�Mafia Peradilan': Antara Dipolitikkan dan Disembunyikan
Oleh: Imam Nasima *)

�Mafia Peradilan': Antara Dipolitikkan dan Disembunyikan

Kita tersenyum bukanlah kerna bersandiwara. Bukan kerna senyuman adalah satu kedok. Tetapi kerna senyuman adalah satu sikap. Sikap kita untuk Tuhan, manusia sesama, nasib, dan kehidupan. (W.S. Rendra)

Bacaan 2 Menit
�Mafia Peradilan': Antara Dipolitikkan dan Disembunyikan
Hukumonline

 

Di dalam tulisan ini, penulis tertarik untuk meninjau permasalahan mafia peradilan lebih dalam dan jernih lagi. Pertama-tama, penulis akan membahas terlebih dahulu solusi-solusi yang ditawarkan Subagyo. Selanjutnya, penulis akan berusaha memperjelas permasalahan seperti apa yang sebenarnya kita hadapi menyangkut isu mafia peradilan tersebut.

 

Efektivitas dua cara ala saudara Subagyo

Pendapat Subagyo sangat menarik. Di dalam tulisan pendeknya yang sangat tegas dan lugas, terkandung semangat menggebu untuk membenahi dunia peradilan di Indonesia. Namun begitu, selain butuh adanya semangat yang menggebu, dalam usaha untuk memperbaiki dunia peradilan di Indonesia, dibutuhkan pula adanya kerangka pikir yang jernih. Kalau bisa, jalan keluar yang ditawarkan tidak akan menimbulkan masalah baru nantinya.

 

Cara pertama yang Subagyo tawarkan, yaitu revolusi organisasi atau kelembagaan, secara kasat mata sudah terlihat nuansa politisnya. Pesan yang terkandung di dalamnya adalah penggantian dengan segera orang-orang yang sekarang duduk di kursi hakim agung dengan orang-orang baru. Meski begitu, ada beberapa pertanyaan yang layak diajukan. Pertama, benarkah semua hakim agung yang sekarang duduk di MA bermasalah? Penulis yakin, seperti halnya kebaikan yang terkandung di hati Subagyo, ada juga kebaikan yang terkandung di benak para hakim agung atau hakim karir lainnya. Ke dua, jika memang benar, katakanlah, semua hakim agung bermasalah, masalah apakah itu? Orang tidak bisa dihakimi semata-mata karena jati dirinya atau posisi yang disandangnya, melainkan karena perbuatan yang ia lakukan. Sehingga, perlu ada sikap bijak untuk mengurai dan memecahkan permasalahan yang dihadapi dengan hati-hati. Ke tiga, kalaupun pilihan ‘kocok ulang' total tersebut diambil, benar-benar sudah adakah calon yang kompeten yang bisa dipilih melalui sebuah proses penyaringan dan seleksi yang baik?

 

Untuk mewujudkan usaha regenerasi bertahap sekalipun, lembaga KY sendiri terbukti masih kerap menghadapi berbagai kendala dalam proses penyaringan dan seleksi, antara lain kurangnya calon yang berkualitas. Sehingga, masalahnya bukan hanya siapa yang mesti menjabat, namun tingkat integritas moral dan kemampuan hukum seperti apa yang mesti dimiliki seorang hakim yang ideal. Tentu, kita harus jujur menerima kenyataan kualitas pendidikan hukum di Indonesia yang masih rendah. Kemudian yang tak kalah penting untuk dicermati, bagaimana jalannya proses penanganan perkara oleh lembaga MA di masa seleksi itu sendiri. Siapa yang kemudian mesti menjalankan fungsi tersebut di masa transisi? Bukankah hal-hal tersebut patut untuk dipikirkan masak-masak?

 

Selain itu, pendekatan politis juga akan semakin memperbar jurang antara dua kubu (yang juga lahir akibat adanya pendekatan politis seperti itu) di dalam komunitas hukum Indonesia, yaitu antara kubu ‘loyalis' MA dan kubu ‘kritikus' MA. Kondisi itu akan semakin mengaburkan obyek permasalahan yang kita hadapi, serta menggerus makna kejujuran dan keadilan itu sendiri. Tentu, bukan kondisi seperti itu yang kita bersama harapkan.

 

Selanjutnya, cara ke dua yang Subagyo tawarkan juga tak kalah menjanjikan. Apabila kinerja KPK dapat terus ditingkatkan, termasuk dalam pengawasan perilaku korupsi dalam proses peradilan, maka kondisi peradilan bersih dan berwibawa yang kita idam-idamkan tentu akan terwujud. UU Tipikor sendiri telah menetapkan sanksi yang berat baik bagi pelaku, maupun penerima suap dalam suatu perkara (pasal 6 dan pasal 12 huruf c UU Tipikor). Namun, artinya itu menyangkut masalah penanganan kasus-kasus korupsi. Apa kendala-kendala yang sampai saat ini masih dihadapi dalam penanganan korupsi (khususnya yang menyangkut proses peradilan), dan mengapa itu terjadi? Solusi atas permasalahan implementasi UU Tipikor, tentu akan semakin memperjelas cara ke dua yang saudara Subagyo tawarkan.

 

Dalam tulisan ini, saya akan mengamati permasalahan mafia peradilan lebih dalam lagi. Dari apa yang sebenarnya disebut mafia peradilan, bagaimana bentuk-bentuknya, hingga mengapa mafia peradilan membuat para pencari keadilan dan pegiat hukum frustasi. Berdasar pada analisa tersebut, barangkali baru bisa kita pikirkan usaha untuk memperbaiki dunia peradilan kita. 

 

Mafia Peradilan

Kata mafia mengandung konotasi negatif. Sayang, di dalam kamus yang penulis gunakan (Kamus Umum Bahasa Indonesia, W.J.S. Poerwadarminta, Balai Pustaka, 2002), kata itu sendiri tidak ada. Namun, menurut hemat penulis, kata tersebut dapat dipadankan dengan geng yang berarti segerombolan orang-orang yang melakukan kegiatan atau tindakan (biasanya yang terlarang) bersama-sama. Dalam kamus yang sama, peradilan diartikan sebagai segala sesuatu mengenai perkara pengadilan yang merupakan turunan dari kata adil yang berarti (1) tidak berat sebelah; (2) sepatutnya; tidak sewenang-wenang. Jadi, dari segi bahasa, mafia peradilan dapat dijabarkan sebagai segerombolan orang-orang yang melakukan kegiatan atau tindakan (biasanya yang terlarang) bersama-sama dalam proses penanganan perkara yang (semestinya) tidak berat sebelah dan tidak sewenang-wenang.

 

Arti mafia peradilan dari segi bahasa, sejalan dengan pandangan Komisi Pemantau Peradilan yang dalam siaran persnya, mengutip  hasil penelitian yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada tahun 2001-2002, mengungkapkan bahwa telah ada pola kerja sama yang melibatkan hampir seluruh pelaku di dunia peradilan, mulai dari hakim, pengacara, jaksa, polisi, panitera sampai karyawan dan tukang parkir di pengadilan, dengan tujuan menghindari proses penanganan perkara yang semestinya. Hal ini terjadi mulai dari pengadilan negeri hingga MA. 

 

Ketua KY, M. Busyro Muqoddas, mencoba untuk menjabarkan mafia peradilan lebih lanjut lagi dari bentuk-bentuk lahiriahnya. Menurutnya, ada empat bentuk modus operandi mafia peradilan yang kerap terjadi di peradilan Indonesia. Pertama, penundaan pembacaan putusan oleh majelis hakim. Kedua, manipulasi fakta hukum. Ketiga, manipulasi penerapan peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan fakta hukum yang terungkap di persidangan. Modus keempat atau yang terakhir, berupa pencarian peraturan perundang-undangan oleh majelis hakim agar dakwaan jaksa beralih ke pihak lain.

 

Semasa menjabat Ketua Muda Bidang Pengawasan MA almarhum Gunanto Suryono mengatakan, bahwa modus operasi mafia peradilan bisa berupa pengeluaran putusan palsu atau fiktif. Dalam hal ini, meskipun ia telah mengakui bahwa mafia peradilan itu ada, yaitu dalam bentuk pembuatan putusan palsu atau fiktif, namun ia ingin menegaskan bahwa pembuatan putusan tersebut tidak melibatkan institusi MA secara resmi. Meski begitu, tak jelas kapan sebuah putusan itu palsu atau fiktif. Apa kriterianya? Sudahkah MA mencoba untuk mengatasi permasalahan tersebut?

 

Sementara itu, reaksi Ketua MA dalam menanggapi hal ini terdengar lebih keras lagi. Ketua MA, Bagir Manan, menegaskan bahwa Mafia Peradilan sebagai organized crime tidak ada, yang ada adalah orang dalam maupun luar peradilan yang melakukan perbuatan melawan hukum. Di awal tulisan ini juga sudah dituturkan bagaimana baru-baru ini pernyataan senada kembali dilontarkan. Pernyataan tersebut, bisa saja dipahami (meski belum tentu dapat diterima), karena wajar saja apabila MA sebagai sebuah institusi, ingin menegaskan bahwa institusi tersebut  bukanlah segerombolan orang-orang yang melakukan kegiatan atau tindakan bersama-sama, sehingga patut dianggap telah melakukan sebuah kejahatan yang terorganisir. Bukankah justru MA yang semestinya menetapkan apa yang boleh dan tidak boleh? Apa jadinya kalau lembaga itu sendiri dianggap sebagai sebuah kejahatan terorganisir? Tentu, para pencari keadilan sendiri tidak bisa memungkiri kebutuhan mereka akan adanya sebuah lembaga peradilan. Bagaimanapun juga, keresahan yang timbul bersumber pada keraguan berikut ini: sudah adakah usaha MA sendiri untuk menindak mereka yang terlibat dalam apa yang Ketua MA sendiri sebut sebagai perbuatan melawan hukum tersebut?

 

Ketua MA, Bagir Manan, secara implisit telah mengatakan bahwa telah ada tindakan yang diambil. Meski begitu, penyelesaian tersebut terjadi di belakang pintu. Alasan yang ia sampaikan: Kalau saya beri tahu (siapa orang-orang tersebut, red), bisa dikatakan melanggar HAM nantinya. Yang pasti ada 16 hakim yang sudah kami beri sanksi terkait pelanggaran kode etik hakim. Padahal, kalau kita mau jujur, bukankah hak asasi (dalam hal ini penggunaan nama anonim) mereka yang terlibat tersebut harus ditimbang dengan kepentingan umum untuk menegakkan sistem peradilan yang baik, dalam arti meraih kepercayaan publik yang justru dibutuhkan oleh lembaga peradilan kita saat ini? Kalaupun ada tindakan yang telah diambil, nyatakan saja pada kasus-kasus seperti apa, supaya jelas kondisi obyektif seperti apa yang jadi batasan tindakan yang boleh dan tidak boleh. Kemudian, kalau memang tindakan itu telah ada dan berpengaruh pada proses perbaikan, bukankah akan dengan sendirinya terbukti dari kinerja MA yang akan semakin membaik? Lalu untuk apa memancing kontroversi tersebut? Akan lebih baik dan elegan, penulis pikir, untuk mengakui saja masih adanya permasalahan tersebut, serta menegaskan bahwa MA sedang terus berusaha mengadakan usaha-usaha perbaikan.

 

Dari paparan di atas, sedikit banyak dapat ditelusuri, apa sebenarnya yang menjadi kendala. Pertama, harus diakui telah ada kecenderungan KY untuk memasuki wilayah kekuasaan hakim dalam memutus perkara, seperti pendapat Ketua KY yang bisa kita lihat dari berita di media massa selama ini. Mengapa? Barangkali karena putusan hakim itulah yang akan membuat para praktisi hukum dan pencari keadilan (pengguna) berminat untuk turut andil dalam proses penegakan hukum dan tidak terus menerus mengikuti jalur-jalur tertutup yang melawan hukum. Seperti kita ketahui bersama, advokat akan menimbang sejauh mana perubahan yang terjadi di dalam tubuh lembaga peradilan akan berpengaruh pada pekerjaannya dalam membela kepentingan klien-kliennya. Sehingga, ketika belum ada kepastian akan perubahan positif di lembaga peradilan, wajar apabila terjadi kondisi di mana pihak yang satu berusaha menutupi kesalahan pihak yang lain.

 

Pada akhirnya, praktek yang diterima komunitas hukum dan berlaku secara nyata adalah praktek yang menyimpang dari gambaran ideal sebuah proses peradilan yang jujur. Selain itu, putusan itulah yang kemudian menjadi media antara hakim yang memutus perkara dan khalayak umum. Sebenarnya, bukan semata hasil akhirnya atau amar putusan saja yang mesti dikomunikasikan, namun, dasar-dasar alasan yang mendasari suatu putusan tertentu itupun harus terus dikomunikasikan dengan publik. Dalam situasi yang masih tertutup seperti saat ini, memang dibutuhkan usaha berkesinambungan mendorong keterbukaan penanganan perkara, agar ada jaminan sebuah perkara diadili secara mandiri, tidak berpihak dan obyektif. Jika demikian, Keadilan yang dicerminkan oleh lembaga peradilan tersebut akan mendongkrak kepercayaan publik pada lembaga peradilan dengan sendirinya.

 

Meskipun maksud baik KY di atas bisa dipahami, bagaimanapun juga harus tetap diingat bahwa hakim semestinya tetap memiliki kebebasan penuh untuk memutus perkara sesuai dengan keyakinan hukumnya. Ius curia novit, pengadilan tahu apa yang adil (sesuai hukum). Sementara itu, Komisi Yudisial bukanlah lembaga kekuasaan kehakiman. Di sisi lain, bagi hakim yang bersangkutan, doktrin hukum tersebut juga mengandung arti bahwa hakim hanya dan hanya boleh memutus berdasar pada keyakinan hukumnya. Tidak lebih, tidak kurang. MK dalam putusannya (005/PUU-IV/2006) telah menggariskan:

 

  •  Kemerdekaan hakim tersebut bukan merupakan privilege atau hak istimewa hakim, melainkan merupakan hak yang melekat (indispensable right atau inherent right) pada hakim dalam rangka menjamin pemenuhan hak asasi dari warga negara untuk memperoleh peradilan yang bebas dan tidak berpihak (fair trial),
  • Kemerdekaan juga berjalan seiring dengan akuntabilitas yang diwujudkan dengan pengawasan.
  • Kemerdekaan hakim di samping merupakan hak yang melekat pada hakim sekaligus juga merupakan prasyarat untuk terciptanya sikap tidak berpihak (impartial) hakim dalam menjalankan tugas peradilan.

 

Artinya, keyakinan hukum hakim bersangkutan harus diungkapkan melalui sebuah argumen terbuka sebagai bentuk pertanggungjawaban. Sehingga tidak timbul kecurigaan akan adanya faktor lain yang menentukan putusan hakim. Idealnya, semua putusan peradilan dipublikasikan dan terbuka untuk umum. Kalaupun ada perkecualian, yaitu penanganan perkara yang dilakukan di belakang pintu, maka harus dilihat dari kepentingan untuk melindungi korban (seperti kasus perkosaaan atau delik asusila), bukan dari sisi (nama baik) terdakwa. Mengapa? Karena baik tidaknya reputasi si terdakwa hanya dan hanya akan bergantung pada proses peradilan yang terbuka. Keterbukaan ini, pada gilirannya nanti akan berimbas pada pembentukan doktrin hukum (istilah khas civil law untuk suatu pendapat hukum tetap) yang akan meningkatkan adanya jaminan kepastian hukum. Publikasi putusan akan membuka ruang bagi lahirnya dukungan, maupun kritik dari dunia akademis. Bukankah dengan begitu akan terjadi peningkatan kualitas sarjana-sarjana hukum di Indonesia?

 

Kalau ada usaha mempertahankan independensi atau kemerdekaan hakim yang diidealkan oleh para hakim (lihat juga pendapat IKAHI dalam pembahasan perubahan UU Bidang Peradilan), semestinya dihubungkan pula dengan adanya keterbukaan proses peradilan. Semakin terbuka suatu proses peradilan, semakin wajar untuk menuntut adanya ‘kemerdekaan' hakim. Karena, seperti diuraikan oleh MK, kemerdekaan hakim merupakan hak yang melekat pada kewajiban untuk menyelenggarakan peradilan yang bebas dan tak berpihak. Bukankah penyandang fungsi hakim (secara pribadi) itu sendiri ingin diberlakukan jujur dan adil pula oleh lembaga peradilan, ketika dirinya suatu saat menjadi pihak atau terdakwa dalam suatu perkara? Peradilan seperti ini akan tercipta, apabila tiap-tiap pihak bersangkutan memiliki kesempatan yang setara untuk turut andil dalam proses penemuan keadilan, serta mendapatkan putusan yang disertai dasar-dasar alasan yang terbuka.

 

Kedua, apabila memang terdapat ‘oknum-oknum' tertentu yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam menangani perkara – seperti selama ini ditengarai terjadi, belum jelas seperti apa, terhadap siapa dan terutama atas dasar apa, tindakan yang diambil oleh MA. Hal-hal tersebutlah yang kemudian semakin memperkuat isu mafia peradilan di Indonesia, sekaligus mempertajam ‘tekanan politik' pada lembaga peradilan secara umum.

 

Politik hukum dan keyakinan hukum

Perdebatan mengenai kekuasaan hakim (politik hukum), yaitu sakral tidaknya putusan hakim, setelah sempat menghampiri meja hakim-hakim konstitusi, juga telah memasuki ruangan pembuat undang-undang dalam proses perubahan UU Bidang Peradilan. Inti permasalahan itu sendiri, sebenarnya masih berkisar pada fungsi pengawasan internal dalam tubuh MA yang (dianggap) tidak berjalan, serta masih belum jelas dan pastinya proses penanganan suatu perkara di pengadilan. Sejauh ini, lembaga KY diharapkan dapat mendukung proses perbaikan di tubuh MA itu. Dan kebetulan, ada beberapa kasus yang beberapa tahun belakangan ini sempat menyeruak di media, yaitu mengenai kasus suap Probosutedjo yang (kebetulan pula) membutuhkan kesaksian Bagir Manan, serta tafsir atas aturan UU Tipikor dalam kasus Neloe oleh hakim PN Jaksel. Kasus Neloe sendiri – di mana putusan PN Jaksel memicu kontroversi, pada akhirnya telah diputus berbeda oleh MA.

 

Pendeknya, pertanyaan yang mengemuka: kapan sebuah putusan bisa dianggap mengandung keyakinan hukum, sehingga mesti disakralkan dan tidak bisa disentuh oleh satu sistem pengawasan di luar kekuasaan kehakiman? Sebenarnya, pertanyaan ini sangat penting untuk dijawab, mengingat (1) hakim (lembaga peradilan) adalah pemegang kekuasaan tunggal dalam memutus perkara, tetapi, (2) kekuasaan tersebut bukanlah kekuasaan yang tak terbatas. Ada kaedah-kaedah obyektif yang menjadi (bahkan, idealnya, merupakan satu-satunya) patokan dalam memutus sebuah perkara. Meskipun hakim memiliki kekuasaan penuh, namun kekuasaan tersebut semestinya tidak lepas dari keyakinan hukum tertentu (lihat juga Paul Scholten, Algemeen Deel I, 1931).

 

Untuk mengetahui ada tidaknya keyakinan hukum yang dijadikan dasar suatu putusan, tentu harus kita lihat juga putusan tersebut. Sehingga pertanyaan selanjutnya, bolehkah KY ikut menilai putusan tersebut. Pada dasarnya, jawaban pertanyaan tersebut adalah tidak, mengingat fungsi pembentukan yurisprudensi hanya ada di tangan MA. Namun, dalam kondisi anomali seperti yang terjadi saat ini, di mana putusan-putusan perkara belum dipublikasikan secara luas, tentu ada perkecualian. Sebastiaan Pompe pernah menyebutkan, bahwa meskipun isi putusan tidak dapat diganggu gugat, idealnya, bukan tidak mungkin KY diperbolehkan menggunakan putusan sebagai bukti adanya indikasi penyimpangan.

 

Peradilan sebagai sebuah proses yang jujur     

Peradilan, seperti sudah disebutkan tadi, mengandung arti segala sesuatu mengenai perkara pengadilan, yang merupakan turunan dari kata adil yang berarti (1) tidak berat sebelah; (2) sepatutnya; tidak sewenang-wenang. Artinya, ditilik dari makna katanya saja, sebuah sistem peradilan yang ideal sekurang-kurangnya harus memenuhi syarat (1) netralitas atau ketidakberpihakan dan/atau (2) dasar-dasar pertimbangan yang patut.

 

Pada dasarnya, memang selalu ada dua pihak (atau lebih) yang berselisih dalam suatu perkara pengadilan. Dalam perkara pidana atau permohonan sekalipun, bukan berarti penjatuhan hukuman atau pengakuan hak hanya menyangkut satu pihak saja. Pengakuan hak pada satu pihak atau dijatuhkannya sanksi, sejatinya juga akan menyangkut kepentingan-kepentingan (para) pihak lain yang (secara obyektif) terkait dengan pengakuan atau penetapan sanksi tersebut. Dilimpahkannya suatu hak atau dijatuhkannya suatu hukuman harus didasari dengan dasar-dasar pertimbangan patut yang mengacu pada kriteria-kriteria obyektif tertentu yang berlaku secara umum. Sementara itu, ketika suatu hak dicabut atau seorang terdakwa dibebaskan dari tuntutan, juga mesti ada dasar-dasar pertimbangan yang juga akan berlaku bagi pemegang hak atau (calon) terdakwa lain dalam kasus serupa. Di titik ini, terkandung hubungan timbal balik, yaitu kriteria-kriteria obyektif yang, tanpa kecuali, akan merekatkan kepentingan semua orang, termasuk hakim yang menjatuhkan putusan itu sendiri. Kriteria-kriteria obyektif ini, hanya akan bisa disampaikan kepada semua orang, ketika ada sebuah proses peradilan yang terbuka. Keterbukaan itu nantinya akan mencerminkan kejujuran dari penyelenggara peradilan.

 

Dari sini saja, sebenarnya bisa kita lihat norma penguji mutlak seperti apa yang harus dipenuhi oleh seorang hakim dalam memutus perkara, yaitu adanya proses yang jujur. Nilai mutlak tersebut, tidak bisa tidak, harus selalu dipenuhi, lepas dari penilaian hakim atas muatan perkara itu nantinya seperti apa. Dengan begitu, sebenarnya perkara pengadilan akan dapat kita kaji dari dua sudut pandang (1) dijalankannya proses-proses tertentu secara jujur dan (2) penilaian menyangkut kebenaran di dalam perkara tersebut (lihat juga John Rawls, Justice as Fairness, Philosophical Review Vol. LXVII, 1958, 164-194).

 

Untuk poin ke 2 atau tafsiran kebenaran, memang pada akhirnya hanya dan hanya ditentukan oleh penilaian hakim saja. Hakim sejatinya memiliki kemerdekaan untuk menentukan bagaimana dirinya menilai bukti, memilah peraturan perundangan yang relevan, serta menafsirkan dan menerapkan aturan tersebut. Bukankah pada waktu sebuah perkara dibawa ke pengadilan sudah ada pengakuan akan kewenangan hakim untuk menemukan kebenaran dalam perkara tersebut? Untuk masalah ini, di negara-negara maju sekalipun, masih saja ada perdebatan terbuka mengenai argumen hukum hakim bersangkutan. Belum tentu apa yang diputuskan hakim berdasar keyakinan hukumnya dapat diterima semua orang. Itu wajar. Namun, itu menyangkut pilihan, tafsir, serta penerapan satu peraturan tertentu dengan menimbang kondisi-kondisi obyektif suatu perkara yang diungkapkan secara gamblang. Pencari keadilan pun harus menyadari perlunya penyelesaian sengketa.  

 

Bagaimanapun juga, adanya proses peradilan yang terbuka, dapat menghapus faktor-faktor non-yuridis yang (diduga) ikut berperan. Benar salahnya seseorang akan ditentukan oleh kondisi obyektif perkara itu sendiri. Hal tersebut sudah mulai bisa kita lihat dalam perdebatan-perdebatan yang mengiringi putusan-putusan MK. Ditolaknya permohonan pengujian UU Pemilu Presiden yang diajukan Gus Dur, misalnya, tetap membuat kuasa hukum pemohon, Syaiful Anwar, merasa dihargai dan dihormati, meski permohonannya ditolak. Mungkin dirinya tetap saja memiliki pendapat-pendapat yang berbeda, namun, yang jelas dirinya tak lagi menyangsikan netralitas MK.

 

Untuk kasus ‘mafia peradilan' di Indonesia, masalah yang dihadapi sebenarnya lebih menyangkut pada apa yang terkandung di dalam poin ke-1. Sudah adakah jaminan akan proses yang jujur atau, meminjam istilah yang dipakai oleh MK, peradilan yang bebas dan tidak berpihak (fair trial) bagi pihak-pihak yang bertikai berdasar pada landasan obyektif yang berlaku umum? Masalah inilah yang sebenarnya membuat para pemerhati dan pegiat hukum dibuat gerah dan frustasi dalam mencari keadilan.

 

Pembenahan proses penanganan perkara

Untuk perbaikan ke depannya, tidak dipenuhinya poin ke-1 (proses yang jujur) di atas dapat dijadikan patokan kemungkinan adanya kondisi yang sangat ekstrim yang dapat dijadikan bukti oleh KY untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut lagi. Tentu, masih mesti dilihat lagi seberapa serius pelanggaran atas syarat-syarat adanya peradilan yang bebas dan tidak berpihak, dalam kasus-kasus nyata. Dalam hal ini, KY di satu sisi harus tetap berusaha menghindari intervensi atas pendapat hukum hakim bersangkutan, namun, di sisi lain juga terus berusaha membantu menegakkan proses peradilan yang jujur.

 

Untuk mewujudkan hal tersebut di atas, KY perlu melakukan kerja sama dengan MA. Tujuan KY adalah ikut memecahkan permasalahan internal yang dihadapi MA, bukan untuk menjadi kekuasaan kehakiman tandingan. Semakin politis tekanan yang diberikan KY, maka akan semakin defensif lembaga MA. Akibat paling parah, kita akan dihadapkan pada pilihan antara MA dan KY yang sebenarnya tidak perlu. Bagaimanapun juga, mustahil peradilan yang jujur dapat diwujudkan tanpa inisiatif dan peran serta MA.

 

Karenanya, selain mempublikasikan putusan, idealnya MA juga membentuk sebuah majelis kehormatan yang melibatkan KY dalam memeriksa hakim yang dicurigai telah melakukan penyelewengan fungsi dan kewenangannya. Ide tersebut sebenarnya telah masuk ke meja DPR. Meski begitu, sebelumnya harus ada kesepakatan antara MA dan KY mengenai dasar-dasar obyektif yang jadi patokan bersama dalam melakukan fungsi pengawasan seperti ini, sehingga pertikaian dapat dihindari berdasar pada kesepakatan tersebut. Ini akan memperkecil resiko benturan politis di antara dua lembaga tersebut. Barangkali, kondisi yang sangat ekstrim yang telah penulis sebutkan tadi, bisa dijadikan sebagai patokan seperti itu.

 

Bukan tidak mungkin, apabila majelis seperti itu ada – dengan syarat adanya kriteria-kriteria obyektif tadi, akan ada perubahan yang semakin berarti di dalam tubuh MA. Bukankah institusi MA sendiri akan berpikir dua kali untuk menjaga citranya di mata publik dengan tidak meremehkan fungsi pengawasan internal yang melibatkan KY tersebut? Di sisi lain, apabila peradilan yang jujur terwujud, maka publik sendiri akan dapat menilai apa yang menjadi dasar-dasar putusan hakim. Semakin bijak argumen-argumen yang dikemukakan oleh hakim, maka semakin tinggi pula tingkat kepercayaan publik.  

 

Perlu untuk diingat, akibat dari belum adanya jaminan akan proses peradilan yang jujur, kekuasaan hakim terus menerus mendapat tekanan. Karena hal ini menyangkut kekuasaan, maka tak heran apabila reaksi yang timbul sangat berbau politis. Kondisi ini juga berpengaruh negatif pada komunitas hukum di Indonesia. Kecurigaan, perselisihan, bahkan pertikaian di dalam dunia hukum yang semestinya bersih dan penuh rasa percaya, telah menjadi hal yang begitu lazim. Bila di puncaknya saja terjadi konflik, maka tidak mengherankan bila pada tataran bawah juga berlangsung proses dialog yang tidak sehat. Patut pula digarisbawahi, citra dunia litigasi di Indonesia masih jauh dari cerminan nilai kebaikan, keadilan dan kebenaran yang diidealkan oleh para pencari keadilan, bahkan di mata para sarjana hukum sendiri sekalipun. Kepercayaan publik pada dunia litigasi, pendek kata, telah mencapai titik yang sangat mengkhawatirkan.

 

Jika setiap ketua MA menghendaki perubahan – penulis yakin Ketua MA saat ini, Bagir Manan, sendiri sudah muak dengan cap ‘mafia peradilan', bukankah ada baiknya sesegera mungkin mewujudkan proses peradilan yang jujur dengan bantuan KY? Sehingga, pada akhirnya nanti ungkapan ‘mafia peradilan' yang selama ini dirasa sebagai cacian atau hinaan akan hilang dengan sendirinya, bukan karena usaha untuk menutup-nutupi permasalahan kelembagaan yang dihadapi MA. Di sisi lain, KY juga perlu memahami betapa ruwetnya permasalahan MA. Hanya dengan mengganti hakim, tentu tidak akan menyelesaikan masalah begitu saja. Komentar Ketua MK, Jimmly Asshiddiqie, layak untuk disimak bersama: Biarkan pikiran kritis menjadi lebih baik, apabila menuju atau ada agenda ke depan yang lebih baik. Untuk itu juga perlu disikapi secara sabar, terbuka, jujur pada diri sendiri.

 

Tulisan saudara Subagyo mengenai mafia peradilan di dalam ruang kolom hukumonline ini beberapa waktu lalu, menarik untuk dikaji lebih lanjut. Pertama, terbukti dari tanggapan yang muncul, baik dari segi kuantitas, maupun luapan-luapan emosi yang terkandung di dalamnya, masalah tersebut masih penting dan relevan dalam dunia hukum Indonesia, sehingga layak untuk terus diperbincangkan. Ketua MA, Bagir Manan, boleh-boleh saja mengatakan: kalau masih ngomong MA tidak independen, dan masih ada mafia peradilan, itu berarti paradigma tujuh tahun  lalu yang dipakai. Namun, dirinya tetap tidak bisa memungkiri kenyataan bahwa praktek peradilan di Indonesia sampai saat ini sekalipun, belum keluar dari masalah tersebut.

 

Buktinya, reaksi-reaksi keras dari pegiat hukum di Indonesia justru semakin gencar, di antaranya siaran pers yang dikeluarkan oleh Komisi Pemantau Peradilan. Artinya, permasalahannya masih tetap ada, entah bentuk mafia peradilan sendiri itu seperti apa, siapa yang patut dipersalahkan dan bagaimana mengatasinya. Bahkan, berita yang memuat adanya fenomena tersebut dua tahun yang lalu, masihlah hangat di telinga kita.

 

Hal kedua yang membuat tulisan saudara Subagyo juga patut untuk dicermati, adalah solusi-solusi yang ia tawarkan. Subagyo menawarkan dua cara …untuk mendobrak tembok tebal mafia peradilan. Dua cara tersebut adalah (1) revolusi organisasi atau kelembagaan, serta (2) memperkuat jejaring KPK di daerah-daerah. Revolusi organisasi mengandung arti perubahan revolusioner dalam tubuh MA melalui jalur politik (DPR) yang biasa disebut ‘kocok ulang', sedang ‘jejaring KPK' yang dimaksudkan saudara Subagyo, selain perluasan daerah pengawasan KPK (tidak hanya di pusat), juga mengandung arti partisipasi sipil dalam proses pengawasan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: