Lima Tahun Berproduksi, Tambang Asing Wajib Divestasi
PP Minerba:

Lima Tahun Berproduksi, Tambang Asing Wajib Divestasi

Modal asing pemegang IUP dan IUPK setelah 5 tahun sejak berproduksi wajib melakukan divestasi sahamnya. Saham yang dijual kepada pihak Indonesia paling sedikit 20 persen. Angka kompromi antara pemerintah dengan pengusaha.

Sut
Bacaan 2 Menit
Kegiatan tambang nikel PT Inco. Perusahaan tambang asing wajib<br> menjual sahamnya kepada pihak Indonesia. Foto: dok. PT International<br> Nickel Indonesia Tbk
Kegiatan tambang nikel PT Inco. Perusahaan tambang asing wajib<br> menjual sahamnya kepada pihak Indonesia. Foto: dok. PT International<br> Nickel Indonesia Tbk

Alhamdulillah, aku takut diubah itu,” ucap Dewan Penasehat Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Jeffrey Mulyono ketika diminta komentarnya soal ketentuan divestasi perusahaan tambang asing minimal 20 persen. Divestasi saham dalam PP No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara diartikan sebagai jumlah saham asing yang harus ditawarkan untuk dijual kepada peserta Indonesia.

 

Awalnya, pelaku usaha pertambangan dalam negeri khawatir ketentuan divestasi akan berubah dari draf Peraturan Pemerintah mengenai kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara (Minerba). Nyatanya, pemerintah konsisten terhadap kemauan pengusaha pertambangan.

 

Masalah divestasi memang menjadi hal krusial dalam pembahasan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara maupun peraturan pelaksananya. Baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN/BUMD, perusahaan asing maupun swasta, mempunyai kepentingan masing-masing. Apalagi selama ini divestasi kerap menuai sengketa antara pemerintah dengan perusahaan asing yang mendivestasikan sahamnya. Beberapa kasus yang mencuat antara lain divestasi saham PT Kaltim Prima Coal yang akhirnya dimiliki oleh Grup Bakrie. Kasus lain yang teranyar adalah divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara yang akhirnya berujung gugatan ke arbitrase internasional.

 

Belajar dari kasus-kasus tersebut, pemerintah nampaknya lebih berhati-hati dalam merumuskan ketentuan divestasi. Buktinya, lihat saja ketentuan divestasi yang terkandung dalam PP No. 23/2010. Pasal 97 menyebutkan, modal asing pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) setelah 5 tahun sejak berproduksi wajib melakukan divestasi sahamnya, sehingga sahamnya paling sedikit 20 persen dimiliki peserta Indonesia. Jumlah saham yang dimiliki perusahaan Indonesia yang membeli saham hasil divestasi tersebut, tidak boleh terdilusi menjadi lebih kecil dari 20 persen apabila terjadi peningkatan jumlah modal perseroan (Pasal 98).

 

Jika dibaca sepintas, ketentuan ini bisa menjadi ancaman bagi kontraktor asing yang mau berbisnis tambang di Negeri ini. Pasalnya, investasi pengelolaan tambang nilainya tidak kecil. Butuh biaya besar dan waktu yang lama. Bagaimana mungkin kontraktor asing mau mendivestasikan sahamnya, jika keuntungan belum mereka peroleh selama lima tahun pascaproduksi. Tapi tunggu dulu. Menurut Jeffrey, keputusan 20 persen merupakan angka kompromi antara pengusaha dengan pemerintah. “Itu yang paling mungkin. Pembahasannya cukup transparan,” ujarnya.

 

Yang jelas, pengaturan divestasi ini dibuat sedemikian rupa untuk menarik investor asing di bidang pertambangan masuk ke Indonesia. Bukan itu saja, investor juga ‘dipaksa’ agar tidak keluar dari Indonesia. “Saya secara pribadi pernah bilang, bahwa IUP tidak punya jaminan bahwa perusahaan ini (asing, red) akan berkelanjutan atau sustainable guarantee, yang ada cuma janji-janji dan komitmen,” papar Jeffrey.

Tags: