LBH Jakarta Catat 2 Pasal UU ITE Ini Kerap Digunakan Untuk Kriminalisasi
Terbaru

LBH Jakarta Catat 2 Pasal UU ITE Ini Kerap Digunakan Untuk Kriminalisasi

Yakni Pasal 27 ayat (3) terkait penghinaan dan/atau pencemaran nama baik serta Pasal 28 ayat (2) UU ITE terkait informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian berdasarkan suku, agama, ras, dan antar golongan.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

Kedua, Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang mengatur penyebaran informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Citra mencatat beberapa kasus yang dijerat menggunakan Pasal 28 ayat (2) UU ITE seperti yang menimpa mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Roy Suryo karena mengunggah meme stupa Borobudur berwajah Presiden Joko Widodo melalui media sosial. Untuk kasus Roy Suryo LBH Jakarta telah menyampaikan amicus curiae.

Citra berpendapat penggunaan Pasal 28 ayat (2) ini harus didasari motif membangkitkan rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA. Motif ini harus dibuktikan terlebih dulu sebelum memproses perkara pidananya. Bahkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri tentang pedoman implementasi UU ITE menegaskan Pasal 28 ayat (2) tidak ditujukan kepada orang yang menyampaikan pendapat.

Selain itu Citra juga menyoroti proses penyitaan dan penggeledahan dalam perkara UU ITE yang berlebihan. Sebab yang disita tak hanya terkait media sosial atau medium yang diduga digunakan untuk menyebar informasi saja tapi juga yang lainnya. Hal itu terjadi karena tidak ada aturan yang komprehensif mengatur tentang penyitaan dan penggeledahan.

Advokat publik LBH Banda Aceh, Aulia menilai sejumlah pasal bermasalah UU ITE tujuannya untuk membungkam kritik yang disuarakan publik. Padahal kritik yang disampaikan terhadap pejabat publik itu wajar dalam negara yang menganut sistem demokrasi. Warga boleh menyatakan perbedaan pendapat terhadap kebijakan yang diterbitkan pemerintah. Bahkan status pejabat melekat pada individu pejabat tersebut.

Alih-alih memberikan contoh yang baik bagi masyarakat, Aulia melihat tak sedikit pejabat publik yang memanfaatkan posisinya untuk melaporkan warga biasa dengan menggunakan UU ITE. Dalam pelaporan kasus yang berkaitan dengan UU ITE pihak terlapor kebanyakan berasal dari pejabat publik, perusahaan, dan pihak yang punya relasi kekuasaan. Ironisnya, tafsir yang digunakan aparat penegak hukum mulai dari proses penyelidikan sampai di persidangan yakni tafsir dari pelapor. Harusnya aparat menguji terlebih dulu kebenaran laporan itu.

“Hal ini membuat ruang kebebasan sipil semakin sempit,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait