Kontroversi Kedaulatan Udara: Complete and Exclusive Sovereignty
Kolom

Kontroversi Kedaulatan Udara: Complete and Exclusive Sovereignty

​​​​​​​Tindakan Pemerintah Indonesia terhadap Ethiopian Airlines bukanlah tindakan pelanggaran, bahkan memiliki justifikasi dalam Hukum Internasional.

Bacaan 2 Menit

 

Chicago Convention 1944 membedakan dua jenis penerbangan yang untuk selanjutnya memiliki karakteristik dan juga hak serta kewajiban yang berbeda. Penerbangan yang dimaksud adalah penerbangan berjadwal (scheduled flight) dan penerbangan yang tidak berjadwal (non scheduled flight).

 

International Civil Aviation Organization (ICAO) memberikan batasan atau definisi mengenai yang dimaksud dengan scheduled flight atau services yaitu merupakan penerbangan yang memiliki karakteristik di antaranya melakukan penerbangan melintasi wilayah suatu negara lebih dari satu negara, dilakukan oleh pesawat untuk melakukan pengangkutan terhadap penumpang, cargo untuk suatu remunerasi dan juga terbuka untuk publik dan juga berdasarkan suatu jadwal yang terpublikasikan ataupun merupakan suatu penerbangan yang regular atau dengan frekuensi tertentu.

 

Sedangkan non scheduled flight merupakan penerbangan yang biasa dikenal dengan chartered aircraft yang terdiri dari empat kategori yaitu penerbangan carter yang mengangkut penumpang (passenger charter flight), penerbangan carter untuk cargo (cargo charter flight), atau kombinasi diantara keduanya ataupun jenis penerbangan lain yang tidak berdasarkan suatu jadwal yang dipublikasikan namun dilakukan untuk individu tertentu. 

 

Untuk penerbangan tidak berjadwal atau non-scheduled flight, Chicago Convention 1944 mengaturnya dalam Pasal 5. Lebih lanjut, konvensi memberikan batasan bahwa terhadap penerbangan tidak berjadwal ini negara peserta sepakat untuk memberikan hak kepada jenis penerbangan ini untuk terbang melintasi atau transit tanpa berhenti atas wilayah udara suatu negara atau untuk melakukan pendaratan dengan tujuan non-traffic purposes tanpa lebih dulu mendapatkan izin dari negara setempat. 

 

Pengaturan Pasal 5 ini adalah sebagai bentuk diimplementasikannya hak lintas damai (innocent passage) dalam aktifitas penerbangan. Namun demikian, dalam pasal ini lebih lanjut ada beberapa ketentuan yang memerlukan penafsiran dan juga tidak terlepas dari ketentuan pasal lainnya dari Chicago Convention 1944. Bahwa ketentuan Pasal 5 ini juga mengakui bahwa implementasi pasal ini tidak dapat terlepas dari ketentuan untuk tujuan dari konvensi melalui ketentuan, subject to the observance of the terms of this convention. Selain itu juga, pasal ini memberikan kemungkinan adanya hak bagi setiap negara untuk mengatur dan memberikan atau tidak memberikan izin terhadap jenis penerbangan tersebut.

 

Berbeda halnya dengan ketentuan Pasal 6 Chicago Convention 1944 yang dengan tegas mengatur berbeda terhadap ketentuan penerbangan berjadwal (scheduled flights). Dengan tegas pasal ini mengatur bahwa terhadap suatu penerbangan berjadwal yang beroperasi dan melintas wilayah udara suatu negara peserta harus mendapatkan izin atau otorisasi dari negara setempat dan tidak ada suatu penerbangan berjadwal yang dapat beroperasi tanpa izin atau otorisasi dari negara setempat atau juga yang dikenal dengan negara kolong (subjacent state).

 

Implementasi Pasal 5 Chicago Convention 1944 khususnya terhadap kasus Ethiopian Airlines sudah seharusnya ditafsirkan dengan memperhatikan ketentuan -ketentuan lain dalam Chicago Convention 1944 serta memperhatikan tujuan dari konvensi untuk menghormati kedaulatan negara di ruang udara. Walaupun Pasal 5 Chicago Convention 1944 mengatur bahwa terhadap non scheduled flight memiliki hak untuk untuk terbang melintasi wilayah udara negara lain tanpa mendapatkan izin terlebih dahulu, namun hak tersebut dapat dikatakan sebagai hak terbatas yang dibatasi oleh ketentuan pasal lain dari Chicago Convention 1944.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait