LPSK Prakarsai Penyusunan Konsep MoU Whistleblowing System
Berita

LPSK Prakarsai Penyusunan Konsep MoU Whistleblowing System

MoU ini akan dilaksanakan bersama 17 Kementerian/Lembaga, yang merupakan amanat dari Inpres No. 7 Tahun 2015.

Oleh:
M-22
Bacaan 2 Menit
Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai. Foto: Sgp
Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai. Foto: Sgp

Pencegahan dan Pemberantasan tindak pidana korupsi melalui Whistleblowing System (WBS) erat kaitannya dengan tugas dan wewenang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Khususnya, dalam memberikan perlindungan kepada pelapor (whistleblower), saksi, dan saksi pelaku tindak pidana korupsi. Atas dasar ini, LPSK mengadakan pertemuan koordinasi untuk membuat konsep Memorandum of Understanding (MoU) dengan 17 Kementerian dan Lembaga (K/L) pada Selasa (28/7) di Jakarta.

Pertemuan tersebut merupakan amanat dari Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Inpres tersebut, LPSK diberikan mandat untuk memberikan pendampingan pada 17 Kementerian dan Lembaga dalam rangka pelaksanaan WBS dan penanganan pengaduan.

“Amanat dari Inpres No 7 Tahun 2015, LPSK diinstruksikan untuk memberikan pendampingan pada 17 Kementarian dan lembaga dalam rangka pelaksanaan WBS dan penanganan pengaduan internal dan eksternal,” tulis Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai dalam siaran persnya yang diterima hukumonline.

Melalui MoU itu, diharapkan aksi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di 17 K/L melalui WBS bisa memberikan rasa aman kepada pelapor dan saksi sehingga mereka bersedia dan berani melaporkan serta memberikan keterangan pada proses peradilan tindak pidana korupsi. Sebab, pelapor dan saksi akan memikul  beban psikologis yang sangat berat  karena akan berurusan dengan teman, atasan bahkan keluarga sekali pun yang diduga melakukan korupsi.

“Belum risiko yang telah dan akan dihadapi baik resiko terhadap keamanan diri dan keluarga, juga risiko terhadap serangan balik (counter attack) berupa tuntutan pidana pencemaran nama baik, perbuatan tidak menyenangkan dan bentuk-bentuk kesalahan yang dapat dipidanakan. Pelapor juga menghadapi risiko serangan balik berupa pemindahan tugas, pemberhentian dari jabatan dan pemecatan dan bentuk-bentuk tindakan administrasi kepegawaian lainnya,” sebut Semendawai.

Tak hanya itu, lewat WBS, LPSK berharap hak-hak pelapor dan saksi harus benar-benar dijaga sehingga kondisi seperti ancaman fisik, beban mental hingga serangan balik bisa dihindari. Lebih lanjut, WBS juga wajib membangun sistem kerahasiaan dengan cara membangun tim pengelola yang kapabel dan kredibel. Sehingga perlindungan kepada whistleblower dan saksi bisa dioptimalkan.

“Memberikan perlindungan kepada pelapor dan saksi, serta perlu diberikannya reward bagi pelapor dan saksi yang telah mengungkap tindak pidana korupsi,”sebutnya.

LPSK meyakini, penyelenggaraan WBS di 17 K/L apabila dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, mampu memberikan kontribusi signifikan pada pemberantasan korupsi. Untuk itu ke depannya perlu dirumuskan dan dijalankan indikator yang lebih terukur dari pelaksanaan WBS di Kementerian dan Lembaga sehingga  pencegahan dan pemberantasan korupsi baik secara kualitatif dan kuantitatif dapat dicapai.  

“Dengan adanya WBS yang baik, semoga aksi pencegahan dan pemberantasan korupsi bisa berjalan dengan baik,” kata Semendawai.

Semendawai mengatakan, LPSK siap jika seluruh K/L tersebut membutuhkan jasa perlindungan bagi pegawainya yang mengungkap tindak pidana korupsi. “LPSK senantiasa akan siap apabila kementerian/lembaga mengajukan permintaan untuk memberikan perlindungan kepada pelapor dan saksi tindak pidana korupsi,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait