Pandangan Dua Guru Besar Hukum Internasional soal Perjanjian FIR
Terbaru

Pandangan Dua Guru Besar Hukum Internasional soal Perjanjian FIR

Tak ada keuntungan bagi Indonesia dari perjanjian tersebut. Kecerdikan Singapura mampu mengecoh negosiator Indonesia.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit
Indonesia-Singapura menandatangani sejumlah perjanjian, salah satunya perjanjian ekstradisi disaksikan Presiden Indonesia dan Perdana Menteri Singapura, Selasa (25/1/2022). Foto: Setpres
Indonesia-Singapura menandatangani sejumlah perjanjian, salah satunya perjanjian ekstradisi disaksikan Presiden Indonesia dan Perdana Menteri Singapura, Selasa (25/1/2022). Foto: Setpres

Perjanjian penyesuaian ruang kendali atau Flight Information Region (FIR) antara pemerintah Singapura dan Indonesia yang belum lama ini diteken menimbulkan polemik di ruang publik. Salah satunya soal Indonesia masih tetap mendelegasikan pengelolaan FIR kepada negara Singapura atas ruang udara di wilayah Kepulauan Riau pada ketinggian 0–37 ribu kaki. Padahal, Indonesia tak memperoleh keuntungan dari perjanjian tersebut.

Hakikatnya tidak ada keuntungan apapun untuk Indonesia,” ujar Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Prof Atip Latipulhayat kepada Hukumonline, Selasa (1/2/2022).

Dia melihat alasan Indonesia menyerahkan pengelolaan FIR 0-37 ribu kaki karena secara teknis dan geografis bakal lebih menjamin keselamatan bila dikelola Singapura. Sedangkan Indonesia hanya mengelola FIR di kawasan Natuna untuk ketinggian di atas 37.000 kaki. Padahal di wilayah Natuna nyaris tak ada aktivitas penerbangan sipil.

Menurut Prof Atip, dengan mendelegasikan ke Singapura dalam kurun waktu 25 tahun, bahkan dapat diperpanjang untuk ketinggian 0-37 ribu kaki, Indonesia hanya mendapat harapan kosong., tak ada keuntungan (ekonomi) yang didapat Indonesia. Padahal, di ranah 0-37 ribu kaki itulah kepentingan Indonesia dalam mengelola ruang udaranya yang selama ini dikelola Singapura hampir selama 50 tahun.

Padahal, upaya serius Indonesia mengambil alih FIR Singapura sedianya sudah dilakukan sejak 2009 dengan menetapkan UU No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. UU Penerbangan mengamanatkan agar pemerintah mengelola ruang udara yang menjadi kedaulatannya termasuk yang selama ini didelegasikan kepada negara lain. Menurutnya, selama ini Indonesia tidak mendelegasikan pengelolaan ruang udaranya, kecuali kepada Singapura.

“Jadi yang dimaksud adalah mengambil alih FIR Singapura. Sangat jelas sekali perintahnya adalah mengambil alih, bukan memperpanjang pendelegasian.”

(Baca Juga: (Perjanjian FIR dengan Singapura Dinilai Langgar UU Penerbangan)

Dia mengingatkan perintah Pasal 458 UU 1/2009 paling lambat tahun 2024 FIR Singapura harus sudah sepenuhnya dikelola oleh Indonesia. Faktanya, melalui perjanjian FIR dengan Singapura malah memperpanjang pengelolaan FIR hingga 25 tahun ke depan. “Boleh dibilang, keputusan memperpanjang sampai 25 tahun ‘menabrak’ atau melanggar amanat UU Penerbangan,” tegasnya.

Tags:

Berita Terkait