Masalah Hukum di Balik Diskualifikasi Atlet Asian Para Games Belum Selesai
Utama

Masalah Hukum di Balik Diskualifikasi Atlet Asian Para Games Belum Selesai

Pemenuhan hak penyandang disabilitas berdasarkan UU Penyandang Disabilitas.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Miftahul Jannah (baju merah berjilbab), atlet difabel netra didiskualifikasi dari pertandingan Asian Para Games 2018 karena menolak melepas jilbab. Foto: youtube
Miftahul Jannah (baju merah berjilbab), atlet difabel netra didiskualifikasi dari pertandingan Asian Para Games 2018 karena menolak melepas jilbab. Foto: youtube

Awal Oktober ini ramai pemberitaan soal atlet blind judo di Asian Para Games yang didiskualifikasi karena menolak mengikuti peraturan partandingan soal penutup kepala. Miftahul Jannah, atlet difabel netra didiskualifikasi dari pertandingan Asian Para Games 2018 karena menolak melepas jilbab, Senin (8/10) lalu.

 

Berbagai perdebatan opini sempat bergulir di publik. Namun, pertanyaan penting yang seharusnya dijawab adalah apa masalah sebenarnya yang harus tuntas diselesaikan berdasarkan hukum yang berlaku?

 

Berbagai pembahasan sempat meramaikan perbincangan di publik mengenai diskualifikasi atlet atlet blind judo karena persoalan peraturan pertandingan. Sayangnya, seperti berbagai pemberitaan lainnya, terus meredup hingga akhirnya hilang. Ada yang menyalahkan sikap Miftahul Jannah karena ngotot dan menyia-nyiakan persiapan berbulan-bulan lamanya. Ada yang menyalahkan National Paralympic Committee (NPC) Indonesia selaku federasi olahraga. Tak ketinggalan, ada yang menyalahkan Pemerintah.

 

Fajri Nursyamsi, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) mengatakan bahwa peristiwa ini tidak dapat dianggap remeh dari sudut pandang hukum. Sebagai perwakilan dalam Kelompok Kerja (Pokja) Implementasi UU Penyandang Disabilitas, Fajri mengingatkan bahwa isu yang harus diperhatikan adalah pemenuhan hak-hak serta kepentingan penyandang disabilitas oleh pihak terkait.

 

“Ini sebenarnya dampak dari sistem yang tidak berjalan,” ujar Fajri saat dihubungi hukumonline.

 

UU Penyandang Disabilitas

Bagian Kesebelas

Hak Keolahragaan

Pasal 15:

Hak keolahragaan untuk Penyandang Disabilitas meliputi hak:

a.  melakukan kegiatan keolahragaan;

b.  mendapatkan penghargaan yang sama dalam kegiatan keolahragaan;

c.  memperoleh pelayanan dalam kegiatan keolahragaan;

d.  memperoleh sarana dan prasarana keolahragaan yang mudah diakses;

e.  memilih dan mengikuti jenis atau cabang olahraga;

f. memperoleh pengarahan, dukungan, bimbingan, pembinaan, dan pengembangan dalam keolahragaan;

g.  menjadi pelaku keolahragaan;

h.  mengembangkan industri keolahragaan; dan

i.   meningkatkan prestasi dan mengikuti kejuaraan di semua tingkatan.

 

Fajri menjelaskan setidaknya ada dua pihak yang paling bertanggung jawab yaitu National Paralympic Committee (NPC) Indonesia dan Pemerintah. Berdasarkan keterangan Fajri, NPC adalah federasi olahraga satu-satunya yang menaungi seluruh cabang olahraga penyandang disabilitas di Indonesia.

 

“Konsentrasi NPC sudah banyak terpecah dan dukungan Pemerintah pun minim,” kata Fajri.

 

Fajri mengutip keterangan pers dari NPC yang mengakui bahwa pendamping dan pelatih judo yang mengikuti berbagai proses persiapan teknis tidak menguasai bahasa Inggris dengan baik. Akibatnya berbagai regulasi dari Federasi Judo Internasional tidak dipahami dengan benar. Di sisi lain, atlet difabel netra terkait juga mengakui sudah mengetahui aturan itu dan ingin memperjuangkan agar bisa tetap bertanding dengan jilbab.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait