Setelah pandemi Covid-19 berakhir situasi global masih dibayangi ketidakpastian. Merosotnya demokrasi di berbagai negara termasuk Indonesia, konflik antar negara yang berujung perang seperti Rusia-Ukraina dan Palestina (Hamas)-Israel, mewarnai pemberitaan di media baik lokal dan internasional.
Perkembangan itu patut dicermati pegiat hukum, khususnya yang mendalami hukum humaniter internasional atau hukum perang. Oleh karena itu Fakultas Hukum (FH) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) mengundang Hukumonline sebagai dosen tamu (guest lecturer) guna memaparkan materi tentang hukum humaniter atau hukum perang kepada civitas akademika FH UMS.
Deputi Redaktur Hukumonline, Norman Edwin Elnizar, sebagai dosen tamu menyampaikan materi bertema ‘Politik Global dan Hukum Humaniter Internasional’. Dia menjelaskan beberapa hal mengenai prinsip hukum humaniter internasional. Antara lain mengenai 2 konsep. Pertama, Jus ad Bellum. Yakni hukum tentang konflik bersenjata/perang yang mengatur bagaimana suatu negara dibenarkan menggunakan kekerasan senjata. Misalnya ada keharusan (necessity) dan pembelaan diri (self defence).
Kedua, Jus in Bello. Yakni hukum yang berlaku di tengah perang, baik itu mengatur cara perang dilakukan (coduct of war) dan mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi korban perang. Komite internasional palang merah menyebut konsep yang terakhir ini dimaksud sebagai hukum humaniter internasional.
“Orientasi hukum humaniter internasional adalah memenuhi kepentingan militer sekaligus meminimalkan penderitaan korban dalam konflik bersenjata,” ujarnya saat menjadi dosen tamu di FH UMS, Kamis (16/11/2023).
Baca juga:
- Objek yang Tidak Boleh Diserang dalam Perang Berdasarkan Hukum Humaniter Internasional
- Posisi Indonesia dalam Polemik Palestina-Israel
Edwin menjelaskan, hukum humaniter internasional berlaku pada kondisi berlangsungnya konflik bersenjata/perang. Sumber hukum humaniter internasional antara lain konvensi Jenewa 1949 dan protokol tambahan tahun 1977. Termasuk kategori ‘protected persons’, seperti masyarakat sipil yang berada dalam wilayah yang dikuasai musuh, tenaga medis dan agamawan, pengungsi, perempuan, dan anak-anak serta lainnya.