Mengapa "Pengaturan Alih Daya" Menjadi Harus Di-Perppu-kan?
Kolom

Mengapa "Pengaturan Alih Daya" Menjadi Harus Di-Perppu-kan?

Tidak tepat jika digunakan alasan kegentingan memaksa dalam menerbitkan Perppu Cipta Kerja dikorelasikan dengan Putusan MK 91/2020.

Bacaan 5 Menit

Berikut adalah ketentuan yang sepatutnya tercakup di dalam perbaikan UU Cipta Kerja ataupun peraturan-peraturan pelaksana yang akan dibuat oleh pembuat peraturan: 

  1. Pembuat kebijakan luput mengatur sanksi jika ketentuan dalam PP 35/2021 dilanggar atau tidak dipatuhi oleh perusahaan outsourcing, sedangkan hal tersebut merupakan amanah dari UU Cipta Kerja.
  2. Selain hal tersebut juga mengenai hidupnya kembali ketentuan pemutusan hubungan kerja (“PHK”) mengenai kesalahan berat yang berganti kostum menjadi pelanggaran bersifat mendesak dalam PP 35/2021. Hal ini menurut Penulis merupakan pembangkangan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi. 
  3. Permasalahan yang lain diantaranya adalah terkait mekanisme PHK dengan didahului surat pemberitahuan PHK, bahkan bisa tidak diberikan surat pemberitahuan PHK bilamana pekerja melakukan pelanggaran bersifat mendesak. Senyatanya pemberitahuan PHK ini telah menghilangkan ketentuan yang mewajibkan dilakukan perundingan sebelumnya sebagaimana diatur dalam eks Pasal 151 ayat (2) UU Ketenagakerjaan. Belum lagi permasalahan PHK lainnya, yang banyak sekali alasan PHK yang dapat dengan mudah dilakukan oleh Pengusaha terhadap para pekerjanya, serta besaran pesangon yang semakin kecil dibandingkan dengan UU Ketenagakerjaan.
  4. Belum dicabutnya Keputusan Menteri Ketenagakerjaan No. 349 Tahun 2019 tentang Jabatan Tertentu yang Dilarang Diduduki oleh Tenaga Kerja Asing (“Kepmenaker 349/2019”). Sedangkan ketentuan dalam Kepmenaker 349/2019 ini bersandar pada eks Pasal 46 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, hal mana ketentuan tersebut telah dihapus dalam UU Cipta Kerja. 

Pemerintah pun telah memberikan respons bahwa pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan outsourcing akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sementara, untuk saat ini Peraturan Pemerintah yang berlaku tentang outsourcing termaktub di dalam PP 35/2021. Seyogianya bilapun Pemerintah akan merevisi PP 35/2021, rekomendasi Penulis di atas agar dapat dipertimbangkan, khususnya mengenai outsourcing dan PHK. Sedangkan mengenai TKA, agar dibuatkan revisi terkait Kepmenaker 349/2019. Semua ini tentunya guna menjunjung tinggi asas keadilan dan kepastian hukum.

Khusus mengenai Perppu Cipta Kerja, agar DPR menolak Perppu Cipta Kerja dikarenakan tidak tepatnya digunakan alasan kegentingan memaksa dalam menerbitkan Perppu dikorelasikan dengan Putusan MK 91/2020. Mengutip teori Roscoe Pound bahwasanya kepentingan-kepentingan sosial merupakan suatu usaha eksplisit dalam mengembangkan model hukum yang responsif. Sehingga hukum yang baik seyogianya berkompeten dan juga adil secara substantif dengan mengenali keinginan publik (dalam hal ini rakyat Indonesia).

*) Erri Tjakradirana, S.H., Advokat dan Praktisi Hukum Ketenagakerjaan.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait