Mengenal Flight Information Region: Permasalahan Tiga Dimensi
Kolom

Mengenal Flight Information Region: Permasalahan Tiga Dimensi

Perjanjian FIR tahun 2022 yang telah ditandatangani tersebut sebenarnya telah menjadi bukti bahwa Indonesia tetap berdaulat pada wilayah udaranya sendiri.

Bacaan 5 Menit

Ruang udara di sekitar Kepulauan Natuna menjadi ruang udara kedaulatan sejak berlakunya UNCLOS 1982, yang mengatur pada Pasal 49 bahwa kedaulatan negara kepulauan mencakup hingga ke ruang udara di atas perairan kepulauan. Pengelolaan ruang udara pada wilayah tersebut juga telah dilakukan oleh Singapura berdasarkan hasil RAN Meeting pada tahun 1948.

Perjanjian yang baru saja ditandatangani Indonesia bukanlah perjanjian pertama yang ditandatangani oleh Indonesia. Pada tahun 1995, Indonesia dan Singapura telah menandatangani perjanjian yang tidak hanya memperjelas batas–batas ruang udara Indonesia yang pengelolaan dilakukan pada FIR Singapura, tetapi juga mendelegasikan ruang udara tersebut untuk dikelola oleh Singapura. Perjanjian tersebut kemudian dibawa dan ditolak oleh ICAO pada RAN Meeting yang dilakukan setelahnya.

Pemahaman perjanjian penyesuaian garis batas FIR antara FIR Jakarta dengan FIR Singapura harus dipandang dari tiga dimensi. Dari Dimensi Geografis, perjanjian yang ditandatangani tahun 2022, Indonesia akan mengelola 29% Ruang Udara pada wilayah FIR Singapura, yakni ruang udara yang masuk ke dalam kedaulatan Indonesia, dan Singapura akan tetap mengelola FIR Singapura pada ketinggian 0 hingga 37.000 kaki, dan pada radius 90 nm yang mencakupi wilayah udara di sekitar Singapura.

Hal ini berarti, bahwa wilayah yang dikategorikan sebagai FIR Singapura akan terbelah menjadi Ruang Udara Singapura hingga ketinggian 37.000 kaki, dan Ruang Udara di atas Laut Cina Selatan. Pembagian seperti ini bertentangan dengan kaidah pembagian FIR yang disusun dalam Annex 11 Konvensi Chicago 1944, karena memotong satu Flight Information Region menjadi dua region tidak bersambung yang dikelola oleh satu ATC. Pemotongan ini berpotensi tidak disetujui dalam mekanisme RAN Meeting ICAO sebagai otoritas yang dapat memutus pembagian dan batas – batas Flight Information Region.

Dari Dimensi Hukum, terdapat dua pendapat berbeda dalam memahami hal ini. Bagi masyarakat yang memandang persoalan pengelolaan FIR oleh Singapura adalah persoalan kedaulatan, perjanjian ini tidak menjawab permasalahan yang terjadi, bahwa Indonesia sebagai negara berdaulat, belum mengelola ruang udaranya secara eksklusif pada ruang udara di atas Riau dan Kepulauan Riau.

Eksklusivitas tersebut adalah kekhususan yang telah diatur pada Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 dan berdasarkan Pasal 28, negara wajib mengelola navigasi di wilayah udaranya. Pengelolaan ketinggian 0–37.000 kaki pada radius 90 nm tersebut dapat dianggap sebagai derogasi kedaulatan Indonesia oleh Singapura, bahkan mungkin oleh International Civil Aviation Organization.

Di sisi lain, pendelegasian pengelolaan ruang udara Indonesia pada ketinggian 0–37.000 kaki melalui perjanjian tahun 2022 ini justru merupakan bentuk pelaksanaan kedaulatan Indonesia pada ruang udara tersebut. Interpretasi Pasal 28 Konvensi Chicago 1944 yang dilakukan oleh ICAO melalui Annex 11 Konvensi Chicago telah menjelaskan bahwa, negara dapat mendelegasikan pengelolaan sebagian atau seluruh ruang udaranya, dan pendelegasian tersebut tidak mengurangi atau menderogasi kedaulatan negara di ruang udara.

Tags:

Berita Terkait