Korupsi di Sektor Swasta yang Luput dari Perhatian
Kolom

Korupsi di Sektor Swasta yang Luput dari Perhatian

Harus ada konsistensi dalam penegakan hukum baik terhadap korupsi di sektor publik maupun di sektor swasta.

Bacaan 2 Menit
Frans H Winarta. Foto: Istimewa
Frans H Winarta. Foto: Istimewa

Tak bosannya kita selalu mendengar jargon di TV berupa kata-kata: “Lawan Korupsi!” atau “Berantas Korupsi”. Namun hingga detik ini, budaya korupsi dan suap masih merajalela hampir di seluruh bidang kehidupan negeri ini. Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK telah berhasil menjerat banyak pejabat publik yang diduga menyalahgunakan kekuasaannya demi kepentingan pribadi dan golongan serta mengorbankan kepentingan rakyat dengan tetap melakukan korupsi.

 

Yang luput dari perhatian, korupsi tidak hanya terjadi di sektor publik dan merugikan keuangan negara, namun bisa juga terjadi di sektor swasta. Korupsi yang terjadi di sektor swasta ini belum diatur secara komperehensif di dalam hukum positif Indonesia, meski secara internasional sudah disepakati dalam United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) yang kemudian diratifikasi melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 2006.

 

Tindakan korupsi di sektor swasta yang diatur di dalam UNCAC contohnya adalah tindakan memperkaya diri sendiri secara tidak sah (illicit enrichment- kekayaan yang diperoleh dari cara tidak wajar), penggelapan kekayaan di sektor swasta, penyuapan di sektor swasta, dan perdagangan pengaruh. Karena suap di sektor swasta di dalam UNCAC bersifat non-mandatory, hingga kini Indonesia belum memiliki aturan yang jelas mengenai pemberantasan korupsi di sektor swasta.

 

Pada tahun 2016 memang terbit Peraturan Mahkamah Agung RI No 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi, tapi Perma tersebut tidak cukup mengatur mengenai korupsi yang terjadi di sektor swasta. Padahal di negara-negara lain, korupsi dan suap di sektor swasta sudah diatur ke dalam perundang-undangan dan memiliki ancaman pidana tersendiri, baik di dalam KUHP maupun di dalam undang-undang yang mengaturnya.

 

Selain itu, berdasarkan survei yang ada, tingkat korupsi di sektor swasta di Indonesia cukup merisaukan. Korupsi di sektor swasta contohnya di level sebuah perusahaan dapat membuat beban pengeluaran perusahaan menjadi tinggi namun tidak sebanding dengan kualitas produk atau layanan yang ditawarkan, belum lagi adanya penyuapan, mengambil komisi yang tidak seharusnya, menjual rahasia perusahaan, dan sebagainya. Sedangkan di level negara, korupsi di sektor swasta berdampak pada inefisiensi sehingga dapat mengakibatkan kerugian ekonomi dan menghambat pembangunan berkelanjutan.

 

Pengembalian Aset

Selain mulai memerangi korupsi di sektor sektor swasta, pemerintah juga harus fokus kepada bagaimana cara menarik aset hasil kejahatan yang dilakukan oleh koruptor. Apalagi sudah menjadi rahasia umum bahwa aset yang dimiliki koruptor dengan cara-cara kotor seringkali dilarikan ke negara lain atau disebut juga sebagai pencucian uang (money laundering), yang merupakan kejahatan transnasional di samping perdagangan manusia (human trafficking) sertapenjualan senjata gelap, dan narkotika.

 

Oleh karena itu, pemerintah Indonesia harus meningkatkan kerja sama internasional, baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara penandatangan The United Nations Convention against Corruption (UNCAC) untuk melacak, membekukan, menyita, dan mengembalikan aset (asset recovery) hasil tindak pidana korupsi di luar negeri. Jika tidak, pemerintah akan kesulitan dalam melakukan penelusuran dan pengembalian aset (asset recovery) yang dibawa lari oleh koruptor tersebut.

 

Penandatanganan perjanjian bantuan hukum timbal balik (mutual legal assistance/MLA) seperti yang baru-baru ini dilakukan antara Indonesia dengan Swiss, bisa dikatakan sebagai salah satu upaya penting yang dilakukan pemerintah dalam rangka menanggulangi korupsi serta pencucian uang yang dilakukan oleh para koruptor. Bantuan hukum timbal balik biasanya dilaksanakan di lingkup pidana, di mana permintaan bantuan berkenaan dengan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan negara penandatangan perjanjian.

 

Bentuk bantuan yang dilakukan biasanya berupa identifikasi atau mencari seseorang, mendapatkan dokumen tertentu, melaksanakan permintaan penggeledahan dan penyitaan, perampasan hasil tindak pidana, membekukan aset, serta bantuan lainnya sesuai kesepakatan pihak di dalam perjanjian tersebut.

 

Dengan adanya perjanjian MLA yang telah dilaksanakan, negara Indonesia dan Swiss bisa saling bekerja sama serta bertukar informasi jika ada koruptor yang hendak menyembunyikan hasil kejahatannya di Swiss. Lebih baik lagi jika kerja sama tersebut dilanjutkan dengan adanya perjanjian ekstradisi sehingga kedua negara yang menandatangani perjanjian ekstradisi tersebut dapat saling menyerahkan tersangka kejahatan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya di negara asal.

 

Jika hal-hal tersebut telah dilakukan oleh pemerintah RI, maka hal selanjutnya adalah pemberian dukungan penuh kepada KPK dalam memerangi korupsi baik yang melibatkan pejabat maupun sektor swasta. Hal ini dilakukan agar aset negara atau swasta yang berjumlah miliaran bahkan triliunan bisa diselamatkan dan disita kembali dari luar negeri dan juga pada akhirnya, larinya aset hasil kejahatan para koruptor ke luar negeri dapat dicegah.

 

Paling penting, pada akhirnya, jangan sampai vonis yang diberikan oleh majelis hakim di pengadilan kepada para koruptor serta pelaku suap tidak mencerminkan keadilan dan kepastian hukum. Di mana vonis yang diberikan biasanya tidak membuat jera pelaku kejahatan, sehingga korupsi dengan kerugian miliaran dan triliunan serta suap di sektor swasta dengan jumlah angka yang fantastis masih akan tetap dan terus terjadi.

 

Pemberantasan korupsi jangan hanya fokus pada pemidanaan saja namun para koruptor harus dimiskinkan. Hal ini sebagai peringatan bahwa tindak pidana korupsi dan suap itu adalah tindakan yang berbahaya (insidious) dan menjijikkan (odious), sehingga tidak ada gunanya dilakukan, dan sangat merugikan bagi masa depan bangsa.

 

Memang benar apa yang dirisaukan oleh mantan presiden Nigeria, Shehu Shagari di tahun 1982 pada masa pemerintahannya dahulu: “What worries me more than anything among our problems, is that of moral decadence in our country. There is the problem of bribery, corruption, lack of dedication to duty, dishonesty, and all such vices”.

 

Korupsi begitu dibenci oleh seluruh umat manusia, oleh karena itu, jargon-jargon anti-korupsi di Indonesia jangan hanya berhenti jadi wacana saja, namun harus ada konsistensi dalam penegakan hukum baik terhadap korupsi di sektor publik maupun di sektor swasta. Dengan kemauan yang kuat, sistem penanganan tindak pidana korupsi di sektor swasta harus disusun secara komperehensif ke dalam perundang-undangan agar ada perbaikan ke depan.

 

*)Frans H. Winarta adalah delegasi Vatikan di Konferensi Sesi Ke-2 UNCAC di Nusa Dua, Bali, 2008 dan mantan anggota Governing Board Komisi Hukum Nasional RI.

 

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline

Tags:

Berita Terkait