Menakar Peluang Indonesia Lepas dari Ancaman Resesi
Utama

Menakar Peluang Indonesia Lepas dari Ancaman Resesi

Hadirnya puluhan regulasi menunjukkan bahwa Indonesia relatif sudah menyiapkan legal safeguards terkait dampak pandemi Covid-19.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Ekonomi global dan dunia mengalami goncangan yang cukup berat sejak virus Corona atau Covid-19 mulai melanda negara-negara di seluruh dunia pada akhir tahun 2019 lalu. Tak main-main, Covid-19 bahkan menjadi penyebab utama ambruknya ekonomi dunia, dan berdampak terjadinya resesi di beberapa negara tentangga seperti Korea Selatan dan Singapura.

Di Indonesia sendiri penemuan kasus Covid-19 terjadi pada Maret lalu. Setelah nyaris lebih dari 5 bulan berjibaku melawan Covid-19, Indonesia akhirnya berada pada ancaman yang sama yakni resesi ekonomi. Hal tersebut menyusul fakta bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal ke-II berada di angka -3,4 persen.

Resesi diartikan sebagai kemerosotan atau sebuah kondisi di mana Produk Domestik Bruto (PDB/GDP) mengalami penurunan. Lebih tepatnya ketika pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama dua kuartal secara berturut-turut (atau lebih dari setahun).

Resesi ekonomi atau kelesuan ekonomi mengakibatkan penurunan secara simultan pada setiap aktivitas di beberapa sektor ekonomi, seperti lapangan kerja, investasi, hingga keuntungan perusahaan. Situasi ini tentunya dapat menimbulkan efek domino yang mempengaruhi kegiatan ekonomi lainnya. (Baca: Sepi Peminat, Pemerintah Berencana Naikkan Diskon Angsuran PPh Pasal 25)

Sebelumnya, pemerintah sudah melakukan langkah antisipasi untuk menghadapi ancaman resesi ekonomi lewat UU No.2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang.

UU 2/2020 tersebut yang kemudian menjadi dasar hukum bagi pemerintah dalam mengambil sejumlah kebijakan selama pandemi. Termasuk kebijakan di sektor kesehatan dan sektor ekonomi berupa insentif fiskal maupun non fiskal.

Bauran kebijakan tersebut diharapkan dapat menjadi stimulus bagi dunia usaha dan konsumsi masyarakat, sehingga bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang sudah anjlok. Namun pertanyaannya, seberapa efektif beleid tersebut mampu menghadang gelombang resesi ekonomi? Apalagi pemanfaatan insentif-insentif tersebut belum digunakan secara optimal oleh dunia usaha jelang Kuartal ke-III pada September mendatang.

Kepala Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Kacharibu mengakui jika ekonomi Indonesia sangat tertekan sejak pandemi. Namun nada optimis disampaikan Febrio. Dia menyebut jika Indonesia masih memiliki peluang untuk tak masuk ke dalam jurang resesi.

Demi menghindari ancaman resesi, dia menegaskan pemerintah tengah berupaya untuk menaikkan pertumbuhan ekonomi, salah satunya melalui bauran kebijakan selama new normal dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan. Di sisi lain, dia juga menyebut bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun ini relatif lebih baik dari negara-negara lain.

“Indonesia walaupun tertekan, masih punya peluang tidak masuk ke resesi, kalaupun masuk ke resesi tapi tidak dalam. Pemerintah saat ini sedang berusaha agar pertumbuhan ekonomi tidak negatif, dengan tetap menjaga protokol kesehatan, dan tetap bisa melakukan aktifitas ekonomi walaupun terbatas. Di tahun 2020 Indonesia relatif lebih baik dari negara-negara lain,” katanya dalam konferensi pers daring, Jumat (24/7).

Febrio memprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia akan positif pada Kuartal 4 dengan prediksi 2 persen. Tapi untuk mencapai hal itu dibutuhkan kedisiplinan semua pihak agar second wave Covid-19 tidak terjadi.

“Di kuartal ke-4 pertumbuhan ekonomi diprediksi bisa tumbuh di atas 2 persen, butuh kedisplinan dari kita semua jangan sampai ada second wave. Untuk dunia usaha ada banyak program, PEN secara resmi baru berjalan satu bulan,” tambahnya.

Menteri Koordinator Perekonomian (Menko), Airlangga Hartanto menambahkan bahwa penyebaran wabah Covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda melambat. Aktivitas ekonomi global pun belum akan kembali ke normal seperti masa sebelum pandemi. Berbagai lembaga internasional memperkirakan kontraksi pada tahun 2020 pada kisaran -4.9 sampai dengan -7.6 persen.

Agar terhindar dari resesi, lanjutnya, pemerintah harus melakukan langkah extraordinary untuk mendorong pemulihan ekonomi di Kuartal ke-3 dan ke-4 tahun 2020. Belanja pemerintah secara besar-besaran akan didorong sehingga permintaan dalam negeri meningkat dan dunia usaha tergerak untuk berinvestasi. Oleh karena itu, dukungan untuk dunia usaha harus segera dipercepat implementasinya.

“Belanja pemerintah didorong sebagai salah satu penggerak dan pengungkit perekonomian agar di semester kedua tahun 2020, kita bisa memperbaiki pertumbuhan ekonomi dari minus

menjadi nol atau positif,” kata Airlangga, Selasa (28/7).

Ia pun kembali menegaskan, Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional dibentuk untuk mengintegrasikan kebijakan kesehatan dan ekonomi sehingga penanganan kesehatan dan pemulihan ekonomi dapat berjalan beriringan dan terintegrasi ndalam satu kelembagaan. Akan tetapi, harus dipahami bersama bahwa penanganan kesehatan tetap menjadi prioritas.

Direktur Kerjasama dan Kolaborasi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Muhammad Faiz Aziz, berpendapat pada dasarnya pemerintah sudah menerbitkan sejumlah regulasi untuk membendung gelombang resesi, yakni UU No. 9/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan dan UU No. 2/2020.

Sepanjang Maret-Juli ini, lanjutnya, sudah ada banyak regulasi di tingkat pelaksanaan yang diterbitkan, baik oleh pemerintah, OJK, dan Bank Indonesia. Cakupan regulasi ini bervariasi misalnya terkait keringanan pajak, relaksasi pembayaran kembali kredit dan pembiayaan, penerbitan Pandemic bond, refocusing anggaran ke kesehatan, bantuan dan insentif bagi pelaku usaha khususnya UMKM, dan sebagainya. Selain itu, baru-baru ini pemerintah juga membentuk Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional.

Tetapi efektivitas regulasi dalam membendung resesi belum bisa di evaluasi. Hanya saja, dia menilai hadirnya puluhan regulasi menunjukkan bahwa Indonesia relatif sudah menyiapkan legal safeguards terkait dampak pandemi Covid-19.

Menurutnya, sejumlah regulasi yang diterbitkan pemerintah sudah cukup untuk membendung gelombang resesi. Namun demikian, dia mengingatkan sebagai salah satu upaya untuk menghindari resesi, pemerintah harus mengambil arah kebijakan ke sektor UMKM dan penyelamatan usaha yang bisa berdampak kepada PHK yang besar. Mengingat sumbangan terbesar pertumbuhan ekonomi berasal dari UMKM.

“Apakah regulasi ini akan efektif dalam mengatasi dampak resesi, kita lihat saja nanti karena belum bisa dievaluasi. Namun, hadirnya puluhan regulasi menunjukkan bahwa Indonesia relatif sudah menyiapkan legal safeguards terkait dampak Pandemi Covid-19 ini dibandingkan apa yang terjadi pada saat krisis ekonomi nasional 1998 dan krisis global 2008 lalu,” katanya kepada Hukumonline, Rabu (29/7).

Tags:

Berita Terkait