Mencari Solusi Problematik Pembangkangan Terhadap Konstitusi
Utama

Mencari Solusi Problematik Pembangkangan Terhadap Konstitusi

Diusulkan ke depan, bagaimana negara membuat kebijakan agar setiap warga negara dan lembaga negara taat terhadap putusan pengadilan (tata negara) sebagai bentuk kepatuhan terhadap hukum disertai sanksinya.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit

Partner pada Kariem & Partner Law Firm ini menegaskan pembangkangan terhadap putusan pengadilan sama halnya dengan pembangkangan konstitusi. Ia merujuk Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Baginya, rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 melatih dan mendidik masyarakat agar patuh terhadap hukum. “Bagaimana bentuk pembangkangan, apakah perlu sanksi?”

Menurutnya, pembangkangan konstitusi akibat adanya ketidakpuasan terhadap kebijakan negara yang tetap tidak dilaksanakan. Selain itu, ketiadaan pengaturan mekanisme constitusional complaint dalam hukum acara MK bisa menimbulkan dugaan pembangkangan konstitusi yang seharusnyabisa diputuskan oleh MK sebagai kontrol. “Kalau nanti ada perubahan UUD Tahun 1945 kelima, bagus juga ini sebagai kontrol terhadap lembaga lain. Di sini ada peran advokat.”

Untuk itu, ke depan bagaimana negara membuat kebijakan agar setiap warga negara dan lembaga negara taat terhadap putusan pengadilan sebagai bentuk kepatuhan terhadap hukum disertai sanksinya. Misalnya, tindakan yang paling memungkinkan sebagai bentuk sanksi bagi warga negara yang melakukan pembangkangan terhadap konstitusi dengan menerapkan aturan contempt of court.

Kemudian contempt terhadap sumpah dan jabatan bagi pejabat pemerintah/negara. Sebab, dalam setiap sumpah jabatan mereka berjanji memegang teguh dan melaksanakan peraturan perundang-undangan dan UUD 1945 dengan selurus-lurusnya. “Menjadi soal ketika institusi yang melakukan pembangkangan terhadap konstitusi. Bagaimana cara memaksanya, ini belum ketemu (formulasinya, red)?”

Sementara Ketua Umum DPN Peradi, Otto Hasibuan melihat constitusional disobedience menjadi persoalan serius, khususnya bagi advokat. Dia menilai terdapat pembangkangan ketidaktaatan terhadap putusan MK. Tentu saja advokat sebagai profesi officium nobile seharusnya menjadi garda terdepan pengawal konstitusi. Dia mewanti-wanti agar advokat terus menyuarakan kebenaran dan membela konstitusi.

“Apabila advokat di negara hukum tidak berani menyuarakan atau membela konstituisi, maka negara itu bukan negara hukum. Kita sebagai pengawal konstitusi sering mengalami adanya pembangkangan konstituisi,” kata Otto dalam kesempatan yang sama.

Dia mencontohkan MK telah memberi putusan yang menyatakan Peradi sebagai satu-satunya organisasi advokat yang sah dibentuk berdasarkan UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat. Bahkan disebut pula Peradi sebagai organ negara. Begitu pula penyumpahan advokat hanya boleh dilakukan oleh Peradi. Namun faktanya terdapat organisasi lain yang melakukan kewenangan serupa. “Apakah ini bisa dikatakan sama dengan pembangkangan konstitusi?”

Tags:

Berita Terkait