Mempertegas Sistem Presidensial Harus Membatasi Kuasa Peraturan Menteri
Utama

Mempertegas Sistem Presidensial Harus Membatasi Kuasa Peraturan Menteri

Praktik delegasi dari undang-undang untuk membentuk Peraturan Menteri telah melampaui ketentuan yang diamanatkan konstitusi. Menteri sebagai pembantu Presiden seharusnya memperoleh wewenang delegatifnya dari Presiden, bukan dari undang-undang produk legislatif.

Oleh:
Normand Edwin Elnizar
Bacaan 4 Menit
Charles Simabura saat akan menjalani sidang promosi doktor di FHUI pada 19 November 2022. Foto: Istimewa
Charles Simabura saat akan menjalani sidang promosi doktor di FHUI pada 19 November 2022. Foto: Istimewa

Kuasa Menteri untuk membuat Peraturan Menteri harus dibatasi prosedur dan isinya demi berkomitmen pada sistem pemerintahan presidensial yang dianut UUD NRI Tahun 1945. Kuasa legislasi Presiden harus dikembalikan pada porsi yang semestinya. Hal itu menjadi kesimpulan besar hasil riset disertasi Charles Simabura, Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, yang belum lama ini resmi bergelar doktor ilmu hukum lulusan Universitas Indonesia. Ia lulus dengan predikat sangat memuaskan.

“Salah satu temuan disertasi ini adalah bahwa praktik delegasi dari undang-undang untuk membentuk Peraturan Menteri telah melampaui ketentuan yang diamanatkan konstitusi. Menguatnya peran Menteri telah mengurangi kekuasaan legislasi yang dimiliki Presiden,” kata Prof. Satya Arinanto, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia yang menjadi promotor sekaligus penguji Charles di akhir sidang terbuka 19 November lalu.

Charles mempertahankan hasil riset studi doktor berjudul “Wewenang Menteri Membentuk Peraturan Menteri dalam Sistem Pemerintahan Presidensial Indonesia Pasca Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Kurun Waktu Tahun 2004-2019”. Disertasi ini juga langsung diterbitkan menjadi buku yang dibagikan pada peserta sidang berjudul Peraturan Menteri dalam Praktik Sistem Presidensial setelah Perubahan UUD NRI Tahun 1945.

Baca Juga:

Berdasarkan data Kementerian Hukum dan HAM yang dirujuk Charles, ada 4.551 Peraturan Pemerintah, 2.005 Peraturan Presiden, dan 14.452 Peraturan Menteri yang diterbitkan pada tahun 2004-2019. Charles menyingkap masalah bahwa dari belasan ribu Peraturan Menteri itu ternyata telah melemahkan kuasa legislasi Presiden dalam sistem Presidensial.

Berdasarkan data sampel penelitian dalam kurun waktu 2004 sampai dengan 2019, ditemukan data bahwa hanya 35% pembentukan peraturan menteri didasarkan atas wewenang delegasi, jauh di bawah wewenang atribusi yang mencapai angka 65%.

Sumber masalah yang diidentifikasi Charles secara normatif adalah Pasal 8 ayat (2) UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Tertulis bahwa Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Peraturan Menteri termasuk yang dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) UU No.12 Tahun 2011 itu.

Artinya, ada dua keabsahan yang diakui atas terbitnya Peraturan Menteri. Pertama, diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dalam hirarki norma. Kedua, dibentuk berdasarkan kewenangan yang dimiliki Menteri. Penjelasan Pasal 8 ayat (2) UU No.12 Tahun 2011 mengatakan yang dimaksud dengan “berdasarkan kewenangan” adalah penyelenggaraan urusan tertentu pemerintahan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

“Setelah menghimpun datanya dalam grafik, ternyata tahun 2015 sampai 2019 terjadi peningkatan Peraturan Menteri. Terlihat di masa Jokowi ada kekuasaan yang lebih kuat di tangan menteri-menteri dalam pengaturan lebih lanjut bidang hukum,” kata Charles saat dihubungi Hukumonline.

Charles menyimpulkan keberadaan Peraturan Menteri di Indonesia sudah dikenal sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undang sejak era parlementer awal kemerdekaan hingga tahun 1950-an. Secara historis, praktik parlementer masa lalu telah menempatkan menteri sebagai salah satu pelaksana wewenang delegatif undang-undang.

Praktik ala parlementarian tersebut tanpa disadari menggerus kekuasaan legislasi Presiden sejak berlakunya UU No.12 Tahun 2011. “Bandingkan dengan undang-undang sebelumnya di Pasal 7 ayat (4) UU No.10 Tahun 2004, lebih tertib mengatur soal hirarki. Peraturan Menteri diatur hanya bisa dibentuk jika diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,” ujar Charles.

Itu pun masih ada potensi masalah. Charles menilai Peraturan Menteri harusnya hanya bisa dibentuk untuk keperluan teknis sebagai bagian kekuasaan legislasi Presiden. Perlu ada penegasan terhadap wewenang menteri dalam pembentukan peraturan menteri adalah pelaksanaan dari kuasa legislasi Presiden. Menteri yang berkedudukan sebagai pembantu Presiden dalam bidang eksekutif seharusnya memperoleh wewenang delegatifnya dari Presiden, bukan dari undang-undang produk legislatif.

Wewenang tersebut pun bukan wewenang mandiri yang memberikan keleluasaan bagi menteri dalam membentuk peraturan menteri. “Jika dikaitkan dengan doktrin nondelegasi maka pemberian wewenang kepada menteri melalui undang-undang jelas bertentangan dengan doktrin tersebut,” Charles menambahkan.

Makin Parah di Era Jokowi

Charles membuktikan lonjakan jumlah Peraturan Menteri yang terbit selama era Jokowi. Tampak bahwa para Menteri Jokowi merasa berwenang membentuk peraturan yang isinya bersifat pengaturan (regelling) meski tidak dengan perintah Presiden. Ia mengaitkan celah masalah dari rumusan normatif diperparah dengan cara kerja Menteri-Menteri kabinet Jokowi.

“Koalisi besar di kabinet Jokowi membuat perilaku menteri-menteri yang mewakili partai politik merasa kementerian sebagai kavling kekuasaannya. Menteri merasa bebas membuat Peraturan Menteri apalagi didukung kewenangan delegasi langsung dari undang-undang,” lanjutnya.

Ia mengusulkan agar keberadaan Peraturan Menteri dibatasi isinya hanya fokus bersifat teknis administratif. Perlu ada pemisahan antara Peraturan Menteri sebagai peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijakan. Peraturan menteri yang dibentuk atas dasar perintah Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden saja yang dikategorikan sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan.

“Itu pun harus terus dikurangi eksistensinya dengan diimbangi penguatan pembentukan Peraturan Presiden yang bersifat teknis administratif.”

Sidang terbuka promosi doktor Charles dipimpin langsung oleh Dekan FHUI, Edmon Makarim. Charles berhasil mempertahankan hasil risetnya di hadapan empat profesor dan para doktor senior yang mengujinya, termasuk promotor dan kopromotornya. Para penguji itu adalah Prof. Satya Arinanto (Promotor), Prof. Maria Farida Indrati (Kopromotor), Dr. Fitra Arsil (Kopromotor), Prof. Bagir Manan, Prof. Maswadi Rauf, Dr. Jufriana Rizal, dan Dr. Fatmawati.

Tampak hadir para pakar hukum tata negara dan pejabat negara sebagai tamu undangan. Mereka antara lain Prof. Susi Dwi Harijanti dari Universitas Padjajaran, Hakim Agung Prim Haryadi, Komisioner Komisi Yudisial Prof. Amzulian Rifai, Prof. Saldi Isra dari Universitas Andalas sekaligus Hakim Konstitusi, serta Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi terlihat hadir dalam sidang terbuka promosi doktor saat itu.

Tags:

Berita Terkait