Mengapa "Pengaturan Alih Daya" Menjadi Harus Di-Perppu-kan?
Kolom

Mengapa "Pengaturan Alih Daya" Menjadi Harus Di-Perppu-kan?

Tidak tepat jika digunakan alasan kegentingan memaksa dalam menerbitkan Perppu Cipta Kerja dikorelasikan dengan Putusan MK 91/2020.

Bacaan 5 Menit
Erri Tjakradirana. Foto: Istimewa
Erri Tjakradirana. Foto: Istimewa

Di penghujung tahun 2022, pemerintah secara tiba-tiba menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja). Alasannya terbitnya Perppu Cipta Kerja tersebut lantaran adanya kebutuhan mendesak dalam mengantisipasi kondisi global, baik yang terkait ekonomi maupun geopolitik.

Sebagaimana diketahui setahun yang lalu, pada tanggal 25 November 2021, Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya No. 91/PUU-XVIII/2020 (Putusan MK 91/2020) menyebutkan, pertama, menyatakan pembentukan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan ini diucapkan”.

Kedua, menyatakan UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini. Ketiga, memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen.

Baca juga:

Keempat, menyatakan apabila dalam tenggang waktu dua tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan UU Cipta Kerja, maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali. Kelima, menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.

Bila mengacu kepada Putusan MK 91/2020 tersebut, sebenarnya semua ketentuan di dalam UU Cipta Kerja masih berlaku dalam jangka waktu yang diberikan. Dengan hadirnya Perppu Cipta Kerja tersebut, maka sangat wajar bila timbul pertanyaan bagaimana pengaturan dari hal-hal yang tertuang di dalam Perppu Cipta Kerja tersebut yang dianggap mendesak?

Salah satu perubahan dalam Perppu Cipta Kerja ini adalah mengenai pengaturan alih daya. Tulisan ini akan menyampaikan sekelumit mengenai pengaturan alih daya di dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) kemudian di dalam UU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan, serta bagaimana konsekuensi hukumnya setelah terbitnya Perppu Cipta Kerja.

Secara garis besar UU Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP 35/2021) melakukan perubahan yang cukup signifikan tentang pengaturan alih daya yang sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan dan Permenaker 19/2012 sebagaimana beberapa kali diubah terakhir dengan Permenaker 11/2019 (“Permenaker Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain” dan telah dicabut dengan Permenaker 23/2021).

Perubahan-perubahan tersebut antara lain sebagai berikut, pada UU Ketenagakerjaan penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain dilakukan melalui dua jenis alih daya, yaitu pemborongan pekerjaan (“business process outsourcing”) dan penyediaan jasa pekerja (“manpower outsourcing”). Sementara di dalam UU Cipta Kerja kedua jenis tersebut dihapus dan hanya diistilahkan dengan alih daya (“outsourcing”) saja.

Segala risiko atas pelindungan pekerja, upah dan kesejahteraan serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan outsourcing. Tidak lagi ada resiko beralihnya tanggung jawab ke perusahaan pemberi kerja (user) bilamana terjadi pelanggaran hukum dalam pelaksanaan outsourcing.

Ketentuan mengenai Transfer Undertaking Protection of Employment sebagaimana diatur dalam Permenaker Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain, sebagai pelaksanaan teknis dari Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PPU-IX/2011 tertanggal 17 Januari 2012, terkait Pasal 66 ayat (2) UU 13/2003 mengenai jaminan kelangsungan bekerja dengan terpenuhinya hak pekerja outsourcing yang dikontrak melalui Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“PKWT”) bilamana terjadi penggantian perusahaan outsourcing dan obyek pekerjaannya masih ada, diperkuat dalam UU Cipta Kerja ini

Tidak dibatasinya jenis pekerjaan yang di-outsource-kan dalam UU Cipta Kerja. Sebelumnya dalam UU Ketenagakerjaan pembatasan kegiatan yang boleh di-outsource-kan bagi perusahaan manpower outsourcing, hanya sebatas non-core business seperti kegiatan usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja (catering), usaha tenaga pengamanan (security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan bagi pekerja.

Sebenarnya apa yang menjadi permasalahan dengan ketentuan outsourcing yang diatur di dalam UU Cipta Kerja sehingga mendorong pemerintah untuk mengeluarkan Perppu Cipta Kerja tersebut? Berdasarkan pengalaman dan pengamatan dunia ketenagakerjaan pasca berlakunya UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya, dorongan untuk perubahan yang mendesak tidak hanya terkait outsourcing dan upah minimum saja, namun sistem ketenagakerjaan secara keseluruhan membutuhkan penanganan yang lebih struktural dan sistematis sehingga tidak terkesan tambal sulam saja. 

Dalam praktiknya banyak ditemukan pelanggaran dalam pelaksanaan outsourcing, sehingga menjadi momok bagi pekerja outsourcing. Diantaranya adalah terkait pembayaran upah, pemotongan upah terkait biaya manajemen (management fee), tidak didaftarkannya para pekerja outsourcing dalam program BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, tidak diikutsertakan dalam pelatihan peningkatan kompetensi, kontrak secara terus menerus dan bila selesai masa kontrak tidak diangkat menjadi pekerja permanen, namun dipindahkan ke perusahaan sejenis (terkadang masih merupakan satu grup dengan perusahaan sebelumnya) dan berbagai permasalahan lainnya.

Berikut adalah ketentuan yang sepatutnya tercakup di dalam perbaikan UU Cipta Kerja ataupun peraturan-peraturan pelaksana yang akan dibuat oleh pembuat peraturan: 

  1. Pembuat kebijakan luput mengatur sanksi jika ketentuan dalam PP 35/2021 dilanggar atau tidak dipatuhi oleh perusahaan outsourcing, sedangkan hal tersebut merupakan amanah dari UU Cipta Kerja.
  2. Selain hal tersebut juga mengenai hidupnya kembali ketentuan pemutusan hubungan kerja (“PHK”) mengenai kesalahan berat yang berganti kostum menjadi pelanggaran bersifat mendesak dalam PP 35/2021. Hal ini menurut Penulis merupakan pembangkangan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi. 
  3. Permasalahan yang lain diantaranya adalah terkait mekanisme PHK dengan didahului surat pemberitahuan PHK, bahkan bisa tidak diberikan surat pemberitahuan PHK bilamana pekerja melakukan pelanggaran bersifat mendesak. Senyatanya pemberitahuan PHK ini telah menghilangkan ketentuan yang mewajibkan dilakukan perundingan sebelumnya sebagaimana diatur dalam eks Pasal 151 ayat (2) UU Ketenagakerjaan. Belum lagi permasalahan PHK lainnya, yang banyak sekali alasan PHK yang dapat dengan mudah dilakukan oleh Pengusaha terhadap para pekerjanya, serta besaran pesangon yang semakin kecil dibandingkan dengan UU Ketenagakerjaan.
  4. Belum dicabutnya Keputusan Menteri Ketenagakerjaan No. 349 Tahun 2019 tentang Jabatan Tertentu yang Dilarang Diduduki oleh Tenaga Kerja Asing (“Kepmenaker 349/2019”). Sedangkan ketentuan dalam Kepmenaker 349/2019 ini bersandar pada eks Pasal 46 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, hal mana ketentuan tersebut telah dihapus dalam UU Cipta Kerja. 

Pemerintah pun telah memberikan respons bahwa pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan outsourcing akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sementara, untuk saat ini Peraturan Pemerintah yang berlaku tentang outsourcing termaktub di dalam PP 35/2021. Seyogianya bilapun Pemerintah akan merevisi PP 35/2021, rekomendasi Penulis di atas agar dapat dipertimbangkan, khususnya mengenai outsourcing dan PHK. Sedangkan mengenai TKA, agar dibuatkan revisi terkait Kepmenaker 349/2019. Semua ini tentunya guna menjunjung tinggi asas keadilan dan kepastian hukum.

Khusus mengenai Perppu Cipta Kerja, agar DPR menolak Perppu Cipta Kerja dikarenakan tidak tepatnya digunakan alasan kegentingan memaksa dalam menerbitkan Perppu dikorelasikan dengan Putusan MK 91/2020. Mengutip teori Roscoe Pound bahwasanya kepentingan-kepentingan sosial merupakan suatu usaha eksplisit dalam mengembangkan model hukum yang responsif. Sehingga hukum yang baik seyogianya berkompeten dan juga adil secara substantif dengan mengenali keinginan publik (dalam hal ini rakyat Indonesia).

*) Erri Tjakradirana, S.H., Advokat dan Praktisi Hukum Ketenagakerjaan.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait