Memperjelas Posisi Aset Kripto dalam RUU PPSK
Terbaru

Memperjelas Posisi Aset Kripto dalam RUU PPSK

Dalam RUU PPSK, kewenangan pengawasan terhadap aset kripto berada di bawah BI dan OJK. Namun hal ini dinilai tidak tepat dan bertentangan dengan aturan lainnya.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 3 Menit
Memperjelas Posisi Aset Kripto dalam RUU PPSK
Hukumonline

RUU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK) sudah resmi masuk ke dalam daftar Prolegnas RUU DPR. Dengan demikian RUU PPSK perlu mendapatkan masukan dari berbagai pihak.

Menurut Direktur Eksekutif Celios (Center of Economic and Law Studies), Bhima Yudhistira sifat RUU PPSK sebagai Omnibus Law, di mana berbagai revisi UU terdahulu dan pembentukan pasal baru dalam satu RUU, maka perlu dikaji secara mendalam. Salah satu yang mendapatkan perhatian luas dari pemangku kepentingan dan investor adalah pembahasan aset kripto yang dimasukkan pada RUU PPSK sebagai ITSK (Inovasi Teknologi Sektor Keuangan). 

“Konsekuensi masuknya aset kripto sebagai bagian dari RUU PPSK artinya pengawasan dan regulasi aset kripto berada di bawah OJK dan BI, sementara selama ini aset kripto diatur oleh Bappebti (Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi). Kalau pengawasan diatur oleh OJK padahal aset kripto bukan didefinisikan sebagai cryptocurrency atau mata uang melainkan sebagai komoditi, maka akan terdapat dualisme pengawasan. Tentu ini membuat banyak pihak bertanya, bagaimana aset kripto didefinisikan ke depannya, apakah sebagai mata uang atau komoditi?” kata Bhima Senin (10/10).

Baca Juga:

Bhima mengutip Pasal 205, di mana pihak yang menyelenggarakan ITSK wajib menyampaikan data dan informasi ke Bank Indonesia dan OJK sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing. Di Pasal 205 ayat 1, disebutkan Bank Indonesia dan OJK melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan ITSK sesuai dengan ruang lingkup kewenangannya. Kewenangan BI dan OJK semakin diperkuat dalam ayat 4 pasal tersebut, yang menyatakan ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) Pasal 205 diatur dalam Peraturan OJK dan Peraturan Bank Indonesia sesuai dengan kewenangannya.

Konsekuensi dari pasal-pasal tersebut, lanjutnya, bertolak belakang dengan regulasi sebelumnya yang menjadikan Bappebti sebagai otoritas yang mengatur dan mengawasi aktivitas aset kripto di Indonesia.

“Dijadikannya BI dan OJK sebagai pihak yang menjadi otoritas atas aktivitas aset kripto juga menjadi pertanyaan mengingat selama ini, BI dan OJK tidak memiliki tugas, fungsi, ataupun infrastruktur untuk mengatur perdagangan komoditi yang selama ini berada dalam ranah otoritas Bappebti,” jelas Bhima.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait