Menagih Janji Penegakan Hukum: Advokat
Utama

Menagih Janji Penegakan Hukum: Advokat

Friksi yang terjadi belakangan berdampak pada persepsi masyarakat terhadap advokat. Untuk memulihkan kepercayaan masyarakat, pengurus advokat sudah pernah menabur janji. Janji yang kini menjadi pekerjaan rumah.

Mys/IHW
Bacaan 2 Menit
Menagih Janji Penegakan Hukum: Advokat
Hukumonline

 

Delapan komitmen

Para pimpinan lembaga penegak hukum membuat kesepakatan bersama atas delapan hal. Kedelapan hal itu diyakini sebagai langkah strategis membenahi sistem dan membarui hukum nasional.

 

Pertama, upaya membenahi sistem manajemen penanganan perkara yang menjamin akses publik. Kedua, mereka bersepakat mengembangkan sistem pengawasan yang transparan dan akuntabel. Ketiga, menyederhanakan prosedur penegakan hukum. Keempat, mengembangkan sistem manajemen sumber daya manusia yang transparan dan mendorong peningkatan profesionalisme. Kelima, pengembangan sistem manajemen anggaran/keuangan yang transparan dan akuntabel. Keenam, meningkatkan koordinasi dan kerjasama yang menjamin efektivitas penegakan hukum. Ketujuh, penguatan kelembagaan. Terakhir, kedelapan, pembaruan materi hukum.

 

Kedelapan program itu sesuai komitmen mereka akan dilaksanakan melalui rancang tindak program pembaruan hukum dan pembenahan sistem peradilan. Tentu saja, disesuaikan dengan lokus program itu hendak diejawantahkan. Dalam tulisan ini, yah di dunia advokat.

 

Khusus dalam program pembenahan sistem manajemen perkara, tak ada output yang dibuat khusus berkaitan dengan advokat. Mungkin, advokat bukan pihak yang terlibat langsung menangani perkara seperti halnya polisi, jaksa, dan hakim. Karena itu, program awal yang dirancang adalah pengembangan sistem pengawasan yang transparan dan akuntabel. Program ini berkaitan dengan pembentukan Dewan (Majelis) Kehormatan Advokat. Di satu sisi, program ini telah ditindaklanjuti dengan terbentuknya Dewan Kehormatan.

 

Tetapi di sisi lain, penunjukan anggota Dewan Kehormatan Advokat masih mendapat kritik dari internal sendiri. Salah satunya dari advokat senior Mohamad Assegaf. Menurut dia, yang layak ditunjuk duduk di Dewan Kehormatan adalah mereka yang sudah punya pengalaman mumpuni dan kredibilitasnya terjaga, plus dipilih secara demokratis.

 

Ia belum melihat kriteria itu melekat pada mereka yang duduk di Dewan Kehormatan Peradi. Pada 27 Mei lalu, Assegaf malah mengadu ke Tim Pengacara Muslim dan mempertanyakan legalitas Dewan Kehormatan Peradi. Pengaduan itu terkait dengan sanksi teguran keras Dewan Kehormatan kepada Assegaf dan M. Wirawan Adnan.

 

Output lain yang mestinya dihasilkan adalah tata cara pengaduan masyarakat atas advokat dan tindak lanjutnya. Dalam praktek, sangat mungkin masyarakat mengadukan prilaku seorang advokat kepada organisasi advokat. Nah, organisasi advokat harus memastikan melalui mekanisme yang jelas, bahwa pengaduan masyarakat itu ditampung dan ditindaklanjuti.

 

Revisi

Empat tahun lalu, para petinggi advokat ternyata sudah punya komitmen untuk melakukan revisi. Pertama, revisi atas Kode Etik Advokat. Kode Etik Advokat yang kini dipakai adalah produk KKAI yang disahkan pada 23 Mei 2002. Jadi, sebelum Peradi berdiri. Terdiri dari 24 pasal, Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) ini diteken oleh 14 orang petinggi KKAI ketika itu: H. Sudjono dan Otto Hasibuan mewakili Ikadin, Denny Kailimang dan Teddy Soemantry (AAI), Indra Sahnun Lubis dan E. Suherman Kartadinata (IPHI), Fred B.G. Tumbuan dan Husein Wiriadinata (AKHI), Soemarjono S dan Hafzan Taher (HKHPM), Trimedya Panjaitan dan Sugeng Teguh Santoso (SPI), serta H.A.Z. Arifien Safei dan Suhardi Somomoeljono (HAPI).

 

Komitmen kedua adalah merevisi UU Advokat. Revisi ini merupakan output dari rencana pembaruan materi hukum, di samping penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Bantuan Hukum. Indikasi keberhasilannya adalah diterimanya draf revisi itu oleh Badan Legislasi DPR. Ketika hal ini ditanyakan kepada Otto Hasibuan Jumat (30/5) pekan lalu, Ketua Umum Peradi ini membenarkan adanya komitmen Law Summit III untuk merevisi UU Advokat. Namun sampai sekarang draft revisi itu belum ada, dan belum ada identifikasi bagian-bagian mana saja yang hendak direvisi. Malah ia mengatakan UU No. 18 Tahun 2003 yang ada sekarang sudah cukup memadai.  

 

Belum adanya revisi KEAI dan UU Advokat bukan berarti tidak ada tindak lanjut dari kesepakatan April 2004. Sederet output sudah dihasilkan. Soal penguatan kelembagaan, misalnya. Otto menunjuk terbentuknya Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) pada 21 Desember 2004, sebagai wadah profesi berdasarkan ketentuan Undang-Undang Advokat.

 

Bukan tidak ada upaya mempersoalkan Peradi dan kebijakannya. Beberapa peserta ujian yang gagal pernah melayangkan gugatan ke PN Jakarta Pusat, lalu pengujian UU Advokat ke Mahkamah Konstitusi. Pada perkara No. 014/PUU-IV/2006 Mahkamah Konstitusi mengukuhkan aspek kelembagaan Peradi dengan membuat pertimbangan berikut. Pasal 32 ayat (3) dan ayat (4) UU Advokat sudah selesai dilaksanakan dengan telah berlalunya tenggat dua tahun dan dengan telah terbentuknya Peradi sebagai organisasi advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi advokat, sehingga tidak relevan lagi untuk dipersoalkan konstitusionalitasnya.

 

Pelatihan paralegal

Pekerjaan rumah bidang advokat tentu bukan hanya tugas organisasi advokat. Perangkat implementasinya juga melibatkan Pemerintah dan pemangku kepentingan lain. Tidak mengherankan jika Pemerintah pun turut punya andil mengembangkan program yang telah disepakati dalam Law Summit.

 

Sekadar contoh SK Menteri Hukum dan HAM No. M.11-HT.04.02 Tahun 2004 tentang Tata Cara Mempekerjakan Advokat Asing serta Kewajiban Memberikan Jasa Hukum Secara Cuma-Cuma kepada Dunia Pendidikan dan Penelitian Hukum. Dalam kerangka mempermudah akses pada keadilan, Keputusan Ketua MA No. 144 Tahun 2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan bisa dianggap turut mempermudah kerja advokat melayani pencari keadilan.

 

Peradi sendiri sudah menerbitkan beberapa aturan berkaitan dengan program pengembangan sumber daya manusia. Pada 2006 lalu, Peradi menerbitkan Peraturan No. 1 tentang Pelaksanaan Magang untuk Calon Advokat, yang kemudian diperbarui dengan Peraturan No. 2 Tahun 2006. Ada pula Peraturan No. 3 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Profesi Advokat.

 

Namun, satu pekerjaan rumah yang tak kalah penting disebut dalam konteks penguatan kelembagaan adalah pelatihan paralegal bagi community leaders di tingkat pedesaan. Kegiatan ini tampaknya didasari niat mulia untuk memberdayakan masyarakat hingga ke pelosok desa. Kesadaran hukum masyarakat bisa tumbuh kalau aparat di setiap lembaga penegak hukum juga memberikan pengertian dan pemahaman kepada setiap lapisan masyarakat. Kalangan advokat sejatinya punya andil membangun kesadaran hukum masyarakat hingga ke pedesaan. Dan, tentu saja, jauh lebih mulia melaksanaan komitmen ini ketimbang ribut dan bersilat lidah mengandalkan ego masing-masing.

 

Jika kondisi semacam itu terus berlangsung, bukan mustahil kepercayaan masyarakat akan turun. Direktur Eksekutif Indonesian Legal Resource Center (ILRC) Uli Parulian Sihombing meyakini ada hubungan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap profesi advokat dengan perpecahan profesi ini yang terus berlangsung. Masyarakat menjadi bingung, ujarnya.

 

Tanpa timbul friksi pun sebenarnya profesi advokat bisa kehilangan ruh atau jiwa kalau para penyandang profesi ini lebih mengutamakan ego mereka sendiri. Apalagi kalau pertimbangan menjalankan profesi semata-mata karena melihat materi, dan melupakan komitmen membantu masyarakat lapisan bawah.

 

Kehilangan jiwa bagi profesi advokat sungguh patut dirisaukan. Seperti yang dirasakan Anthony T. Kronman saat menulis bukunya The Lost Lawyer: Failing Ideals of the Legal Profession. Pada bagian pengantar buku setebal 422 halaman itu, Kronman menulis bahwa pesan yang ingin dia sampaikan adalah that the profession now stands in danger of losing its soul.

 

Jangan sampai para advokat Indonesia yang mengaku officium nobile kehilangan jiwa mulianya. 

Empat tahun lalu, Otto Hasibuan membubuhkan tanda tangan di atas namanya, persis di bawah nama Kapolri Dai Bachtiar. Tiga pejabat tinggi lain juga membuat tekenan di atas nama mereka, masing-masing Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan, Jaksa Agung M.A Rachman, dan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Taufiqurrahman Ruki. Di awal dokumen yang mereka teken tertera kalimat yang memperjelas maksud dan urusan teken-meneken itu: Kami pimpinan lembaga-lembaga penegak hukum menyadari...

 

Kala itu, 16 April 2004. Jarang ada momentum di saat semua petinggi lembaga penegak hukum hadir dan berembug seperti pertemuan hari itu, hingga akhirnya menyepakati banyak hal. Apalagi kesepakatan para pimpinan lembaga penegak hukum tadi disaksikan pula petinggi lembaga lain yang punya kepentingan dengan penegakan hukum semisal Ketua Komisi Ombudsman Nasional (KON) Antonius Sujata, Ketua Komisi Hukum Nasional (KHN) J.E. Sahetapy, Menko Polkam Hari Sabarno, dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Kwik Kian Gie.

 

Para petinggi negara itu tengah membuat kesepakatan tentang pembaruan hukum dan pembenahan sistem peradilan. Secara khusus, kesepakatan bersama itu diarahkan untuk memulihkan citra lembaga-lembaga penegak hukum di mata masyarakat. Di mata masyarakat, lembaga-lembaga itu memang kurang dapat dipercaya. Hal itu juga terungkap melalui konsultasi publik yang digelar Pemerintah di beberapa provinsi. Korupsi diyakini masih merajalela.

 

Alih-alih memberikan pelayanan yang memuaskan, aparat lembaga penegak hukum malah menjadi parasit bagi pencari keadilan. Kalau warga kehilangan ayam, lalu perkaranya dibawa ke lembaga penegak hukum, yang terjadi malah kehilangan kambing. Begitu perumpamaan yang sering dipakai.

 

Kini, empat tahun sejak dokumen penting itu diteken bersama, ternyata tak semua komitmen ditepati. Untuk tahap awal, simaklah janji petinggi advokat yang kala itu diwakili Otto Hasibuan dalam kapasitasnya sebagai Koordinator Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI). Maklum, saat itu, Peradi belum lahir.

Tags: