KPPU Tinjau Ulang Regulasi Notifikasi Merger dan Akuisisi
Berita

KPPU Tinjau Ulang Regulasi Notifikasi Merger dan Akuisisi

Ada aturan yang sudah tak relevan diterapkan. Perlu dibuat lebih rinci.

Oleh:
Hamalatul Qur’ani
Bacaan 2 Menit
Hukumonline bersama kantor hukum HHP menggelar diskusi webinar tentang persaingan usaha. Foto: RES
Hukumonline bersama kantor hukum HHP menggelar diskusi webinar tentang persaingan usaha. Foto: RES

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sedang meninjau regulasi yang berkaitan dengan merger dan akuisisi. Peninjauan ketentuan ini merujuk pada masalah yang terjadi di lapangan setelah regulasi diterapkan. Misalnya, Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (Perkom) No. 3 Tahun 2019 tentang Penilaian terhadap Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Diundangkan sejak 3 Oktober tahun lalu, Perkom ini dianggap terlalu ringkas atau tinci sehingga potensial menimbulkan persoalan hukum dalam praktik.

Tak hanya Perkom No. 3 Tahun 2019, KPPU melihat ada masalah juga dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 57 Tahun 2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Beberapa bagian dari PP ini dinilai sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini.

Ketua KPPU, Kurnia Toha mencontohkan, ketentuan penjumlahan nilai asset dan/atau nilai penjualan perusahaan yang melakukan merger dan akusisi. Pasal 5 PP No. 57 Tahun 2010 tegas menyebutkan bahwa perhitungan aset/penjualan gabungan yang dimaksud merupakan penjumlahan aset/penjualan para pihak yang melakukan transaksi merger dan akuisisi (M&A), ditambah dengan nilai aset/omset seluruh Badan Usaha yang mengendalikan atau dikendalikan oleh para pihak tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung.

(Baca juga: Perbedaan Mendasar Merger dan Akuisisi).

Faktanya, kini perusahaan pengendali dapat memiliki banyak anak perusahaan (subsidiary company). Bidang usaha perusahaan subsidiary mungkin sudah tidak memiliki keterkaitan sama sekali dengan anak perusahaan lain ketika akan melakukan transaksi merger atau akuisisi. Bahkan, mungkin saja nilai transaksi dari perusahaan yang akan melakukan merger ini lebih rendah dari Rp2,5 triliun. Memang, jika dihitung dari nilai aset gabungan perusahaan pengendali, asetnya bisa di atas Rp5 triliun, dan mungkin dituding konglomerasi.

“Padahal nilai transaksinya bisa sangat kecil sekali dan tidak perlu dilaporkan, tapi karena ketentuan ini bisa jadi konglomerasi,” jelas Kurnia dalam webinar hukumonline 2020 bertajuk ‘Prosedur Pelaporan Merger dan Akuisisi di KPPU & Mitigasi Risiko Bagi Pelaku Usaha’, Rabu, (13/05).

Kurnia menjelaskan sudah Biro Hukum KPPU untuk mengajukan revisi atas PP No. 57 Tahun 2010. Sayangnya, pengajuan masih tertunda akibat masa pandemi Covid-19. KPPU akan menajukan ide perubahan ini ke Kementerian Hukum dan HAM. “Kalau mau amandemen PP No. 57 Tahun 2010 itu kan harus ajukan ke Kemenkumham dulu, nanti Kumham yang akan menjadi insiatior bisa diamandemen atau tidak,” jelasnya.

Contoh ketentuan lain yang perlu diubah adalah Hierfiendahl Hiersmann Index (HHI). Batasan tingkat konsentrasi pasar dengan nilai HHI paling rendah 1.800 sangat rendah jika dibandingkan dengan nilai HHI yang diterapkan di banyak negara. Sekadar informasi, jika  nilai HHI perusahaan yang melakukan merger di bawah 1.800, artinya tidak ada  kekhawatiran munculnya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, karena tingkat konsentrasi pasar rendah dan tidak akan mengubah struktur pasar.

Tags:

Berita Terkait