Mengapa "Pengaturan Alih Daya" Menjadi Harus Di-Perppu-kan?
Kolom

Mengapa "Pengaturan Alih Daya" Menjadi Harus Di-Perppu-kan?

Tidak tepat jika digunakan alasan kegentingan memaksa dalam menerbitkan Perppu Cipta Kerja dikorelasikan dengan Putusan MK 91/2020.

Bacaan 5 Menit

Secara garis besar UU Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP 35/2021) melakukan perubahan yang cukup signifikan tentang pengaturan alih daya yang sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan dan Permenaker 19/2012 sebagaimana beberapa kali diubah terakhir dengan Permenaker 11/2019 (“Permenaker Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain” dan telah dicabut dengan Permenaker 23/2021).

Perubahan-perubahan tersebut antara lain sebagai berikut, pada UU Ketenagakerjaan penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain dilakukan melalui dua jenis alih daya, yaitu pemborongan pekerjaan (“business process outsourcing”) dan penyediaan jasa pekerja (“manpower outsourcing”). Sementara di dalam UU Cipta Kerja kedua jenis tersebut dihapus dan hanya diistilahkan dengan alih daya (“outsourcing”) saja.

Segala risiko atas pelindungan pekerja, upah dan kesejahteraan serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan outsourcing. Tidak lagi ada resiko beralihnya tanggung jawab ke perusahaan pemberi kerja (user) bilamana terjadi pelanggaran hukum dalam pelaksanaan outsourcing.

Ketentuan mengenai Transfer Undertaking Protection of Employment sebagaimana diatur dalam Permenaker Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain, sebagai pelaksanaan teknis dari Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PPU-IX/2011 tertanggal 17 Januari 2012, terkait Pasal 66 ayat (2) UU 13/2003 mengenai jaminan kelangsungan bekerja dengan terpenuhinya hak pekerja outsourcing yang dikontrak melalui Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“PKWT”) bilamana terjadi penggantian perusahaan outsourcing dan obyek pekerjaannya masih ada, diperkuat dalam UU Cipta Kerja ini

Tidak dibatasinya jenis pekerjaan yang di-outsource-kan dalam UU Cipta Kerja. Sebelumnya dalam UU Ketenagakerjaan pembatasan kegiatan yang boleh di-outsource-kan bagi perusahaan manpower outsourcing, hanya sebatas non-core business seperti kegiatan usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja (catering), usaha tenaga pengamanan (security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan bagi pekerja.

Sebenarnya apa yang menjadi permasalahan dengan ketentuan outsourcing yang diatur di dalam UU Cipta Kerja sehingga mendorong pemerintah untuk mengeluarkan Perppu Cipta Kerja tersebut? Berdasarkan pengalaman dan pengamatan dunia ketenagakerjaan pasca berlakunya UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya, dorongan untuk perubahan yang mendesak tidak hanya terkait outsourcing dan upah minimum saja, namun sistem ketenagakerjaan secara keseluruhan membutuhkan penanganan yang lebih struktural dan sistematis sehingga tidak terkesan tambal sulam saja. 

Dalam praktiknya banyak ditemukan pelanggaran dalam pelaksanaan outsourcing, sehingga menjadi momok bagi pekerja outsourcing. Diantaranya adalah terkait pembayaran upah, pemotongan upah terkait biaya manajemen (management fee), tidak didaftarkannya para pekerja outsourcing dalam program BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, tidak diikutsertakan dalam pelatihan peningkatan kompetensi, kontrak secara terus menerus dan bila selesai masa kontrak tidak diangkat menjadi pekerja permanen, namun dipindahkan ke perusahaan sejenis (terkadang masih merupakan satu grup dengan perusahaan sebelumnya) dan berbagai permasalahan lainnya.

Tags:

Berita Terkait