Menelusuri Perkembangan Keanggotaan Indonesia di FATF
Berita

Menelusuri Perkembangan Keanggotaan Indonesia di FATF

Setidaknya ada dua proses yang harus dilalui Indonesia sebelum memperoleh keanggotaan penuh Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF).

Fathan Qorib
Bacaan 2 Menit
Menelusuri Perkembangan Keanggotaan Indonesia di FATF
Hukumonline

Indonesia terus berupaya masuk dalam keanggotaan Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF). Tinggal beberapa langkah lagi, upaya Indonesia ini akan membuahkan hasil. Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Dian Ediana Rae menyatakan, setidaknya terdapat dua proses yang harus dilalui Indonesia sebelum memperoleh keanggotaan penuh FATF.

 

“Pertama, high level visit, kedua evaluasi paling cepat awal 2019, sehingga keanggotaan penuh Indonesia baru akan diperoleh sekitar 2020,” kata Ediana kepada hukumonline, Rabu (8/11).

 

Proses tersebut merupakan perkembangan terakhir dari hasil pertemuan antara delegasi Indonesia dengan Executive Secretary FATF, David Lewis di Buenous Aires, Argentina, 31 Oktober lalu. Menurut Ediana, high level visit merupakan kunjungan sejumlah pejabat FATF ke Indonesia.

 

(Baca Juga: Regulasi Dinilai Mencukupi, Indonesia Segera Jadi Anggota FATF)

 

Beberapa pejabat FATF tersebut selain David Lewis adalah Presiden FATF Santiago Otamendi dan sejumlah pejabat lainnya. Rencananya, kunjungan ini akan dilaksanakan pada awal bulan Mei 2018. Tujuan kunjungan ini untuk menemui sejumlah pejabat di Indonesia setingkat menteri untuk memastikan komitmen Indonesia terkait isu Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) maupun Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT).

 

“Pejabat yang akan ditemui antara lain adalah Menkopohukam (Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan), Menkeu (Menteri Keuangan), Gubernur BI (Bank Indonesia), Ketua OJK (Otoritas Jasa Keuangan), Menkumham (Menteri Hukum dan HAM), Kapolri, Jaksa Agung, Kepala PPATK dan Menlu (Menteri Luar Negeri), ini baru indikasi awal,” tambahnya.

 

Dari hasil pertemuan tersebut, lanjut Ediana, FATF juga telah sepakat untuk mempercepat proses status observer yang sudah bisa diperoleh pada 1 Juli 2018, setelah Pleno FATF pada Juni 2018. Sehingga, pada Sidang Pleno FATF berikutnya yakni Oktober 2018, Indonesia telah memiliki semua hak keanggotaan kecuali hak voting.

 

“Indonesia sudah akan mempunyai hak bicara dan tempat dalam pleno sebagaimana anggota lainnya. Sejauh pengamatan kami, FATF jarang menggunakan prosedur voting dan mengutamakan konsensus,” ujar Ediana.

 

Percepatan status keanggotaan Indonesia ini menurut Ediana belum pernah terjadi sebelumnya. Ditambah lagi, seluruh Negara anggota FATF tidak ada yang menyatakan penolakan. “Hasil MER (Mutual Evaluation Review) APG (Asia Pasific Group on Money Laundering) bulan November 2017, yang hasilnya akan diadopsi oleh APG tahun 2018, diperkiraan tidak akan mempengaruhi status observer Indonesia di FATF tahun 2018,” katanya.

 

Selain itu, salah satu hal yang membuat yakin Indonesia akan segera memperoleh status keanggotaan FATF adalah tingkat kepatuhan regulasi. Beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo sendiri telah menandatangani Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penerimaan dan Pemberian Sumbangan oleh Organisasi Kemasyarakatan dalam Pencegahan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (Perpres 18/2017).

 

(Baca Juga: Mengintip Rancangan Perpres Mengenali Pemilik Manfaat Korporasi)

(Baca Juga: Pengungkapan Beneficial Owner, ‘Pintu Masuk’ Kejar Korporasi Penghindar Pajak)

 

Ediana memastikan bahwa penandatangan Perpres 18/2017 itu sejalan dengan rekomendasi FATF yang wajib dimiliki tiap Negara. “Betul, itu salah satu rekomendasi FATF yang harus dimiliki oleh suatu Negara agar badan hukum dan legal arrangement tidak dimanfaatkan para penjahat,” katanya.

 

Sementara itu, mantan Deputi Komisioner bidang Pengawasan Industri Keuangan Non-Bank OJK, Ngalim Sawega mengatakan, aturan mengenai know your customer telah disempurnakan dengan penerapan anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme. Hal ini sejalan dengan rekomendasi FATF.

 

“Ini mengadopsi rekomendasi dan standar internasional secara lebih komprehensif yang dikeluarkan oleh FATF yang dikenal dengan Rekomendasi 40 FATF,” katanya kepada hukumonline.

 

FATF, lanjut Ngalim, merupakan standar internasional yang membuat Indonesia ingin turut serta di dalamnya. Ia tak menampik, pengetatan regulasi di bidang pencucian uang memiliki tantangan tersendiri apalagi jika dikaitkan dengan kebutuhan Indonesia dalam hal investasi. Namun ia meyakini, asal pendanaan investasi yang baik membuat investasi pembangunan di Indonesia juga semakin baik.

 

“Apakah sudah cocok Indonesia menerapkan regulasi yang ketat? Sementara kita ini membutuhkan investasi yang sebesar-besarnya untuk pembangunan,” pungkasnya. (KAR)

Tags:

Berita Terkait