Melihat Status Kudeta Militer dalam Perspektif Hukum Internasional
Utama

Melihat Status Kudeta Militer dalam Perspektif Hukum Internasional

Hukum internasional tidak mengatur jelas aksi kudeta militer. Piagam PBB hanya mengatur prinsip kesetaraan dan nonintervensi dimana semua negara berada dalam posisi yang sama dan tidak boleh campur tangan urusan negara lain. Tapi, komunitas internasional bisa melakukan intervensi untuk aksi kemanusiaan di Myanmar.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Abdul mengingatkan piagam PBB mengatur berbagai prinsip terkait hubungan internasional, antara lain kesetaraan dan nonintervensi. Prinsip itu menekankan semua negara sebagai subyek hukum internasional yang memiliki posisi setara. Karena itu, tidak ada negara yang bisa menentukan sepihak baik atau tidaknya kehidupan demokrasi di suatu negara. Tidak boleh juga ada negara yang menilai apakah sistem politik negara lain itu baik atau tidak.

Dia mengungkapkan persoalan kudeta disebut dalam deklarasi tingkat tinggi rapat Majelis Umum PBB terkait rule of law di level nasional dan internasional. Abdul menjelaskan diskusi yang mengemuka dalam pembahasan deklarasi itu, antara lain negara maju berkeinginan agar prinsip rule of law diterapkan oleh semua negara.

Dengan begitu, persoalan kudeta akan menjadi isu yang berkaitan dengan rule of law. Tapi keinginan negara maju itu membuat negara berkembang tidak menyukainya dan deklarasi itu berujung kompromi, sehingga tidak ada larangan terkait perubahan pemerintahan yang dilakukan secara tidak konstitusional. “Ini persoalan penerapan prinsip demokrasi di ranah internasional,” kata dia.

Diatur lebih baik

Meski pengaturannya di tingkat multilateral tidak jelas, tapi Abdul menjelaskan isu kudeta diatur lebih baik di tingkat regional, misalnya di Afrika (Uni Afrika) dan Asia Tenggara (ASEAN). Uni Afrika mengatur pemerintahan yang tidak konstitusional tidak boleh mengikuti kegiatan Uni Afrika. Tapi mereka tidak tegas mengatakan kudeta itu ilegal atau tidak. Uni Afrika hanya mengatur negara yang terjadi kudeta tidak boleh ikut pertemuan Uni Afrika karena akan mengganggu kegiatan organisasi.

“Pada saat Mesir terjadi kudeta, Uni Afrika menangguhkan keanggotaan Mesir selama 1 tahun,” jelas Abdul.

Sedangkan, Piagam ASEAN menegaskan negara anggota ASEAN harus patuh terhadap rule of law, prinsip demokrasi, pemerintahan yang baik, dan konstitusional. Tapi Piagam ASEAN tidak mengatur sanksi bagi anggotanya yang melanggar prinsip tersebut. Bila terjadi masalah pelik yang melanda anggotanya, Piagam ASEAN mengatur jika terdapat pelanggaran serius atau ketidakpatuhan, persoalan ini diselesaikan di tingkat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) atau ASEAN Summit. Tapi persoalannya tidak ada ketentuan yang mengatur jelas tentang “pelanggaran serius.”

Mengingat tidak ada mekanisme resmi yang mengatur bagaimana menetapkan telah terjadi “pelanggaran serius”, menurut Abdul, hal ini menjadi sengketa yang bisa diselesaikan melalui mekanisme penyelesaian sengketa di ASEAN. Penyelesaian sengketa itu bisa dilakukan melalui mekanisme arbitrase. “Arbitrase bisa dibentuk bisa dibentuk jika Myanmar setuju dengan arbitrase.”

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait