Larangan Eks Terpidana dalam Pilkada di Mata Ahli
Berita

Larangan Eks Terpidana dalam Pilkada di Mata Ahli

Pasal yang dimohonkan pengujian ini seolah telah memperlakukan orang tidak manusiawi dan memandang rendah orang yang pernah menjadi terpidana.

ASH
Bacaan 2 Menit
Salah satu ahli yang dihadirkan Pemohon 42/PUU-XIII/2015, Chairul Huda (tengah) saat menyampaikan keahliannya dalam sidang uji materi UU Pemilukda dan uji materi UU Aparatur Sipil Negara, Kamis (4/6) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Foto: Humas/Ganie
Salah satu ahli yang dihadirkan Pemohon 42/PUU-XIII/2015, Chairul Huda (tengah) saat menyampaikan keahliannya dalam sidang uji materi UU Pemilukda dan uji materi UU Aparatur Sipil Negara, Kamis (4/6) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Foto: Humas/Ganie
Larangan mantan terpidana untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah dianggap sama dengan menghukum orang dua kali atas kesalahan yang sama. Selain itu, setelah dipidana penjara, yang bersangkutan harus “rela” mendapatkan pencabutan atas haknya untuk tidak boleh ikut serta dalam pilkada dan mendapatkan label buruk sepanjang hidupnya karena pernah mendapatkan hukuman pidana.

Pandangan itu disampaikan Pakar Hukum Pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta Chairul Huda  saat memberi keterangan menjadi ahli dalam sidang pengujian Pasal 7 hurufg dan Pasal 45 ayat (2) huruf k UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada). Dia menjelaskan pasal yang melarang mantan narapidana mencalon diri sebagai kepala daerah bentuk pembatasan kebebasan individu yang dilakukan pembentuk undang-undang.

Padahal, Pasal 28J UUD 1945 mengamanatkan, pembentuk UU hanya boleh membatasi hak seseorang dalam rangka menjamin pengakuan da penghormatan hak atas kebebasan orang lainnya.“Dari aturan itu tidak ada seorangpun yang haknya terhalangi karena ada narapidana yang menjadi calon kepala daerah. Sehingga pembatasan tersebut merupakan ketentuan yang berlebihan dan tidak perlu,” ujar Chairul dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (04/6).

Kedua pasal tersebut intinya menyebutkan Warga Negara Indonesia dapat menjadi calon kepala daerah jika memenuhi syarat tidak pernah dijatuhi pidana penjara lima tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.

Dia menilai sikap pembentuk UU dalam penyusunan UU Pilkada ini bisa dikatakan sebagai bentuk labeling terhadap seseorang (mantan narapidana) dari waktu ke waktu yang sebenarnya ingin dihilangkan. Padahal dalam KUHP,  pencabutan hak tertentu termasuk hak untuk dipilih hanya dengan putusan pengadilan.

Selain itu, tujuan pemasyarakatan dan pemidanaan bukan bentuk balas dendam, melainkan untuk merehabilitasi terpidana agar bisa kembali ke masyarakat. “Sehingga pasal yang digugat justru telah mengamputasi tujuan dari pemasyarakatan dan pemidanaan yang menimbulkan ketidakpastian hukum,” ujar ahli yang dihadirkan pemohon ini.

Menurutnya, pasal yang dimohonkan pengujian ini seolah telah memperlakukan orang tidak manusiawi dan memandang rendah orang yang pernah menjadi terpidana. Padahal, seseorang yang melakukan kesalahan pasti bisa berubah. Apalagi terpidana yang berkelakuan baik juga akan mendapatkan hukuman yang lebih ringan dari vonis pidananya melalui remisi, pembebasan bersyarat.

Ahli pemohon lainnya, akademisi Hukum Tata Negara Margarito Kamis menilai pembentuk UU Pilkada tidak mengacu pada putusan MK No. 011-017/PUU-I/2003 dan nomor 4/PUU-VII/2009. Dua putusan MK ini  mengatur bahwa pembatasan hak pilih seseorang diperbolehkan ketika telah dicabut oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan bersifat individual.

“Bukankah putusan MK ini setara dengan norma undang-undang? Apalagi tidak ada keadaan logis sebagai keadaan hukum baru menjadi dasar untuk menghidupkan kembali norma yang diujikan. Menghidupkan norma yang inkonstitusional akan selalu menimbulkan masalah,” ujar Margarito dalam persidangan.

Menurutnya, menghukum terpidana bukan ditujukan merendahkan orang yang melanggar hukum. Akan tetapi, hukuman dipilih masyarakat beradab untuk mengajak terpidana kembali ke dalam kehidupan yang dimuliakan. Karenanya, menurutnya kedua pasal itu sama saja menghukum orang dua kali dalam kesalahan yang sama. “Hal ini jelas inkonstitusional,” tegasnya.

Sebelumnya, dua mantan terpidana Jumanto dan Fathor Rasyid mempersoalkan Pasal 7 huruf g dan Pasal 45 ayat (2) huruf k UU Pilkada terkait larangan eks terpidana yang diancam lima tahun atau lebih untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Aturan itu bersifat sewenang-wenang seolah pembentuk undang-undang menghukum seseorang tanpa batas waktu. Ketentuan ini jelas-jelas menghambat seseorang berpartisipasi aktif dalam pemerintahan dan proses demokrasi.

Padahal, Putusan MK No. 011-017/PUU-I/2003 menyebutkan pembatasan hak pilih diperbolehkan apabila hak pilih dicabut oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, bersifat individual dan tidak kolektif. Selain itu, putusan MK No. 4/PUU-VII/2009 telah menyatakan inkonstitusional bersyarat seperti tercantum dalam Pasal 7 huruf g dan Pasal 45 ayat (2) huruf k UU Pilkada ini. Putusan ini menentukan empat syarat bagi mantan napi agar bisa mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Karena itu, pemohon meminta MK agar menghapus pasal-pasal itu karena bertentangan dengan UUD 1945.
Tags:

Berita Terkait