Mempertanyakan Urgensi Kementerian Investasi
Kolom

Mempertanyakan Urgensi Kementerian Investasi

Belum ada satu pun teori yang membenarkan bahwa dengan dibentuknya institusi baru yang langsung berada di bawah presiden, maka akan dapat memudahkan pelaksanaan kebijakan.

Bacaan 5 Menit
Beni Kurnia Illahi. Foto: Istimewa
Beni Kurnia Illahi. Foto: Istimewa

Kompromi kekuasaan presiden dengan parlemen menjadikan investasi sebagai poros utama pertumbuhan ekonomi semakin serius digaungkan. Keseriusan itu tampak nyata ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara ‘diam-diam’ menyerahkan Surat Presiden bernomor R-14/Pres/03/2021 kepada DPR perihal permohonan persetujuan pembentukan Kementerian Investasi serta peleburan Kementerian Riset dan Teknologi untuk digabungkan dalam satu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Berdasarkan hasil rapat paripurna beberapa waktu lalu, DPR tanpa ‘basa-basi’ merestui penggabungan Kemendikbudristek, sekaligus menyepakati membentuk Kementerian Investasi yang selama ini dicita-citakan Presiden Jokowi.

Terbentuknya nomenklatur kementerian baru di bawah kepemimpinan Jokowi bukan kali pertama dilakukan. Sejak periode pertama hingga kedua, Jokowi termasuk presiden yang sering melakukan bongkar pasang terhadap nomenklatur kabinetnya.

Namun kali ini terdapat hal berbeda dan unik, di mana presiden sebagai pemegang hak prerogatif dalam membentuk, mengubah dan membubarkan kementerian seakan terbentur dengan plafon kuantitas kementerian negara yang menetapkan maksimal 34 kementerian sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Hal tersebut tidak bisa dinafikan, sebab ketika presiden hendak menambah nomenklatur kementerian, maka presiden berkonsekuensi untuk meleburkan satu dari 34 kementerian yang ada.

Rumusan itulah yang kemudian digulirkan oleh Presiden Jokowi untuk membentuk Kementerian Investasi dengan cara melakukan peleburan terhadap satu kementerian. Meskipun pihak Istana membantah adanya iktikad untuk menghapus/meleburkan Kemenristek sebagai upaya untuk melahirkan Kementerian Investasi.

Namun, dalam batas penalaran yang wajar pertama, sangat kurang logis kiranya hanya nomenklatur Kemenristek saja yang dievaluasi oleh pemerintah untuk dilebur dan pada saat bersamaan dibentuk pula kementerian baru. Padahal, Kemenristek dan Kemendikbud memiliki fokus yang saling berbeda, sehingga menyatuatapkan kedua kementerian tersebut bukanlah suatu yang solutif dan inkonsisten. Sebab, hal ini dikhawatirkan akan terjadi penumpukan tugas pada satu menteri.

Terlepas dari semua itu, tentu terdapat kepentingan terselubung di balik rencana pemerintah tersebut. Hadirnya Kementerian Investasi dianggap sebagai instrumen dan lokomotif bagi pemerintah untuk melaksanakan UU Omnibus Law Cipta Kerja yang notabene menuai penolakan di mana-mana.

Kedua, idealnya momentum perubahan postur kabinet oleh presiden, bukan pada saat pertengahan jalan, melainkan di awal ketika presiden itu mulai menjabat sebagai kepala pemerintahan, sehingga tidak menganggu struktur organisasi yang sedang berjalan.

Akibatnya sekarang, pemerintah mesti melakukan habituasi dan perubahan terhadap struktur kementerian baru dan kementerian yang dilebur. Tentu, menata itu semua membutuhkan waktu yang cukup lama sehingga menganggu pelayanan publik dan birokrasi pemerintahan. Berdasarkan dua alasan itu, perubahan nomenklatur kementerian tersebut sangat tidak efektif dilakukan dan sarat akan kepentingan politik.

Diskursus Kehadiran Kementerian Investasi

Menariknya, perubahan nomenklatur kementerian yang paling menjadi sorotan publik itu adalah kehadiran Kementerian Investasi. Maka muncul pertanyaan besar apa urgensi dibentuknya Kementerian Investasi di tengah kondisi pelik saat ini, sehingga tidak menyurutkan langkah pemerintah untuk mengubahnya.

Pelbagai statement diungkap oleh pihak Istana bahwa langkah Jokowi untuk membentuk kementerian baru adalah dalam rangka meningkatkan nilai ekspor dan investasi serta kemudahan berusaha di Indonesia. Sehingga Indonesia akan menjadi ‘surga’ bagi para pemilik modal untuk berinvestasi sebagai upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Bila kita mencoba menggunakan pendekatan hukum melalui teori dalam menyigi iktikad pemerintah tersebut, maka sependek pengetahuan Penulis belum ada satu pun teori yang membenarkan bahwa dengan dibentuknya institusi baru yang langsung berada di bawah presiden, maka akan dapat memudahkan pelaksanaan kebijakan.

Justru presiden membutuhkan waktu yang relatif panjang untuk menata struktur, tugas, dan fungsi kementerian itu kembali, sehingga rencana untuk mempercepat kebijakan di bidang investasi pun menjadi tersendat. Bukankah Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sudah cukup baik mengkoordinir kebijakan tersebut.

Kedua, membentuk nomenklatur kementerian baru juga berimplikasi pada bertambahnya beban belanja negara. Seperti diketahui bersama, bahwa angka penyebaran pandemi global Covid-19 di Indonesia, belum sepenuhnya melandai dan cenderung meningkat tiap harinya, butuh penanganan dan anggaran yang amat serius.

Satu tahun penanggulangan Covid-19, peran pemerintah dan DPR pun masih dikatakan belum berhasil memutus mata rantai penularan virus tersebut. Padahal seluruh badan publik di tingkat pusat dan daerah dipaksa untuk melakukan refocussing dan realocating anggaran untuk penanggulangan Covid-19. Sehingga pemerintah kemudian menargetkan anggaran sebesar Rp905,10 triliun untuk penanggulangan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

Situasi seperti ini selayaknya membuat pemerintah lebih bijak dan arif mengambil keputusan, sehingga mengurungkan niat pemerintah untuk tidak terlalu berfokus pada kebijakan investasi dengan membentuk kementerian baru. Sementara persoalan kesehatan dan kesejahteraan warga negara masih belum sepenuhnya membaik.

Semestinya pemerintah fokus pada penanganan Covid-19 seperti mengontrol pelaksanaan anggaran yang dikucurkan, mengefektifkan pemberian vaksinasi kepada masyarakat dan melakukan PEN secara bertahap dengan pelbagai instrumen yang tersedia. Sehingga sense of crisis pemerintah terhadap pandemi ini memang betul-betul senafas dengan kredonya Cicero menyebutkan “Salus populi suprema lex esto”, keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi bagi suatu negara.

Ketiga, pembentukan Kementerian Investasi oleh Presiden Jokowi juga dinilai suatu yang mubazir. Sebab, problematika investasi di Indonesia bukan sepenuhnya terletak pada lembaga yang akan menjalankan pemerintahan, melainkan terletak pada manajemen sumber daya manusia dan kultur.

Berdasarkan data World Economic Forum (2019), terdapat 16 faktor penghambat investasi/bisnis di Indonesia, dari 16 faktor, 7 di antaranya yang paling menjangkit adalah korupsi, inefesiensi birokrasi, akses ke pembiayaan, infrastruktur tidak memadai, instabilitas kebijakan, regulasi pajak, dan buruknya kesehatan masyarakat.

Menariknya, korupsi merupakan hambatan tertinggi berbisnis/berinvestasi di Indonesia dengan skor 13,8. Hal ini mengakibatkan berbisnis di Indonesia memiliki hight cost karena praktik korupsi. Sebab, korupsi tidak hanya merusak iklim investasi, namun juga merusak demokrasi, mengobrak-abrik hukum, melanggar HAM, dan mereduksi kualitas hidup masyarakat.

Semestinya pemerintah mengintropeksi diri tentang sejauh mana peran negara dalam memberantas korupsi dalam 2 periode ini. Apalagi Corruption Perception Index (CPI) Indonesia 2020 mengalami penurunan dibanding tahun lalu dengan skor 37. Turunnya CPI juga menjadikan posisi Indonesia anjlok menjadi peringkat 102 dari 180 negara.

Jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara, CPI Indonesia berada di peringkat lima di bawah Singapura (85), Brunei Darussalam (60), Malaysia (51), dan Timor Leste (40). Dari data tersebut mensinyalir, bahwa memberantas korupsi adalah memperbaiki kualitas demokrasi dan HAM, sehingga pada saat yang sama juga akan meningkatkan iklim berusaha dan berinvestasi. Matinya KPK secara perlahan, suburnya keterlibatan oligarch dalam pembentukan undang-undang, dan lemahnya penegakan hukum merupakan bukti kegagalan pemerintah dalam memberantas korupsi di Indonesia. Sehingga hal ini perlu diluruskan, agar entittas antikorupsi itu kembali pada khittah sesungguhnya.

Terakhir, ketidakpastian hukum dalam berinvestasi dan belum maksimalnya reformasi birokrasi di Indonesia, juga akan selalu menjadi hambatan bagi investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Sebaik apapun nomenklatur kementerian yang dibentuk, jika norma dan kulturnya masih belum sesuhu, maka impian untuk menjadikan Indonesia sebagai surga berinvestasi juga menjadi utopis.

Mirisnya, UU Cipta Kerja sebagai pijakan dan instrumen bagi pemerintah dalam menjalankan kebijakan tersebut belum sepenuhnya diterima masyarakat dan cenderung berseberangan dengan prinsip-prinsip hukum seperti demokrasi, HAM, desentralisasi, lingkungan hidup, administrasi pemerintahan dan lain-lain. Itu sebabnya, pemerintah perlu memikirkan kembali niat untuk membentuk kementerian investasi dengan pertimbangan-pertimbangan yang dijelaskan di atas.

Namun jika pemerintah tetap bersikukuh untuk mendirikan ‘benteng pertahanan’ investasi tersebut, maka Indonesia suatu saat akan menjadi cengkeraman raksasa oligarki seperti yang diprediksi Jeffrey A. Winters dalam jurnalnya yang berjudul Oligarchy and Democracy in Indonesia (2013), sehingga demokrasi tidak lagi menjadi suatu hal yang urgensi dan semakin kalah dengan investasi berbalut oligarki.

*)Beni Kurnia Illahi, Dosen Hukum Administrasi dan Keuangan Negara Fakultas Hukum Universitas Bengkulu dan Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait