Melihat Pengaturan Amdal dalam UU Cipta Kerja
Berita

Melihat Pengaturan Amdal dalam UU Cipta Kerja

Setidaknya terdapat tiga poin perubahan. Seperti mempersempit pelibatan masyarakat karena hanya masyarakat yang terdampak langsung; penilaiam amdal dipersempit, hingga hak masyarakat untuk mengajukan keberatan atas dokumen amdal pun dihapus.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit

Tak hanya itu, terdapat evaluasi secara holistik terhadap dampak yang terjadi untuk menentukan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup dan rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup. Kemudian rumusan norma Pasal 26 UU 32/2009 pun sebagian diubah. Dokumen amdal disusun oleh pemrakarsa dengan melibatkan masyarakat. Penyusunan dokumen amdal dilakukan dengan melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan.

Sedangkan Pasal 27 UU 32/2009 memberi peluang bagi pemrakarsa menunjuk pihak lain membuat dan menyusun amdal. Tentunya, pihak yang memiliki kompetensi dalam penyusunan amdal. Sementara Pasal 29 UU 32/2009 yang mengatur Komisi Penilaian Amdal pun dihapus oleh UU 11/2020, sehingga Komisi Penilaian Amdal ditiadakan dengan diganti tim uji kelayakan lingkungan hidup.

Selanjutnya, Pasal 32 UU 32/2009 mengatur tentang pemerintah pusat dan pemerintah daerah membantu penyusunan amdal bagi usaha dan/atau kegiatan usaha mikro dan kecil yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup. Bantuan penyusunan amdal tersebut berupa fasilitasi, biaya dan/atau penyusunan amdal. Penentuan usaha dan/atau kegiatan usaha mikro kecil dilakukan berdasarkan kriteria sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Peran masyarakat dipersempit

Perempuan berhijab biasa disapa Ninda itu menilai, terdapat poin perubahan pengaturan amdal dari UU 32/2009 menjadi UU 11/2020. Pertama, masyarakat yang mesti dilibatkan dalam penyusunan amdal dipersempit menjadi hanya masyarakat terdampak langsung. Padahal, dalam praktik UU 32/2009, selain masyarakat yang terdampak langsung, pemerhati lingkungan dan/atau yang terdampak atas segala bentuk keputusan dalam proses amdal.

Kedua, dalam penilaian amdal dipersempit. Sebab, Komisi Penilai Amdal yang dalam UU 32/2009 dihapus dalam UU 11/2020 dan diganti dengan membentuk lembaga uji kelayakan lingkungan hidup. Bagi Ninda, lembaga uji kelayakan unsur yang terlibat hanya pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan ahli bersertifikat. Padahal keberadaan penilaian amdal merupakan wadah bagi masyarakat untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan.  

Ketiga, hak masyarakat untuk mengajukan keberatan atas dokumen amdal pun dihapuskan. Keempat, dalam UU 11/2020 dokumen amdal hanya memuat saran masukan, serta tanggapan masyarakat terkena dampak langsung yang relevan dengan rencana usaha dan/atau kegiatan yang dibangun.

Bagi Ninda, penentuan masukan yang relevan itupun dikhawatirkan subjektif. Pasalnya tak adanya mekanisme lanjutan mengenai metode yang bakal digunakan dalam menentukan relevansi. “Khawatirnya ketiadaan mekanisme yang akuntabel hanya menjadikan penilaian relevansi berpotensi menutup partisipasi publik dengan dalih ‘tidak relevan’,” katanya.

Tags:

Berita Terkait