Abdul menambahkan saat ini pemerintah Indonesia berperan aktif untuk mendorong penyelesaian persoalan kudeta militer di Myanmar. Penyelesaian ini dilakukan melalui forum ASEAN dengan melibatkan Myanmar. “Kudeta Myanmar dapat bertentangan dengan prinsip Piagam ASEAN. Tapi untuk menyelesaikan ini tidak mudah, lebih memungkinkan melalui mekanisme penyelesaian politik ketimbang hukum karena politik lebih fleksibel dan dapat diterima semua pihak,” imbuhnya.
Dosen FISIP Universitas Katolik Parahyangan Bandung, I Nyoman Sudira berpendapat komunitas internasional berpeluang untuk melakukan intervensi (campur tangan) untuk aksi kemanusiaan di Myanmar. Intervensi bisa dilakukan karena dampak kudeta militer ini, seperti memperparah kondisi rakyat Myanmar, misalnya kemiskinan, turunnya tingkat perekonomian, dan kesehatan memburuk.
“Yang dirasakan masyarakat Myanmar itu pelanggaran HAM,” kata I Nyoman Sudira dalam kesempatan yang sama.
Guru Besar FH Universitas Diponegoro Semarang, Prof FX Joko Priyono, menyimpulkan dalam kudeta Myanmar sulit untuk menentukan isu hukum, tapi pelanggaran HAM yang terjadi sangat jelas. Menurutnya, kondisi yang terjadi di Myanmar saat ini belum masuk kategori yang dapat dinilai oleh DK PBB untuk menentukan apakah telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan atau tidak.
“Ini kondisi abnormal antara rakyat dan penguasanya, ini persoalan domestik,” katanya.