Leksikologi dan Leksikografi: Jejak Penulisan Kamus Hukum di Indonesia
Fokus

Leksikologi dan Leksikografi: Jejak Penulisan Kamus Hukum di Indonesia

Pada awalnya hanya ada kamus hukum umum. Dalam perkembangannya, kamus-kamus yang lebih spesifik mulai bermunculan.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Indonesia Legal Center Publishing (ILCP) adalah salah satu penerbit kamus hukum multilingual di Indonesia. Pada Januari 2006, ILCP menerbitkan Kamus Hukum, kumpulan istilah-istilah hukum dari beragam bahasa asing, dari bahasa Arab hingga bahasa Yunani. Yudha Pandu, editor Kamus Hukum ini bercerita kepada hukumonline. Awalnya, istilah-istilah dihimpun dari catatan yang dibuat Martiman Prodjohamidjojo saat mengajar Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA).

 

Martiman menemukan kenyataan para peserta PKPA acapkali tidak memahami istilah-istilah hukum yang lazim dipakai advokat. Dari sanalah muncul catatan-catatan sekadarnya untuk mempermudah peserta memahami istilah hukum. “Catatan-catatan itulah yang kemudian saya sempurnakan untuk dibuatkan kamus hukum,” ujar Yudha melalui sambungan telepon kepada hukumonline beberapa waktu lalu.

 

Ada beragam latar belakang dan banyak cara orang untuk menuliskan kamus, khusus hukum. Mungkin dari sekadar kebutuhan di kampus hingga kebutuhan dalam pekerjaan sehari-hari sebagai penegak hukum. Pada penerbitan-penerbitan awal kamus hukum di Indonesia terungkap bahwa penulisan lebih dilatarbelakangi kebutuhan akademik. Sebagian peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia berasal dari Belanda, dan praktis menggunakan bahasa Belanda. Ketika Indonesia merdeka, kebutuhan atas teks hukum yang menggunakan bahasa Indonesia semakin lama semakin terasa.

 

Buku Sekumpulan Istilah-istilah Hukum dalam Bahasa Belanda karya Paulus Moeljadi Dwidjodarmo (PT Karya Nusantara Jakarta, 1980) salah satu contohnya. Karya Paulus Moeljadi ini kemudian dijadikan referensi dalam penulisan kamus hukum dan istilah hukum di BPHN. Penerbitan karya sejenis terus berlangsung ketika bahasa Belanda masih menjadi mata kuliah wajib di fakultas-fakultas hukum. Sekadar memberi contoh adalah karya Basrah Amershah. Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ini, pada 1991,  menyusun Pengenalan tentang Hukum dan Istilah-Istilah Hukum (Kennismaking Met Recht en Rechtstermen) untuk bahan perkuliahan.

 

Leksikologi berasal dari bahasa Yunani, logos dan lexiko, yang dapat dimaknai sebagai ilmu linguistik yang mempelajari kata, sifat dan makna, unsur, hubungan antarkata (semantik), kelompok kata, dan keseluruhan leksikon. Sedangkan leksikografi adalah ilmu yang juga mempelajari kata dalam kaitannya dengan penyusunan kamus. Leksikografi adalah penerapan atau perwujudan dari leksikologi.

 

Baca:

 

Leksikografi Umum

Namun, belum dapat dipastikan tahun berapa pertama kali kamus hukum diterbitkan di Indonesia. Satu hal yang pasti, upaya itu tidak mungkin lepas dari sejarah penulisan kamus yang bersifat umum. Abdul Chaer, penulis buku Leksikologi dan Leksikografi Indonesia (2007), menulis bahwa sejarah leksikografi di Indonesia dimulai dari daftar kata atau glosarium dan kamus ekabahasa. Karya leksikografi tertua menurut catatan adalah Daftar Kata Cina-Melayu yang disusun pada awal abad ke-15, berisi kurang lebih 500 lema. Tercatat pula pada tahun 1522 buku Daftar Kata Italia-Melayu yang disusun Pigafesta, pakar bahasa yang ikut dalam pelayaran Magelhaens mengelilingi dunia.

 

Kamus lain yang berhasil terlacak adalah Spraek ende woor-book, Inde Malayshe ende Madagasche Taen Met Vele Arabische ende Turche Woorden (1603) karya Frederick de  Houtman; dan Vocabularium offe Woortboek naerorder vanden Alphabet in’t Duystch-Maleys ende Maleyshe Duytch (1923) karya Casper Wiltens dan Sebastian Danckaerts. Kamus bahasa Jawa tertua yang tersimpan di Vatikan, tulis Abdul Chaer, adalah Lexicon Javanum (1706). Jauh lebih tua dari kamus bahasa Sunda yang ditulis A de Wilde, Nederduitsch-Maleisch en Soendasch Woordenboek (1841).

 

Pada masa Belanda, perhatian terhadap kamus pada umumnya dari bahasa Belanda ke bahasa lokal tertentu atau sebaliknya. Misalnya Belanda-Sunda, Belanda-Jawa, atau Batak-Belanda, dan Bali-Belanda. Kamus Baoesastra Melajoe-Djawa (1916) yang ditulis R. Sastrasoeganda, menurut penelusuran Abdul Chaer, adalah kamus dwibahasa pertama yang disusun putra Indonesia di zaman penjajahan. Sedangkan kamus ekabahasa pertama karya putra Indonesia mungkin adalah Kamoes Loghat Melayu-Johor-Pahang-Riau-Lingga Penggal karya Radja Ali Haji. Pada 1928, kamus ini tercatat pada buku yang dicetak al-Ahmadiyah Press Singapura.

 

Sejak Sumpah Pemuda 1928 dan kemerdekaan 1945, plus penyebutan bahasa Indonesia dalam UUD 1945, maka usaha untuk memperkuat bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa pergaulan makin banyak dilakukan. Selama puluhan tahun muncul kamus atau kumpulan istilah dengan beragam variasi bahasa. Kamus yang pernah ada hingga 1976 dapat dilihat daftarnya dalam Bibliogragfi Perkamusan Indonesia yang diterbitkan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1976).

 

Abdul Chaer membagi penulisan kamus di Indonesia atas tiga kelompok: yang ditulis sebagai hasil kerja pribadi, penulisan yang dilaksanakan di luar negeri, dan perkamusan oleh Pusat Bahasa. Sayangnya, Chaer tak menguraikan kapan kamus-kamus khusus atau bidang-bidang tertentu mulai muncul. Berdasarkan penelusuran hukumonline, pada 1961, misalnya, sudah ada ‘Kamus Hukum’ yang ditulis H van der Tas, terbitan Timun Mas Jakarta. Pada awal 1969 sudah ada kamus hukum diterbitkan di daerah yakni Pembahasan Hukum: Penjelasan Istilah-Istilah Hukum Belanda-Indonesia, karya Imam Radjo Mulano alias Martias. Salah satu referensi yang dipakai Martias adalah kamus hukum tulisan Mr SJ Fockema Andreae, Rechtsgeleerd Handwoordenboeken (Groningen, Jakarta, 1951).

 

Baca juga:

 

Leksikografi Hukum

Penelusuran hukumonline terhadap keberadaan kamus hukum dilakukan melalui perpustakaan, toko buku, dan pengecekan pada referensi yang digunakan buku-buku hukum, dan menelisik satu persatu buku yang tertera dalam bibliografi hukum.

 

Kapanpun kamus hukum mulai ditulis, yang jelas, kata dosen Universitas Negeri Jakarta itu, peran Pusat Bahasa sangat besar dalam leksikografi. Ini juga tampak dalam penyusunan kamus hukum, di mana Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) mengadakan kerja sama dengan Pusat Bahasa, atau mengajak ahli bahasa sebagai konsultan penulisan kamus hukum.

 

Pada periode 1970-1990, peran BPHN memang sangat besar bukan saja dalam penulisan kamus hukum, tetapi juga melakukan evaluasi terhadap perkembangan bahasa hukum di Indonesia. Sekadar contoh, pada 1975, BPHN bersama Subkorsorsium Ilmu Hukum Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menghasilkan ‘Laporan Penelitian Pembakuan Istilah Hukum’.

 

Hukumonline.com

Deretan kamus hukum di sebuah perpustakaan. Foto: MYS

 

Penulisan leksikografi hukum tidak lepas dari model pembakuan istilah-istilah hukum. Pada mulanya, sebutlah fase pertama, penulisan istilah-istilah hukum dipergunakan untuk pengajaran di fakultas-fakultas hukum yang baru terbentuk setelah 1950-an. Pada saat itu, perundang-undangan Indonesia masih banyak mempergunakan warisan Belanda, dan praktis bahasa hukumnya pun merujuk pada bahasa Belanda. Pada 1964, misalnya, A.W Salayan menerbitkan Ensiklopedia Hukum di Padang, yang mungkin dihimpun untuk kebutuhan Sekolah Menengah Kehakiman Atas –kelak berubah menjadi Sekolah Hakim dan Djaksa (SHD). Bahan ini adalah bagian dari pelajaran yang Salayan berikan sejak 1954 di SMKA dan SHD, dilanjutkan bahan ajar di fakultas dan akademi di Sumatera Utara dan Sumatera Barat.

 

Salayan menulis dalam Ensiklopedia Hukum: “Terasa kesulitan yang dialami pemuda-pemuda kita dalam mempelajari hukum yang berlaku di negara kita”. Ia melanjutkan, “dapat dibayangkan bagaimana susahnya bagi mereka mempelajari peraturan Belanda tanpa menguasai bahasanya”. Dalam rangka menolong para pemuda Indonesia itulah Salayan mengumpulkan satu persatu istilah hukum beserta konteks penggunaannya beserta yurisprudensi jika ada ke dalam sebuah buku yang awalnya diberi judul ‘Istilah Hukum dan Pengertiannya’.

 

Pada dekade 1970-an, A.B Loebis, seorang pensiunan hakim yang kemudian beralih profesi menjadi pengacara menulis sebuah Kamus Hukum Yurisprudensi. Bentuknya pun masih stensilan. Kamus karya Salayan dan AB Loebis ini mungkin sudah sulit ditemukan di pusat-pusat kajian hukum. Kamus lain yang terus dimutakhirkan, dan cetakan pertamanya diterbitkan pada 1969 adalah Kamus Hukum karya Prof. R. Subekti dan Tjitrosoedibio. Kamus ini sudah berkali-kali cetak ulang; pada 1989 sudah cetakan kesepuluh.

 

Asis Safioeddin memberikan kontribusi dalam leksikografi Indonesia dengan menerbitkan buku Daftar Kata Sederhana tentang Hukum. Edisi perdana kamus hukum ini dterbitkan pada 1978. Belakangan, Asis juga dilibatkan BPHN dalam proyek penelitian dan pengembangan hukum.

 

Baca juga:

 

Peran BPHN

Seperti disebutkan Abdul Chaer, Pusat Bahasa berperan besar dalam penulisan kamus hukum. Di Indonesia, peran itu dijalankan bersama dengan BPHN. Pada 1980-an, dimulailah era pengkajian istilah dan penulisan kamus hukum antara BPHN dan Pusat Bahasa –dulu namanya Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pemerintah membentuk tim-tim pengkajian dan penulisan, serta mengundang para akademisi dan praktisi hukum.

 

Berkembangnya pengkajian dan penulisan bahasa hukum dan kamus hukum tidak lepas dari political will para pejabat di Kementerian Kehakiman dan BPHN. Ketua BPHN saat itu, Teuku M. Radhie, bahkan punya ‘mimpi’ Indonesia memiliki kamus hukum lengkap, dalam arti kamus berseri sesuai bidang-bidang hukum. Nanti, seri kamus hukum itu digabung menjadi kamus hukum lengkap. Gagasan ini mendapat dukungan dari Menteri Kehakiman Mochtar Kusuma Atmadja dan penggantinya, Ismail Saleh.

 

Maka, lahirlah Kamus Hukum Pidana, baik versi prapublikasi maupun versi publikasi. Disusul kemudian Kamus Hukum Umum. BPHN juga berperan mendorong terjemahan kamus hukum Fockema Andreae’s Rechtsgeleerd Handwoordenboek yang diterbitkan H.D. Tjeenk Willink, Alphen aan den Rijn (1977). Jadilah buku terjemahan itu menjadi ‘Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda-Indonesia’ (Binacipta, Bandung, 1983).

 

Beberapa akademisi yang terlibat proyek penelitian dan pengembangan hukum di BPHN pun ikut menulis kamus hukum yang diterbitkan perusahaan penerbit. Misalnya, kamus hukum yang ditulis Andi Hamzah, dan mantan Kepala BPHN JCT Simorangkir dkk, Kamus Hukum. BPHN juga menerbitkan Laporan Akhir Tim Penyusunan Kamus Hukum (1992).

 

Setelah era 1990-an, penulisan kamus hukum terus berlanjut meskipun tidak seberkembang dekade sebelumnya. Terjadi pergeseran pada peran BPHN, karena kamus-kamus hukum yang terbit kemudian lebih banyak dihasilkan akademisi. Bahkan perusahaan penerbit pun ikut menerbitkan kamus hukum tanpa menyebut siapa editor atau penghimpunnya. Tersebutlah Kamus Hukum yang diterbitkan CV Citra Umbara Bandung dan beberapa terbitan kamus istilah yang dibuat oleh Tim Redaksi Tata Nusa.

 

Apapun jenisnya, entah kamus, thesaurus, atau ensiklopedia, referensi ini ditujukan untuk memudahkan orang memahami suatu istilah atau konsep hukum. Dalam konteks ini pula karya Andrew Sriro, Sriro’s Desk Reference on Indonesian Law dapat dibaca, yakni bagaimana memudahkan orang memahami hukum Indonesia dan istilah-istilah yang dipergunakan. Demikianlah fungsi kamus-kamus lain yang pernah diterbitkan.

 

Kini, jika Anda mengunjungi toko buku Gramedia di Jalan Margonda Raya Depok, atau ke toko buku lain, cobalah telusuri ke rak kamus bahasa. Mungkin Anda masih menemukan satu dua kamus hukum yang terbit belakangan. Perjalanan kamus hukum di Indonesia mendapat tantangan nyata ketika era digital mempengaruhi banyak aspek kehidupan. Mencari arti istilah hukum tertentu, kini, tinggal klik google, niscaya akan muncul apa yang Anda inginkan. Sejarah leksikografi Indonesia telah menemukan wadah baru yang lebih mudah diakses. Yudha Pandu mengatakan usaha cetak (kamus hukum) semakin ditinggalkan karena sudah ada perkembangan digitalisasi. Siapapun bisa mengakses arti kata atau istilah hukum tertentu secara daring.

Tags:

Berita Terkait