Negara perlu mengalokasikan sumber dayanya untuk mendukung kepentingan terdakwa atau terpidana agar memiliki kesetaraan dengan jaksa penuntut umum (equal arms)di pengadilan.

Berbagai tantangan tersebut dapat diatasi dengan memberikan bantuan hukum kepada pihak yang tidak bersalah, mereformasi sistem peradilan pidana, serta mengedukasi berbagai pihak terutama aparat penegak hukum. Upaya tersebut perlu didukung dengan kolaborasi bersama antara advokat, penegak hukum, perguruan tinggi, ahli forensik, dan juga institusi riset yang fokus pada perubahan peradilan pidana. Kolaborasi antar pihak tersebut menjadi salah satu kunci keberhasilan Innocence Project di AS dalam mendobrak dan memperoleh dukungan luas dalam merevisi penghukuman yang salah beserta sistem peradilan pidananya.

*)Choky R. Ramadhan, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait