Meluruskan Istilah Kritik, Fitnah dan Ujaran Kebencian
Kolom

Meluruskan Istilah Kritik, Fitnah dan Ujaran Kebencian

​​​​​​​Kritik bukanlah  suatu tindak pidana. Namun kritik yang dilakukan dengan rasa benci untuk kemudian dijadikan untk fitnah dan penghinaan dapat dipidana. KUHP, UU 1/1946, UU 40/2008 dan UU ITE mengatur tentang ujaran kebencian dan fitnah.

Bacaan 2 Menit
Reda Manthovani. Foto: Istimewa
Reda Manthovani. Foto: Istimewa

Masa Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 berakhir sudah. Namun  sensitivitas pascapilpres  masih kental terasa. Seperti pernyataan Gubernur DKI  Anies Baswedan di Stadion Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, yang mencontohkan dirinya saat dikritik, Minggu (26/5/2019) lalu. Dia mengaku tak pernah meminta agar pengkritiknya ditangkap. Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi menyambut positif. Bahkan langsung  membandingkan sosok Anies dengan Presiden Jokowi yang berbeda sikap.

 

Berselang sehari, Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf merasa sindiran Anies tersebut dialamatkan kepada Presiden Jokowi dan menyebutkan bahwa Anies sebagai  sebagai pemimpin seharusnya dapat membedakan mana kritik, mana fitnah dan mana ujaran kebencian.

 

Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti dari kritik adalah: kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya. Secara etimologis berasal dari bahasa Yunani κριτικός, 'clitikos - "yang membedakan". Kata ini sendiri diturunkan dari bahasa Yunani Kuno κριτής, krités. Artinya "orang yang memberikan pendapat beralasan" atau "analisis", "pertimbangan nilai", "interpretasi", atau "pengamatan".

 

Kritik yang disampaikan sejatinya dalam rangka memperbaiki pendapat atau perilaku seseorang. Sebaliknya, bukan didasarkan atas kebencian terhadap orangnya. Kritik, dilakukan dengan menggunakan pilihan kata yang tidak menyinggung perasaan, sopan dan bijaksana. Tetapi, tetap tidak mengurangi ensensi kritiknya.

 

Berbeda dengan ujaran kebencian, fitnah dan penghinaan yang dilakukan dengan narasi yang menyinggung perasaan. Bahkan tidak sopan dan tidak bijaksana serta, tidak bertujuan untuk memperbaiki pendapat atau prilaku seseorang.

 

Ujaran kebencian, fitnah dan penghinaan diatur tersendiri dalam sistem hukum pidana Indonesia, yaitu :

  1. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, beberapa tindakan penistaan dan fitnah diatur dalam beberapa pasal sebagai berikut:
  1. Penghinaan terhadap kepala negara lain (Pasal 142 KUHP)
  2. Penghinaan yang dilakukan terhadap bendera dan lambing negara lain (Pasal 142a KUHP)
  3. Penghinaan terhadap wakil negara lain (Pasal 143 & 144 KUHP)
  4. Penghinaan terhadap bendera kebangsaan RI dan lambing negara RI (Pasal 154a KUHP)
  5. Penghinaan terhadap golongan penduduk Indonesia tertentu (Pasal 156 & 157 KUHP)
  6. Penghinaan terhadap agama tertentu yang ada di Indonesia (Pasal 156a KUHP)
  7. Penghinaan terhadap petugas agama yang menjalankan tugasnya dan benda-benda untuk keperluan ibadah (Pasal 177 KUHP)
  8. Penghinaan terhadap penguasa umum diatur dlm Pasal 207 KUHP
  9. Penistaan (smaad) diatur dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP
  10. Penistaan dengan surat/smaadschrift (diatur pada Pasal 310 ayat (2) KUHP
  11. Fitnah/laster (Pasal 311 KUHP)
  12. Penghinaan ringan/eenvoudige belediging (Pasal 315 KUHP)
  13. Pengaduan untuk memfitnah/lasterlijke aanklacht (Pasal 317 KUHP)
  14. Tuduhan secara memfitnah/lasterlijke verdachtmaking (Pasal 318 KUHP)
  15. Penghinaan mengenai orang yang meninggal (Pasal 321 ayat (1) KUHP)
  1. Sejak tanggal 21 April 2008, Hate Speech yang dilakukan di media sosial telah diatur pada Pasal 45 ayat (2) jo.Pasal 28 ayat (2) UU No.11 Tahun 2008 tentang ITE. Namun Pasal  tersebut telah diubah menjadi Pasal 45A ayat (2) UU No.19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik yang berbunyi sebagai berikut:

 

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dana tau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dana atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

 

  1. Pemidanaan atas dugaan terjadinya tindak pidana ujaran kebencian juga diatur pada Pasal 16 jo.Pasal 4 huruf b angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis yang mengatur mengenai tindakan diskriminatif ras dan etnis berupa menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis yang berupa perbuatan membuat tulisan atau gambar untuk ditempatkan, ditempelkan atau disebarluaskan di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dilihat atau dibaca oleh orang lain, dengan ancaman pidana penjara paling 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500 juta.
  2.  Selain itu, ujaran kebencian yang dapat menerbitkan keonaran juga diatur dalam Pasal 14 jo.Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana yang berbunyi sebagai berikut:

 

Pasal 14

  1. Barang siapa dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun;
  2. Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun;

 

Pasal 15

Barang siapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya dua tahun.

 

  1. Sementara itu, berdasarkan Surat Edaran Kepala Kepolisian Negara Nomor SE/6/X/2015 Tahun 2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech) diterangkan bahwa ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang diatur dalam KUHP dan ketentuan pidana lainnya di luar KUHP yang berbentuk: Penghinaan, Pencemaran nama baik, Penistaan, Perbuataan tidak menyenangkan, Memprovokasi, Menghasut, atau Penyebaran berita bohong dan semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa dan atau konflik sosial.

 

Beberapa kasus yang viral terkait ujaran kebencian, penghinaan dan fitnah telah diproses dan diputus bersalah. Yakni, Paranormal Ki Gendeng Pamungkas membuat video sepanjang 54 detik, memuat unsur kebencian yang bersifat rasial. Video itu dibuat pada 2 Mei 2017. Selain video, Ki Gendeng juga memproduksi atribut seperti kaus, stiker, jaket, hingga kantong plastik bermuatan kebencian suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dan membagikannya kepada orang-orang di lingkungannya.

 

Ki Gendeng Pamungkas dikenakan dakwaan pasal 4 huruf B Jo Pasal 16 UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi Ras dan Etnis atau kedua Pasal 28 ayat (2) Jo Pasal 45A ayat (2) UU RI Nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU RI Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE atau ketiga Pasal 156 KUHP.

 

HP (23), admin akun Instagram Muslim_Cyber1 mengunggah screen,shoot (bidik layar) percakapan palsu antara Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian dengan Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono. Isi percakapan membahas kasus pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab. Dalam potongan pesan itu, seolah Tito dan Argo berencana merekayasa kasus untuk menjatuhkan Rizieq.

 

HP tak hanya membuat hoaks percakapan antara Tito dan Argo. Dalam akun @muslim_cyber1 itu juga termuat unggahan berbau SARA, fitnah, serta ujaran kebencian. Atas perbuatannya, HP akan dikenai Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45a UU ITE dan atau Pasal 4 huruf d angka 1 juncto Pasal 16 UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusaan Diskriminasi Ras dan Etnis.

 

Artis Ahmad Dhani diduga menyebarkan kebencian terhadap kelompok tertentu melalui akun Twitternya. Dhani berkicau menggunakan akun @AHMADDHANIPRAST yang nadanya dianggap menghasut dan penuh kebencian terhadap pendukung Ahok. Dhani didakwa dengan Pasal 28 Ayat (2) juncto Pasal 45 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE.

 

Jonru Ginting ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan penyebaran ujaran kebencian melalui konten yang dia unggah di media sosial. Salah satu postingan Jonru ujaran kebencian adalah Quraish Shihab tidak pantas menjadi imam lantaran pernyataannya yang menyebut wanita Muslim tidak perlu menggunakan jilbab. Kemudian Jonru mengajak umat Islam tidak salat Idul Fitri di Masjid Istiqlal jika imamnya adalah Quraish shihab.

 

Perbuatan tersebut didakwa melanggar Pasal 28 Ayat (2) juncto Pasal 45A Ayat (2) dan atau Pasal 35 juncto Pasal 51 UU RI Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas UU RI Nomor 11 Tahun 2008 Tentang ITE dan atau Pasal 4 huruf (b) angka (1) juncto Pasal 16 UU RI Nomor 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dan atau Pasal 156 KUHP Tentang Penghinaan Terhadap Suatu Golongan.

 

Pemilik akun Facebook Gusti Sikumbang yang bernama asli Siti Sundari Daranila (51). Sehari-hari, Sundari berprofesi sebagai dokter. Ia ditangkap pada 15 Desember 2017 karena menyebarkan konten hoaks yang menyatakan istri Hadi Tjahjanto merupakan etnis Tionghoa. Yaitu: “KITA PRIBUMI RAPATKAN BARISAN.. PANGLIMA TNI YANG BARU MARSEKAL HADI TJAHYANTO BERSAMA ISTRI *LIM SIOK LAN* DGN 2 ANAK CEWEK COWOK....ANAK DAN MANTU SAMA SAMA DIANGKATAN UDARA.....” Sundari dikenakan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi Transaksi Elektronik dan UU 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

 

Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa “KRITIK” bukan suatu tindak pidana, namun kritik yang dilakukan dengan rasa benci, untuk fitnah dan penghinaan dapat dipidana. Selain itu, pelaporan atas ujaran kebencian, fitnah dan penghinaan tidak harus orang atau korban yang dibenci, difitnah dan dihina melainkan siapapun warga Indonesia dapat membuat laporan terjadinya tindak pidana ujaran kebencian, fitnah dan penghinaan tersebut kepada pihak yang berwajib.

 

*)Dr. Reda Manthovani, SH,.LLM adalah Akademisi pada Fakultas Hukum Universitas Pancasila.

 

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline

Tags:

Berita Terkait