Kritik atas Pertanggungjawaban Pengurus Korporasi dalam RKUHP
Kolom

Kritik atas Pertanggungjawaban Pengurus Korporasi dalam RKUHP

Menyamakan begitu saja antara korporasi dan pengurus korporasi, menunjukkan kegagalan untuk melihat bahwa korporasi dan pengurusnya merupakan dua subjek hukum yang berbeda.

Bacaan 6 Menit

Teori tentang Pertanggungjawaban Pengurus

Lalu apakah pengurus korporasi dapat dipidana jika terjadi tindak pidana korporasi? Jawabannya, tentu saja dapat. Tetapi pengurus ini tidak dipidana secara otomatis, dan bukan semata-mata karena kedudukannya sebagai pengurus korporasi. Pengurus hanya dapat dipidana apabila terbukti memiliki kontribusi di dalam tindak pidana.

Secara teoretis, kontribusi pengurus di dalam tindak pidana dapat dirumuskan dalam tiga kelompok. Pertama, pengurus adalah pihak yang melakukan tindak pidana. Kedua, pengurus turut serta dalam tindak pidana yang terjadi, seperti memerintahkan, membujuk, atau membantu tindak pidana. Selama ini, kedua bentuk kontribusi ini telah dirumuskan di dalam Pasal 55 dan 56 KUHP.

Kontribusi ketiga adalah kegagalan pengurus melakukan upaya pencegahan tindak pidana, padahal ia mengetahui adanya tindak pidana yang telah atau akan dilakukan, dan memiliki kekuasaan untuk melakukan pencegahan. Hal ini tampak di dalam konsep responsible corporate officer (RCO) yang dipraktikkan di Amerika Serikat, sebagaimana tercermin dalam kasus United States v. Iverson [162 F.3d 1015 (9th Cir. 1998)], United States v. Ming Hong [242 F.3d 528 (4th Cir. 2001)], dan United States v. Hansen [262 F.3d 1217 (11th Cir. 2001)].

Pengurus akan terbebas dari pertanggungjawaban jika ia telah melakukan pencegahan atau mampu menunjukkan bahwa terhadap tindak pidana yang dilakukan tidak mungkin dilakukan pencegahan (impossibility defence). Di Belanda, pengurus akan bertanggungjawab jika termasuk ke dalam orang yang memerintahkan tindak pidana atau yang menjadi pemimpin faktual. Untuk dikategorikan sebagai pemimpin faktual, seorang pengurus harus memiliki kekuasaan dan menerima tindak pidana. Kata “menerima” ini oleh Drijfmest-arrest (HR, 21 Oktober 2003) diartikan sedemikian rupa sehingga meliputi: tindak pidana diterima atau biasanya diterima oleh pengurus, atau kegagalan pengurus untuk melakukan upaya yang layak dalam mencegah tindak pidana. 

Miskonsepsi tentang pertanggungjawaban korporasi dan pengurusnya telah dikoreksi oleh Peraturan Jaksa Agung No. Per-028/A/JA/10/2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara Pidana dengan Subjek Hukum Korporasi dan juga dalam Rancangan Peraturan Mahkamah Agung terkait penanganan kasus lingkungan. Di dalam peraturan ini, secara jelas syarat bagi pertanggungjawaban korporasi dibedakan dari pertanggungjawaban pengurus korporasi.

Selain itu, Peraturan Jaksa Agung dan Rancangan Peraturan Mahkamah Agung di atas juga telah mengakomodir kemungkinan penerapan pertanggungjawaban pengurus atas dasar: pengurus melakukan tindak pidana, pengurus turut serta dalam tindak pidana, atau pengurus gagal melakukan pencegahan tindak pidana. Sayangnya, langkah koreksi ini akan sia-sia apabila ketentuan Pasal 37 huruf b dan Penjelasan Pasal 48 RKUHP dipertahankan seperti sekarang.

Penutup

Dari Pasal 37 huruf b dan Penjelasan Pasal 48 RKUHP dapat disimpulkan bahwa seorang pengurus dapat dipidana karena tindak pidana orang lain (bawahan) atau tindak pidana yang dilakukan korporasi. Karena pengurus korporasi adalah subjek hukum manusia, maka dimungkinkan sanksi pidana yang dijatuhkan adalah penjara. Dengan kata lain, Pasal 37 huruf b dan Penjelasan 48 RKUHP membuka kemungkinan seseorang dipenjara atas perbuatan pidana orang lain!

Tags:

Berita Terkait