LeIP Ungkap 3 Akar Masalah Judicial Corruption
Terbaru

LeIP Ungkap 3 Akar Masalah Judicial Corruption

Meliputi pergeseran fungsi kasasi di MA; proses birokrasi penanganan perkara yang panjang; dan organisasi peradilan satu atap yang sentralistis dan akuntabilitas lemah.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Narasumber Sarasehan Internasional Pembaru Peradilan: Meningkatkan Kepercayaan Publik melalui Penguatan Integritas Pengadilan dengan mengangkat subtema 'Menjaga Marwah dan Integritas Hakim', Selasa (31/5/2022). Foto: RES
Narasumber Sarasehan Internasional Pembaru Peradilan: Meningkatkan Kepercayaan Publik melalui Penguatan Integritas Pengadilan dengan mengangkat subtema 'Menjaga Marwah dan Integritas Hakim', Selasa (31/5/2022). Foto: RES

Korupsi di lembaga peradilan masih sering terjadi. Banyak kasus yang menunjukkan aparat penegak hukum terjerat kasus korupsi. Direktur Eksekutif Leip, Liza Farihah, melihat korupsi peradilan ada yang bersifat sistemik dan non sistemik. Untuk non sistemik yakni korupsi yang sederhana, misalnya aparat peradilan meminta imbalan dari pihak berperkara untuk informasi atau dokumen tertentu.

Korupsi sistemik lebih rumit kasusnya karena melibatkan pengambil kebijakan. Pihak tertentu untuk kepentingannya memanfaatkan struktur atau sistem dalam pengadilan. “Sistem birokrasi yang tidak transparan dan akuntabel memberikan celah untuk terjadinya tindak pidana korupsi,” kata Liza Farihah dalam kegiatan Sarasehan Internasional Pembaru Peradilan: Meningkatkan Kepercayaan Publik melalui Penguatan Integritas Pengadilan dengan mengangkat subtema "Menjaga Marwah dan Integritas Hakim, Selasa (31/5/2022). 

Liza melihat setidaknya 3 akar masalah korupsi peradilan. Pertama, terjadi pergeseran fungsi kasasi. Menurutnya, secara tekstual MA sebagai pengadilan tingkat kasasi diminta menilai apakah pengadilan di bawahnya sudah menerapkan hukum dengan benar atau tidak. Oleh karena itu, fungsi MA tidak fokus pada fakta, tapi menilai bagaimana pengadilan sebelumnya menerapkan hukum.

Baca Juga:

Tapi, dalam praktiknya Lisa melihat dalam putusan MA menggeser fungsi kasasi tersebut. Misalnya putusan kamar pidana di MA dalam situasi ideal seharusnya MA tidak menaikkan atau menurunkan hukuman. “Pergeseran ini menimbulkan celah untuk mengintervensi hakim karena fokus hakim pada berat atau ringannya hukuman,” ujarnya.

Kedua, proses birokrasi penanganan perkara yang panjang. Liza melihat ada 3 unit yakni perkara pidana atau perdata ada di bawah Dirjen Badilum MA atau di kesekretariatan atau kepaniteraan. Sekarang proses itu telah dipangkas, sehingga manajemen perkara di bawah kepaniteraan, tidak lagi tersebar di berbagai unit.

“Saya mengapresiasi upaya MA memotong proses birokrasi ini. Kalau proses birokrasi panjang maka disitu terjadinya modus karena ada celah di sistem birokrasi,” ujarnya.

Ketiga, organisasi peradilan satu atap yang sentralistis dan akuntabilitas yang lemah. Liza mencatat persoalan itu terjadi sejak 1999 sampai sekarang ketika MA tidak hanya memegang fungsi yudisial, tapi juga keuangan dan kepegawaian. Hal itu yang menjadi dorongan kuat untuk membentuk Komisi Yudisial (KY) sebagai lembaga check and balances, melakukan pengawasan terhadap hakim.

Guna mengatasi berbagai persoalan itu, Liza mengusulkan sedikitnya 5 hal. Pertama, mengembalikan fungsi kasasi yang fokus pada penerapan hukum. Putusan kasasi tidak lagi menjadi penentu akhir menang atau kalah para pihak berperkara, tapi menilai benar atau tidak penerapan hukum oleh pengadilan di bawahnya (judex factie).

Kedua, membangun sistem akuntabilitas organisasi satu atap melalui restrukturisasi organisasi MA dan badan peradilan di bawahnya. Penerapan prinsip transparansi dan akuntabilitas secara konsisten.

Ketiga, membangun sistem pengelolaan kepegawaian jabatan hakim yang mengakomodasi prinsip independensi hakim. Misalnya menerapkan sistem mutasi terbatas. Evaluasi kinerja yang lebih sesuai dengan karakter jabatan hakim.

Keempat, melakukan proses perubahan manajemen perkara. Perlunya otomatisasi administrasi penanganan perkara. Termasuk manajemen informasi putusan pada masing-masing kamar.

Kelima, membuka diri untuk kerja sama dengan lembaga lain yang memiliki kewenangan terkait untuk mencegah dan memberantas korupsi. Misalnya kerjasama dengan KPK terkait LHKPN dan PPATK untuk transaksi keuangan, serta Ombudsman untuk pelayanan publik di pengadilan.

Kemudian melakukan koordinasi pengawasan yang lebih baik antara MA dan KY dimana sampai saat ini belum pernah dilakukan pemeriksaan bersama. Perlu juga untuk menggulirkan mystery shopping yang berfungsi sebagai penilaian rahasia untuk layanan pengadilan.

“Pihak yang menjadi mystery shopping seolah sebagai pengguna layanan atau pihak berperkara di pengadilan,” katanya.

Tags:

Berita Terkait