Mencermati Posisi Freeport dari UU Minerba, Kontrak Karya, serta MoU
Fokus

Mencermati Posisi Freeport dari UU Minerba, Kontrak Karya, serta MoU

Pemerintah tentu mengalami dilema apakah harus memenuhi kesepakatan dalam kontrak karya atau patuh pada regulasi yang dibuatnya sendiri.

Oleh:
NANDA NARENDRA PUTRA/YOZ
Bacaan 2 Menit

1.    The Government and the Company hereby consent to submit all disputes between the Parties hereto arising, before or after termination hereof, out of this Agreement or the application hereof or the operations hereunder, including contentions that a Party is in default in the performance of its obligations hereunder, for final settlement, either by conciliation, if the Parties wish to seek an amicable settlement by conciliation, or to arbitration. Where the Parties seek an amicable settlement of a dispute by conciliation, the conciliation shall take place in accordance with the UNCITRAL Conciliation Rules contained in resolution 35/52 adopted by the United Nations General Assembly on 4 December, 1980 and entitled "Conciliation Rules of the United Nations Commission on International Trade Law" as at present in force. Where the Parties arbitrate, the dispute shall be settled by arbitration in accordance with the UNCITRAL Arbitration Rules contained in resolution 31/98 adopted by the United Nations General Assembly on 15 December, 1976 and entitled "Arbitration Rules of the United Nations Commission on International Trade Law" as at present in force. The foregoing provisions of this paragraph do not apply to tax matters which are subject to the jurisdiction of Majelis Pertimbangan Pajak (The Consultative Board of Taxes). The language to be used in conciliation and arbitration proceedings shall be the English language, unless the Parties otherwise agree.

2.    Before the Government or the Company institutes an arbitration proceeding under the UNCITRAL Arbitration Rules, it will use its best endeavors to resolve the dispute through consultation and use of administrative remedies; provided that the Company shall not be obligated to pursue any such remedies for more than one hundred and twenty days after it has notified the Government of an impending dispute if such remedies involve a request or application to the Government or any of its departments or instrumentalities.
  Sebelumnya, aktivis dan pegiat tambang, Hendrik Siregar menilai Freeport tidak bisa membawa masalah ini ke forum arbitrase internasional. Menurutnya, kontrak karya generasi ke-2 Freeport dan pemerintah Indonesia telah jelas menyepakati bahwa forum arbitrase dapat dipilih sepanjang kedua belah pihak sepakat membawa ini ke arbitrase. Artinya, bila pemerintah Indonesia tidak sepakat menyelesaikan lewat arbitrase, maka forum ini tidak bisa ditempuh.   “UNCITRAL bisa dipakai kalau dua pihak (Freeport dan Pemerintah Indonesia) sepakat,” sebut Hendrik yang juga mantan Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) akhir Februari kemarin di Jakarta.   Kata Hendrik, Pasal 21 kontrak karya menyebut bahwa setiap pelanggaran kontrak () wajib diselesaikan melalui rekonsiliasi atau arbitrase sesuai dengan ketentuan arbitrase UNCITRAL. Hendrik menegaskan, Freeport sendiri dari segi kedudukan cukup lemah lantaran melanggar ketentuan divestasi dan smelter dalam kontrak karya. Dalam kontrak karya generasi ke-2 yang diteken tahun 1991, Freeport sepakat akan melakukan divestasi 51% tahun 2011 dan menyerahkan kepada pemeritah.   Tapi apa yang terjadi, Hendrik menyebutkan bahwa tahun 2014 Freeport dan pemerintah menandatangai Memorandum of Understanding (MoU) yang isinya mengamandemen isi kontrak karya mengenai divestasi dari 51% menjadi 30%. Selanjutnya, mengenai smelter. Kata Hendrik, Freeport berencana membangun pabrik pemurnian mineral di Gresik, Jawa Timur. Namun, kontrak karya yang disepakati jauh silam itu hanya terkait tembaga. Padahal, Freeport juga menambang selain tembaga seperti emas yang tentunya itu juga punya konsekuensi terhadap kewajiban pembangunan smelter. “PTFI melanggar UU Minerba dan Kontrak Karya,” sebutnya.   Pengajar Hukum Bisnis Internasional Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Khamami Zada, menilai perubahan rezim dari kontrak karya menjadi rezim perizinan pasca UU Nomor 4 Tahun 2009 punya sejumlah konsekuensi. Pertama, dari aspek hubungan hukum, bersifat publik dengan menggunakan instrumen hukum administrasi negara, bukan hukum perdata. Kedua, dari aspek penerapan hukum dilaksanakan oleh pemerintah, bukan kedua belah pihak.   Kemudian yang ketiga, tidak berlaku pilihan hukum. Keempat, sengketa diajukan ke PTUN, bukan arbitrase internasional. Kelima, hak dan kewajiban Pemerintah RI lebih besar. Keenam, sumbernya adalah peraturan perundang-undangan, bukan kontrak. Dan ketujuh, akibatnya bersifat sepihak, bukan kesepakatan kedua belah pihak.   Menurut Khamami, UU Minerba memberikan arah yang jelas tentang keberlakuan Kontrak Karya. Pasal 169 UU Minerba menyatakan: (a) dan (b) ketentuan yang tercantum dalam pasal Kontrak Karya disesuaikan selambat-lambatnya 1 tahun sejak UU ini diundangkan.

Ketentuan Pasal 169 di atas sesuai dengan Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa perjanjian tidak boleh bertentangan dengan hukum, kesusilaan, dan kepatutan. Dalam pengertian sebaliknya, jika bertentangan, maka perjanjian menjadi batal. Namun demikian, menurut Khamami, dengan menggunakan asas pacta sunt servanda, maka Pemerintah RI tunduk pada asas mengikatnya perjanjian sehingga Pemerintah RI tidak bisa memaksakan secara sepihak untuk mengubah Kontrak Karya Freeport dengan Izin Usaha Pertambangan Khusus, termasuk sejumlah isu strategis dalam Undang-undang ini, yaitu:
1.    Luas wilayah dibatasi maksimal 100.000 hektare dan maksimal 25.000 hektare untuk wilayah operasi (Pasal 83).
2.    Perpanjangan kontrak paling lama 20 tahun dan dapat diperpanjang masing-maisng 10 tahun. Pemegang izin operasi produksi yang telah memperoleh perpanjangan 2 kali harus mengembalikan wilayah operasinya kepada Pemerintah RI (Pasal 83)
3.     Penerimaan negara dalam bentuk besaran royalty sebesar 4 persen untuk tembaga, 3,75 persen untuk emas, dan 3,25 persen untuk perak dari harga jual.
4.    Kewajiban divestasi mulai berlaku setelah perusahaan berproduksi selama 5 tahun kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, BUMN, BUMD atau badan usaha swasta nasional (Pasal 79 dan 112).
5.    Kewajiban pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dengan membangun pabrik pengolahan (smelter) untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan, dan pemurnian serta pemanfaatan mineral (Pasal 79, 102, 103, 104, 124).
6.    Kewajiban penggunaan barang dan jasa dalam negeri (Pasal 141)

Sekilas Tentang si Penasehat Hukum
Di awal periode pemerintahan Soeharto, pemerintah mengambil kebijakan untuk meningkatkan pembangunan ekonomi. Ketika itu, pemerintah Orde Baru membuka hubungan dengan dunia barat, setelah sebelumnya sempat mengalami gangguan akibat suasana politik dalam negeri. Sejak itu, terbuka kesempatan bagi Freeport untuk menggarap Gunung Bijih yang saat ini merupakan bagian dari wilayah Republik Indonesia, yakni Papua.

Namun, dengan kondisi ekonomi nasional yang terbatas setelah penggantian kekuasaan, pemerintah segera mengambil langkah strategis dengan mengeluarkan Undang-undang Modal Asing (UU No. 1 Tahun 1967). Satu hal yang perlu dicatat, sepak terjang Freeport di Indonesia tak lepas dari nama Ali Budiardjo. Kisah ini tertuang dalam buku berjudul “Sejarah Pengembangan Pertambangan PT. Freeport Indonesia di Provinsi Papua Jilid I, Membangun Tambang di Ujung Dunia”.

Dalam buku itu ditulis, setelah adanya UU No.1 Tahun 1967, Freeport memulai usaha pendekatan dan Julius Tahija, Manager Indonesia dari perusahaan minyak Texaco diminta bantuannya untuk mengatur pertemuan dengan Jenderal Ibnu Sutowo, yang saat itu menjabat Menteri Pertambangan & Minyak Indonesia. Julius Tahija adalah mantan militer sekutu di masa Perang Dunia II yang mempunyai nama baik di Amerika. Sebab, ia mampu mempertahankan operasi perusahaan minyak Amerika-Texaco di tahun-tahun yang amat sulit semasa rezim Orde Lama.  Freeport kemudian meminta Tahija mencari seorang penasehat hukum dan diusulkan Ali Budiardjo, mantan Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan, kemudian Kepala Biro Perencanaan Nasional.

Ali Budiardjo adalah lulusan Rechtshogeschool di Jakarta. Pada 1937, ia menggondol gelar Meester in de Rechten.  Ketika ditunjuk sebagai penasehat hukum Freeport Indonesia, pada waktu itu Ali baru saja menjadi wiraswasta baru, yakni mendirikan kantor penasihat hukum, setelah sebelumnya meraih gelar magister dalam ilmu Manajemen Industrial di Massachusetts Institute of Technology (MIT) di Amerika Serikat. Freeport menjadi klien pertama dari kantor penasihat hukum itu. Kantor hukum itu dikenal dengan nama ABNR (Ali Budiardjo, Nugroho, Reksodiputro).

Hukumonline.com
Pada tahun 1974, Ali Budiardjo menggantikan Forbes Wilson sebagai Presiden dari Freeport Indonesia Inc. Bagi kalangan orang hukum, bisa dibilang ini adalah sebuah kebanggan Karena Ali adalah Sarjana Hukum pertama, bahkan orang Indonesia pertama yang menempati jabatan Dirut di Frepport Indonesia.

Di samping banyak berperan dalam perundingan antara Freeport dan Pemerintah Indonesia, Ali Budiardjo dinilai mampu menyadarkan para staf perunding Freeport, semua yang berbangsa Amerika, akan tata cara berunding dalam alam Indonesia dan tata krama timur dalam pergaulan dengan para pejabat Indonesia.

Ya, mereformasi budaya di Freeport menjadi tugas Ali Budiardjo. Lelaki kelahiran Karanganyar, Kebumen, 4 Juni 1913 itu telah mengajarkan tatacara dan tatakrama ala Jawa yang halus dalam berbisnis kepada para pemodal, khususnya yang merupakan orang Amerika. Dia paham orang Amerika tidak menyadari bahwa secara politis dan psikologis terdapat perbedaan budaya antara Amerika dan Indonesia.  

Dalam pikiran Ali Budiarjo, orang Indonesia bukanlah tipe orang yang bisa berbicara blak-blakan atau terbuka. Menurut suami dari Miriam Budiardjo yang juga berperan dalam beberapa perundingan kemerdekaan Indonesia, yakni sebagai sekretaris delegasi Perundingan Linggarjati dan anggota delegasi dalam perjanjian Renville, itu orang Indonesia diajar untuk tidak mempertanyakan, apalagi menentang pikiran orang tua atau para atasan.

Ali Budiardjo mengajarkan pula kepada orang-orang Freeport, bagaimana menangkap pikiran orang Indonesia yang tersirat maupun tersurat. Ali terbilang sukses di Freeport. Bahkan berkat jasanya, namanya ditabalkan pada salah satu tunnel di lokasi tambang Freeport, Papua; Terowongan Ali Budiardjo atau AB Tunnel.






PP Nomor 1 Tahun 2017PP Nomor 23 Tahun 2010UU Nomor 4 Tahun 2009(Baca Juga: Holding BUMN Pertambangan ‘Modal’ Ambil Alih Divestasi Freeport)




Skema Divestasi PP Nomor 1 Tahun 2017
(Baca Juga: 3 Komponen Penting Kebijakan Divestasi Saham Perusahaan Tambang)





Incorporatedcontract of workIncorporated



(Baca Juga: Mencermati Konstitusionalitas Kebijakan Hilirisasi Mineral)

pacta sunt servanda

UU Nomor 1 Tahun 1967 UU Nomor 11 Tahun 1967












Pasal 31 ayat (1) Kontrak Karya




PP Nomor 77 Tahun 2014 PP Nomor 1 Tahun 2017

Memorandum of Understanding (Baca Juga: Enam Poin Kesepakatan Renegoisiasi Kontrak Karya dengan Freeport)

(Baca Juga: SBY Terbitkan Keppres Tim Evaluasi Kontrak Karya)

Para Pihak mengakui bahwa Nota Kesepamahan ini tidak menghilangkan hak dan kewajiban Para Pihak sebagaimana tercantum dalam KK(Baca Juga: Freeport Teken MoU Renegoisiasi Kontrak)
MoU antara Freeport dan Indonesia*


breach of contractUnited Nations Commission on International Trade Law
                                                  ARTICLE 21
SETTLEMENT OF DISPUTES




breach of contract







bahwa Kontrak Karya yang telah ada sebelum berlakunya UU ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian
Tags:

Berita Terkait