Diskursus tentang hubungan penindakan keras terhadap pelaku tindak pidana korupsi dengan investasi masih terus muncul. Selama ini pandangan para pemangku kepentingan terbelah. Sebagian pejabat pemerintahan menganggap investasi berjalan lambat karena operasi tangkap tangan yang terus dilakukan KPK sehingga para pejabat, terutama di daerah, tidak berani berinovasi.
Staf Ahli Bidang Ekonomi dan Kemaritiman Kementerian Koordinator Perekonomian, Edi Prio Pambudi, misalnya, mengharapkan penegakan hukum tidak sampai mengganggu investasi. Pandangan lain menganggap sebaliknya, korupsi malah jadi penyakit yang menghambat masuknya investasi.
Dalam peringatan Hari Antikorupsi Internasional (Hakordia), Rabu (11/12) kemarin, diskursus ini kembali mengemuka. Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif menegaskan bahwa korupsi justru faktor penting yang menghambat investasi. Mengutip data The Global Competitive Index, sejak 2016 hingga 2017 korupsi merupakan faktor terbesar yang menghambat investasi.
Data KPK sejak 2004-2018 menunjukkan setidaknya 64 persen perkara korupsi dilakukan dengan modus penyuapan. Penyuapan itu justru mengganggu iklim berusaha. "Penghambat utama investasi di Indonesia itu adalah korupsi. Korupsi bidang apa saja salah satunya itu adalah pejabat publik yang masih minta ekstra payment. Kadang dilama-lamain prosesnya, sehingga mereka (investor –red)menganggap bahwa itu sebagai hambatan utama," kata Syarif.
(Baca juga: RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja untuk Sederhanakan Izin dan Investasi).
Oleh karena itu, menurut Syarif, pencegahan dan pemberantasan korupsi itu harusnya terus menerus diperbaiki dan dikuatkan jika ingin meningkatkan investasi. Pandangan ini juga dikuatkan ahli pemberantasan korupsi global seperti Robert Klitgaard, ekonom dari Claremont Graduate University, California, Amerika Serikat. Klitgaard adalah penulis buku Controlling Corruption, yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Syarif menceritakan perhatian pengusaha Arab Saudi ketika hendak mengembangkan satu kawasan industri, konsep yang pertama diperiksa adalah ada tidaknya titik nol untuk korupsi (zero corruption). Kalangan pengusaha justru ingin ada kejelasan, tidak ada biaya ekstra. “Memang dunia usaha sangat suka berinvestasi yang memiliki kejelasan," terangnya.
Hambatan lain dalam sebuah investasi adalah masalah ketidakpastian hukum. Dari segi regulasi, pengusaha mengeluhkan banyaknya peraturan, beragam dan tumpang tindih. Ketidakpastian juga terjadi dalam penegakan hukum. Indonesia, kata Syarif bisa mengambil contoh dari apa yang dilakukan Kamar Dagang di Amerika Serikat. Mereka akan memberi pembayaran lebih untuk mengurus suatu perizinan asalkan ada bukti pembayaran sehingga uang yang diberikan itu jelas peruntukannya dan tidak dikorupsi oleh oknum terkait. Jika mereka memberikan sejumlah uang tanpa adanya bukti bayar ataupun kwitansi, maka itu dianggap sebagai suap. Jika pemerintah Amerika Serikat mengetahui hal tersebut pengusaha itu akan berpotensi terkena hukuman. Inggris juga mengatur hal senada lewat UK Bribery Act (Undang-Undang Penyuapan di Inggris).