Masukan Penting LPSK Atas Pembahasan RUU TPKS
Terbaru

Masukan Penting LPSK Atas Pembahasan RUU TPKS

Mulai non kriminalisasi korban, menjaga kerahasiaan identitas korban, restitusi, hingga wewenang pengadilan memerintahkan penuntut umum untuk menyita harta kekayaan terpidana dan melelangnya untuk pembayaran restitusi.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit

“Kecuali jika kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik,” ujarnya sebagaimana dikutip dari laman LPSK.

Menurutnya, bila terdapat tuntutan hukum terhadap korban atas kesaksian dan/atau laporan yang telah diberikannya, maka tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang dilaporkannya telah diputus pengadilan dan berkekuatan hukum tetap. Rumusan tersebut diatur dalam Pasal 10 UU No.31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Hal ini agar menjamin kelancaran proses hukum atas tindak pidana yang menjadikannya korban.

Mantan Dekan Fakultas Hukum (FH) Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta itu merujuk berbagai pengalaman yakni tuntutan hukum terhadap korban TPKS menjadi serangan balik bagi korban. Tujuannya agar melemahkan posisi korban meraih keadilan. Bila terdapat relasi kuasa antara korban dan pelaku, serangan balik dapat berupa mutasi korban ke tempat kerja lain, ancaman tidak lulus sekolah/kuliah, hingga ancaman melakukan pencemaran nama baik.

Nah, RUU TPKS perlu mempertegas hak korban agar tidak dikriminalisasi. Seperti mencantumkan perumusan non kriminalisasi terhadap korban sebagai asas pengaturan dalam draf Pasal 2 RUU TPKS. Menurutnya, prinsip non kriminalisasi terhadap korban telah diterapkan pada kasus human trafficking sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan ASEAN Convention against Trafficking in Persons, especially women and children (2015).

Kedua, menjaga kerahasiaan identitas korban. Baginya, korban memiliki hak dirahasiakan identitas pribadinya sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU 31/2014. Kemudian Pasal 17 UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Serta Pasal 7 ayat (2) UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers jo Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik yang  menentukan wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.

Baginya, langkah melindungi identitas korban menjadi upaya menghindari re-viktimisasi terhadap korban dan ketidaknyamanan. “Privacy korban juga diatur dalam Basic Principle of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power (1985). Bila korbannya anak, pengungkapan identitas korban bakal mengganggu keberlanjutan pendidikan anak dan bisa mengakibatkan putus sekolah karena merasa malu.”

Dia menegaskan RUU TPKS perlu mempertegas eksistensi prinsip kerahasiaan identitas korban. Langkah tersebut dapat dilakukan dengan memasukan prinsip kerahasiaan identitas korban sebagai bagian integral dari asas kepentingan terbaik bagi korban sebagaimana tertuang dalam penjelasan Pasal 2 draf RUU. Bila perlu memasukkannya secara ekplisit ke dalam norma Pasal 17 draf RUU TPKS.  

Tags:

Berita Terkait