Lex Artificialis Intelligentia, Quo Vadis Pendidikan dan Profesi Hukum
Kolom

Lex Artificialis Intelligentia, Quo Vadis Pendidikan dan Profesi Hukum

Kita dihadapkan tantangan etika baru dan perlunya penyesuaian norma legislasi serta regulasi penyelenggaraan pendidikan dan profesi hukum terhadap pemanfaatan kecerdasan buatan di Indonesia.

Bacaan 7 Menit
Danrivanto Budhijanto. Foto: RES
Danrivanto Budhijanto. Foto: RES

ChatGPT dengan tanpa lawan mengawali trend platform kecerdasan buatan (Artificial Intellegent-A.I.) pada awal 2023. Chatbot (chat-robot) berbasis kecerdasan buatan yang langsung dapat diakses melalui smartphone menjadikan ChatGPT penuh sensasi karena bersifat personalisasi.

Tidak hanya pertanyaan keseharian yang mampu dijawab oleh A.I. dengan konten dan kontekstual yang akurat dan menarik, namun juga pertanyaan akademis dan teknis mampu dijelaskan dengan proporsional. Bahkan profesor hukum di University of Minnesota (Amerika Serikat) menjajal kebolehan Chatbot AI untuk menjawab soal untuk kelulusan seluruh kurikulum dan ujian hukum, maka nilainya mencukupi untuk mendapatkan gelar sarjana hukum.

Apakah kemudian ChatGPT sanggup pula menjelma sebagai advokat virtual atau hakim digital? Bagaimana A.I. mampu menjadi inovasi, kolaborasi, dan akselerasi pendidikan dan profesi hukum?

Baca juga:

Kita dihadapkan tantangan etika baru dan perlunya penyesuaian norma legislasi serta regulasi penyelenggaraan pendidikan dan profesi hukum terhadap pemanfaatan Revolusi Industri 4.0 khususnya kecerdasan buatan (A.I.) di Indonesia. Kemudahan dan kenyamanan dalam personalisasi atas aplikasi A.I membuatnya menjadi pandemi virtual di masyarakat.

Klaus Schwab, yang juga pendiri World Economic Forum (WEF), mempercayai bahwa era Revolusi Industri 4.0 dibangun di sekitar “cyber-physical systems” dengan tanpa batasan fisikal, digital dan biologikal (Klaus Schwab, Fourth Industrial Revolution, 2017). Sehingga tentunya diperlukan artikulasi ulang dari penyelenggaraan pendidikan dan profesi hukum di Indonesia.

Human Intelligence vs. Artificial Intelligence

ChatGPT sangat fenomenal dengan lompatan pengguna yang mencapai 1 juta dalam 5 hari saja, semenjak peluncuran perdananya pada November 2022. Mengalahkan media sosial dan platform teknologi populer, dimana Netflix memerlukan 3,5 tahun dan Spotify butuh waktu 5 tahun untuk mencapai 1 juta pengguna (New York Times, January 2023).

ChatGPT bekerja dengan menerapkan algoritma Pembelajaran Penguatan dari Umpan Balik Manusia (Reinforcement Learning from Human Feedback/RLHF), sebuah algoritma yang bergantung pada tanggapan manusia untuk membuat model baru yang disajikan dalam antarmuka obrolan intuitif dengan tingkat memori tertentu. Artinya ChatGPT memiliki kebergantungan dengan kuantitas, kualitas, dan kompleksitas pertanyaan yang diajukan dari para pengguna. Kombinasi platform machine learning dan data analysis behaviour melalui interaksi dan transaksi data berbentuk pertanyaan, maka jawaban ChatGPT seiring waktu akan mampu meningkat dari biasa (mediocre) menjadi bagus (best fit). Sebagaimana kecerdasan manusia yang juga terus meningkat jika terus dan serius dalam mempelajari suatu objek pembelajaran.

Pemanfaatan AI memiliki karakter yang masif dan eskalatif karena kemudahan dan kecepatan akses teknologi informasi atau media internet. Hanya dengan sekali sentuh maka dapat disebarkan data secara meluas dan berubah dalam berbagai format dalam waktu yang singkat. Utilisasi data dari A.I. termasuk kegiatan pengumpulan data (data collecting); penelisikan data (data crawling); dan analisis perilaku interaksi data (data behavior analyzing).

Data dimaksud harus mampu dimonetisasi dan divaluasi dalam indikator finansial sebelum mampu menjadi nilai kompetitif sebagai model bisnis. Model bisnis yang kemudian berbasis platform aplikasi tidak hanya jaringan dan jasa, baik dalam perdagangan elektronik (e-commerce), teknologi finansial (FinTech), cryptonomic. Perusahaan melakukan monetisasi data (data monetizing, data capitalization) sebagai alat pertumbuhan finansial. Konseptual implementasinya adalah melalui D-N-A (Device-Network-Apps) yaitu ketersediaan perangkat seperti dawai cerdas/devices (smartphone/tablet/laptop); keterhubungan jaringan teknologi informasi/networks (Internet, pita lebar, satelit); dan kemudahan perolehan dan pemanfaatan aplikasi/applications oleh publik (operating system friendly, open apps).

Pemanfaatan kecerdasan buatan oleh masyarakat Indonesia sejalan dengan transformasi menuju Masyarakat 5.0 (Society 5.0). Masyarakat 5.0 adalah suatu terminologi faktual dan futurikal yang yang dipahami sebagai suatu konsep masyarakat yang berpusat pada manusia (human-centered) dan berbasis teknologi (technology based) sehingga kecerdasan buatan (Artificial Intelligence-A.I.) akan mentransformasi Big Data yang dikumpulkan melalui internet pada segala bidang kehidupan (the Internet of Things-IoT). Termasuk pula melalui pemanfaatan Blockchain (cryptonomic), Learning Machine, dan Robotic sehingga menjadi suatu kearifan baru, yang akan didedikasikan untuk meningkatkan kemampuan manusia membuka peluang-peluang bagi kemanusiaan.

Transformasi menuju Masyarakat 5.0 akan membantu manusia untuk menjalani kehidupan yang lebih bermakna.Trio teoretikus sepanjang masa yaitu Socrates, Aristoteles, dan Plato akan terkaget-kaget kalaulah tidak dikatakan gamang jika mereka masih bisa menjadi saksi hidup dari Revolusi Industri Keempat atau The Fourth Industrial Revolution. Evolusi bahkan revolusi penyelenggaraan pendidikan dan praktik hukum tidak hanya memiliki karakter filosofis, historis, humanis, sosiologis, psikologis, bahkan ekonomis namun sudah mengarah kepada teknologis. Ternyata yang dapat mengantisipasi permasalahan yang muncul akibat pemanfaatan teknologi adalah sistem hukum, bukan teknologinya itu sendiri.

Gregory N. Mandel memberikan ketegasan hal dimaksud dalam “History Lessons for a General Theory of Law and Technology", Minnesota Journal of Law in Science and Technology, Vol. 8:2, 2007 yaitu: “The marvels of technological advance are not always risk- free. Such risks and perceived risks often create new issues and disputes to which the legal system must respond.

Pemahaman terhadap apa pengertian dan bagaimana fungsi Hukum Kecerdasan Buatan di Indonesia tentu sangat erat dengan pendekatan teori hukum. Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Konvergensi memberikan definisi Lex Artificialis Intelligentia atau Hukum Kecerdasan Buatan adalah yang meliputi asas-asas dan kaidah serta meliputi lembaga serta proses-proses yang mewujudkan Hukum Kecerdasan Buatan ke dalam kenyataan kehidupan Masyarakat 5.0 sebagai peradaban digital global. Hukum Kecerdasan Buatan memiliki pula fungsi hukum sesuai dengan konseptual teoritikal dari Sjachran Basah (Sjahran Basah, Tiga Tulisan tentang Hukum, 1986) yaitu:

  1. Fungsi Direktif bahwa Lex Artificialis Intelligentia berfungsi sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara;
  2. Fungsi Integratif bahwa Lex Artificialis Intelligentia berfungsi sebagai pembina kesatuan bangsa;
  3. Fungsi Stabilitatif bahwa Lex Artificialis Intelligentia berfungsi sebagai pemelihara (termasuk ke dalamnya hasil-hasil pembangunan) dan penjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat;
  4. Fungsi Perfektif bahwa Lex Artificialis Intelligentia berfungsi sebagai penyempurna terhadap tindakan-tindakan pemerintah (administrasi negara), maupun sikap tindak warga negara dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat; dan
  5. Fungsi Korektif bahwa Lex Artificialis Intelligentia berfungsi baik terhadap warga negara maupun pemerintah (administrasi negara) dalam mendapatkan keadilan.

Rekognisi Kecerdasan Buatan dalam Pendidikan Hukum

Pendidikan hukum di Indonesia memiliki keterhubungan dengan karya dan karsa monumental tokoh nasional dan internasional yaitu Mochtar Kusumaatmadja. Mochtar menggagas dan mewujudkan sistem pendidikan hukum yang terkait dengan perlunya seseorang menyikapi permasalahan (attitudinal problem) sebagai anggota masyarakat yang sedang membangun.

Sehingga diperlukan metode pengajaran hukum yang menjamin partisipasi maksimal dari para mahasiswa dalam proses pendidikan yang membangkitkan kemampuan-kemampuan kreatif dan tidak hanya menggunakan sistem perkuliahan yang membiasakan mahasiswa pada sikap yang pasif (Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional, 1975). Sistem perkuliahannya melalui diskusi kelompok dan metode dialektika (Socratic method), juga menulis karya ilmiah yang diseminarkan di kelas. Mochtar melanjutkan pula bahwa tidak kalah pentingnya selain keilmuan hukum adalah melatih kemahiran dan keterampilan hukum (legal skills) dari para mahasiswa melalui lembaga bantuan hukum, program magang di kantor hukum, kejaksaan, pengadilan, kementerian/lembaga.

Mahasiswa ataupun dosen yang berinteraksi dengan A.I. perlu menyikapi dengan tepat tujuan dan tepat kemampuan, sehingga pemanfaatan ChatGPT tidak diposisikan dengan label penghambat pembelajaran atau media kecurangan. ChatGPT sebagai learning machine telah mendisrupsi monopoli search engine seperti Google atau Wikipedia. Siapakah sivitas akademika yang hari ini tidak menggunakan “Mbah” Google sebagai instrumen pembantuan untuk pendidikan dan penelitian. Menjadikan A.I sebagai media inovasi dan kolaborasi dalam akselerasi pendidikan hukum merupakan keniscayaan Masyarakat 5.0 di Indonesia.

Mendasarkan tujuan pendidikan hukum menurut Mochtar Kusumaatmadja maka pemanfaatan platform A.I. seperti ChatGPT dilakukan dengan pendekatan R-E-D (Read-Exercise-Discussions) yaitu:

  1. Read, mahasiswa mengakses beragam substansi ilmu hukum dan kaidah/norma (hukum positif) dengan lebih cepat, cermat, dan tepat melalui platform kecerdasan buatan;
  2. Exercise of legal skills, mahasiswa mengakses berbagai dinamika praktik hukum dan kasus hukum untuk meningkatkan kemahiran serta keterampilan hukum melalui platform kecerdasan buatan; dan
  3. Discussions, mahasiwa meningkatkan kemampuan penalaran hukum dan argumentasi hukum sebagai legal mind dengan mengakses serta utilisasi tanya-jawab melalui platform kecerdasan buatan.

Urgensi Kecerdasan Buatan dalam Profesi Hukum

Pemanfaatan teknologi informasi untuk profesi hukum secara historikal diawali di Amerika Serikat dengan Lexis Nexis dan Westlaw, di Kanada dengan Quicklaw, juga di Indonesia dengan Hukum Online, sebagai jaringan pusat data hukum (data base networks) untuk melakukan penelusuran hukum (legal discovery, legal research) dan beragam keputusan badan peradilan.

Tentunya urgensi pemanfaatan jaringan pusat data hukum, tidak terlepas dengan sistem hukum Anglo-American yang sangat mengutamakan metode precedent atau yurisprudensi dalam praktik hukumnya. Seiring evolusi teknologi informasi maka pemanfaatan sistem informasi hukum menjadi instrumen penting dalam penyiapan strategi perkara maupun proses persidangan di pengadilan.

Aspek teknologikal dan legal terkait pemanfaatan A.I. dalam praktik hukum adalah melalui algoritma computational models of legal argument (CMLAs) dan computational models of legal reasoning (CMLRs) yang mengurai kompleksitas dan konsumsi waktu yang panjang, sehingga memberikan layanan hukum “very low cost but very high quality”. Akhirnya berujung pada pertanyaan etika dan tanggung jawab profesi hukum dalam pemanfaatan ChatGPT.

Praktisi hukum diharapkan memiliki kemampuan menyeimbangkan antara faktor Ekspresif yaitu mengungkapkan pandangan hidup, nilai-nilai budaya dan keadilan masyarakat, dengan faktor Instrumental yaitu "sarana" (tools) untuk menciptakan dan memelihara ketertiban, stabilitas dan prediktabilitas sosial yang sanggup mendorong, mengkanalisasi dan mengarahkan perubahan masyarakatnya yang masif dan akseleratif dalam dunia digital dengan pemanfaatan kecerdasan buatan.

Praktisi hukum dalam pemanfaatan platform A.I. seperti ChatGPT dilakukan dengan pendekatan A-R-E (Actions-Responsibility-Ethics) yaitu:

  1. Actions, bahwa suatu legal actions dapat lebih awal diprediksi dan diantisipasi dengan mengakses beragam substansi hukum, asas hukum, kaidah/norma (hukum positif), proses hukum, dan institusi hukum dengan lebih cepat, cermat, dan tepat melalui platform kecerdasan buatan;
  2. Responsibility, bahwa suatu legal responsibility sebagai tanggung jawab hukum dan profesi dapat dilakukan simulasi pendahuluan terhadap penanganan perkara yang kompleks dan berisiko tinggi dengan berbagai luaran opsi melalui platform kecerdasan buatan; dan
  3. Ethics, bahwa professional legal ethics sebagai konsekuensi profesi hukum advokat, notaris, jaksa, hakim, dan arbiter tetap perlu dijunjung tinggi dengan mekanisme pelindungan data pribadi dan transparansi dalam pemanfaatan platform kecerdasan buatan.

*)Dr. Danrivanto Budhijanto, S.H., LL.M in IT Law, FCBArb., FIIArb., Associate Professor in Cyberlaw, Universitas Padjadjaran serta Arbiter, Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI Arbitration Center).

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait