Menakar Efektivitas Kebijakan Pajak Sepanjang Awal 2019
Utama

Menakar Efektivitas Kebijakan Pajak Sepanjang Awal 2019

Pemerintah dinilai masih kebingunan mencari cara memajaki ekonomi digital.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit

 

Dengan ditariknya PMK tersebut, Sri Mulyani mengingatkan, perlakuan perpajakan untuk seluruh pelaku ekonomi tetap mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Para pelaku usaha baik e-commerce maupun konvensional yang menerima penghasilan hingga Rp4,8 miliar dapat memanfaatkan skema pajak final dengan tarif 0,5 persen dari jumlah omzet usaha.

 

Hukumonline.com

Sumber: DDTC

 

Tidak optimalnya penerimaan pajak industri digital ini juga tidak lepas dari kerumitan bisnis tersebut. Pemerintah sulit menyusun kebijakan yang adil dalam menetapkan alokasi hak dan pembayaran pajak. Kemudian, penyusunan aturan juga berkejaran dengan waktu karena sifat bisnis ekonomi digital yang dinamis. Selain itu, belum terdapatnya kesepakatan global mengenai pemajakan ekonomi digital ini.

 

Sehingga, pemajakan atas ekonomi digital seharusnya tidak mendapat perlakuan sama dengan bisnis konvensional. Bawono menjelaskan terdapat opsi bagi pemerintah dalam memajaki perusahaan-perusahaan digital agar lebih adil. Kebijakan pajak tersebut berdasarkan pengguna, pemasaran digital dan dampak ekonomi. Selain itu, pemerintah juga dapat menetapkan tarif pajak minimal pada perusahaan digital.

 

“Opsi-opsi tersebut pada dasarnya menguntungkan Indonesia sebagai yurisdiksi pasar dengan banyak pengguna. Walaupun, opsi tersebut memiliki derajat keuntungan dan kesulitan implementasi berbeda,” jelas Bawono.    

 

Meski demikian, Bawono mengapresiasi terbitnya PMK 35/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap (BUT). Menurutnya, aturan tersebut memberi kepastian hukum dalam pemungutan pajak lintas negara. Perlu diketahui, jenis usaha BUT ini umumnya dipraktikan perusahaan-perusahaan digital asing yang dapat beroperasi tanpa kantor tetap namun meraih profit dari Indonesia.

 

Selama triwulan pertama ini, tidak optimalnya kebijakan pajak terlihat dari realisasi pajak non-migas yang mencapai 15,5 persen dari target. Pertumbuhan penerimaan hanya naik 0,6 persen padahal rata-rata pola distribusi bulanan bisa mencapai 6 persen. Lambatnya pertumbuhan ini disebabkan kinerja PPN yang negatif.

 

Kondisi itu sebenarnya direspon pemerintah dengan menerbitkan relaksasi melalui perluasan cakupan ekspor jasa yang dikenakan PPN bertarif 0 persen. Ketentuan ini terdapat dalam PMK 32/2019 tentang Batasan Kegiatan dan Jenis Jasa Kena Pajak yang Atas Ekspornya Dikenai PPN. Hal ini menambah daftar relaksasi yang diberikan sebelumnya seperti insentif tax holiday, pemberian restitusi dipercepat atau diskon tarif pajak untuk usaha kecil, mikro dan menengah (UMKM).

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait