Indonesia dikenal sebagai negara agraris dimana pertanian menjadi sektor utama mendorong perekonomian nasional. Tapi persoalan agraria yang terjadi selama ini sangat sulit untuk dituntaskan. Salah satu dampaknya adalah ketimpangan kepemilikan sumber-sumber agraria seperti tanah.
Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika menilai politik agraria yang terjadi di Indonesia saat ini tidak dalam kondisi yang baik bagi rakyat. Banyak alokasi sumber-sumber agraria diprioritaskan untuk badan usaha (korporasi) skala besar.
“Politik agraria yang terus dikumandangkan (pemerintah, red) yakni sulitnya investor mendapat tanah di Indonesia,” kata Dewi dalam diskusi Temu Nasional Reforma Agraria bertajuk "Reforma Agraria Menuju Perubahan Politik 2024: Sebuah Refleksi dan Agenda Aksi” di Jakarta, Rabu (25/1/2023).
Baca juga:
- Konflik Pertanahan Itu Emosional dan Menguras Energi
- Regulasi Ini Disebut Menambah Beban Sengkarut Sengketa Tanah di Pengadilan
Ia melanjutkan politik agraria pemerintah saat ini bisa dilihat dari terbitnya beragam regulasi, seperti UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Salah satu ketentuan yang diatur mengenai bank tanah yang tujuannya menyediakan tanah untuk kepentingan investasi.
Menurut Dewi, semangat kedua beleid itu berbeda jauh dengan UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Beleid yang diteken Presiden Soekarno 24 September 1960 silam itu orientasinya jelas mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Para pemikir dan sarjana hukum kala itu menyadari bobroknya struktur kepemilikan tanah akibat peraturan warisan kolonial Belanda yakni Agrarische Wet.
“UU No.5 Tahun 1960 memutar balik Agrarische Wet Belanda. Itulah kenapa UU No.5 Tahun 1960 tidak seperti UU No.11 Tahun 2020 karena UU No.5 Tahun 1960 menjalankan prinsip Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dan keadilan sosial,” ujar Dewi mengingatkan.