Luhut Usulkan 4 Standar Profesi yang Perlu Disatukan Organisasi Advokat
Utama

Luhut Usulkan 4 Standar Profesi yang Perlu Disatukan Organisasi Advokat

Diharapkan seluruh organisasi advokat perlu menjalankan 4 standar profesi advokat yang meliputi kode etik; dewan kehormatan bersama; standardisasi PKPA; dan pengawasan.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Luhut MP Pangaribuan dan Bivitri Susanti dalam IG Live Hukumonline bertajuk 'Single Bar dan Kualitas Profesi Advokat Masa Depan', Selasa (31/8/2021). Foto: Hol
Luhut MP Pangaribuan dan Bivitri Susanti dalam IG Live Hukumonline bertajuk 'Single Bar dan Kualitas Profesi Advokat Masa Depan', Selasa (31/8/2021). Foto: Hol

Bentuk organisasi advokat single bar atau multi bar hingga saat ini terus menjadi perdebatan sejak perpecahan organisasi advokat pada 2010 silam. Meski UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat menganut sistem single bar, tapi faktanya dalam beberapa tahun terakhir sudah menjamurnya banyak organisasi yang menjalankan fungsi organisasi advokat mulai penyelenggaraan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA), Ujian Profesi Advokat, hingga Penyumpahan Advokat. Bahkan, saat ini sistem single bar dipahami beragam pandangan di kalangan advokat dan pembentuk UU.

Praktisi Hukum Luhut MP Pangaribuan melihat ada beberapa pihak setuju terhadap konsep sistem single bar dalam organisasi advokat. Tapi, sistem single bar yang dimaksud bukan pemusatan kekuasaan yang tunggal (single bar absolute). Pemahaman single bar dengan pemusatan kekuasaan ini yang menjadi akar persoalan yang menimbulkan perpecahan.

“Padahal ada pilihan lain yakni single bar dalam arti relatif yang ditujukan pada kualitas profesi advokat,” kata Luhut MP Pangaribuan dalam diskusi IG Live Hukumonline bertajuk “Single Bar dan Kualitas Profesi Advokat Masa Depan”, Selasa (31/8/2021). (Baca Juga: Luhut MP Pangaribuan Tawarkan Konsep Satu Standar Profesi Advokat yang Tunggal)

Luhut menegaskan single bar yang dimaksud itu seharusnya menitikberatkan pada upaya meningkatkan kualitas profesi advokat. Karena itu, prinsip standar profesi advokat sedikitnya meliputi 3 hal yakni rekrutmen advokat, pengawasan, dan pelaksanaan kode etik advokat. Dalam proses rekrutmen, seperti pendidikan kekhususan profesi advokat (PKPA), ujian profesi advokay (UPA), magang, dan terakhir mengucapkan sumpah di Pengadilan Tinggi.

Bagi luhut, pemusatan kekuasaan yang absolut pada organisasi advokat akan rentan terjadi perpecahan, seperti yang terjadi selama ini. Ketika berbicara soal single bar atau multi bar, Luhut menekankan organisasi advokat jangan dianggap sebagai ormas atau organisasi politik, tapi organisasi berbasis keahlian. Karena itu, dia menilai tidak tepat jika organisasi advokat menekankan pada kekuasaan tunggal, yang terpenting itu standar profesi yang tunggal.  

Selama beberapa organisasi advokat yang ada saat ini di Indonesia sepakat dengan “satu standar profesi yang tunggal”, apapun pilihannya tidak akan menjadi masalah di kemudian hari. “Berbagai upaya dilakukan untuk membicarakannya termasuk dengan bantuan Menkopolhukam dan Menkumkam ternyata hasilnya tidak ada kesepakatan,” kata Ketua Umum DPN Peradi Rumah Advokat Bersama (Peradi RBA) ini.    

Luhut mengusulkan setidaknya ada 4 standar profesi advokat yang harus disatukan. Pertama, kode etik advokat dimana ini sudah dilakukan karena masuk dalam UU Advokat. Kedua, membentuk dewan kehormatan di tingkat pusat yang keputusannya bersifat final dan mengikat. Ketiga, standardisasi terhadap pendidikan khusus profesi advokat (PKPA). Keempat, pengawasan.

“Jika standar ini bisa disatukan, maka lebih dari separuh masalah organisasi advokat bisa diselesaikan,” ujarnya optimis.

Standar dan etika profesi 

Akademisi STHI Jentera, Bivitri Susanti, melihat tidak ada praktik tunggal single bar atau multi bar dalam organisasi advokat. Setiap negara mengatur organisasi advokat sesuai kebutuhan profesi advokat di negara tersebut. Apapun bentuk organisasinya yang terpenting disepakati oleh komunitas advokat dan dijalankan secara konsisten.

“Apakah itu single bar atau multi bar yang penting disepakati komunitas advokat itu sendiri dan dijalankan secara konsisten,” paparnya.

Bivitri menyebut sedikitnya ada 2 hal yang menjadi ukuran sebagai profesi yaitu kualitas layanan dan perilaku serta etiknya. Kualitas layanan misalnya, apakah ada pendidikan yang berkelanjutan, kemudian untuk perilaku dan etik harus ada sidang etik dan sanksi yang dijalankan dewan kehormatan profesi.

Dalam sistem single bar memang seharusnya hanya ada satu organisasi advokat di Indonesia, tapi Bivitri menilai hal itu dapat memicu kekisruhan di kalangan advokat selama ini. Karena itu, single bar tidak perlu dipaksakan hanya ada satu organisasi, tapi yang terpenting ada standar dan etika profesi yang menjadi pedoman bersama.

Soal jumlah lulusan hukum yang saat ini lebih banyak memilih profesi advokat ketimbang yang lain, Bivitri melihat ada citra seolah advokat adalah profesi yang membawa kemakmuran. Itu terjadi karena saat ini mahasiswa hukum tidak menemukan role model yang tepat, dan lebih melihat pada advokat yang sering menimbulkan kontroversi dan kerap muncul dengan berbagai kemewahan di sekitarnya.

“Padahal, banyak advokat yang menjalankan profesinya dengan baik yang lebih tepat untuk dijadikan role model.”

Tags:

Berita Terkait