Menghadapi Buah Simalakama Perppu KPK: Sebaiknya Presiden Berbuat Apa?
Kolom

Menghadapi Buah Simalakama Perppu KPK: Sebaiknya Presiden Berbuat Apa?

Sebaiknya Presiden memerintahkan agar Perubahan UU KPK yang sudah disahkan dibahas secara akademis dan terbuka untuk umum.

Bacaan 2 Menit

 

UUD tidak memberikan definisi atau kriteria tentang kegentingan memaksa. Demikian juga UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan. (UU ini juga sudah diubah dan perubahannya telah disahkan oleh DPR.) Berbeda dengan para tokoh di atas, sejumlah pihak tidak melihat ihwal kegentingan memaksa. Syarat konstitusional dan syarat yusidial untuk terbitnya Perppu dianggap tidak/belum ada. Oleh karena itu, apakah yang menjadi ihwal kegentingan memaksa menuntut kearifan Presiden untuk menentukannya. Oleh karena itu, saat ini sampai dengan hari-hari mendatang Presiden akan sendirian menghadapi tudingan aktivis anti-korupsi yang vokal menuntut terbitnya Perppu.

 

Setelah Perppu terbit, apa yang akan terjadi kemudian? Perppu yang diterbitkan sendiri oleh Presiden akan dibahas pada sidang perdana DPR periode 2019-2024. Demikian diatur oleh pasal 22:2 UUD NRI Tahun 1945. DPR harus membahas Perppu sebagai suatu rancangan undang-undang karena Presiden tidak memiliki kekuasaan membentuk undang-undang. Jika DPR setuju dengan isi Perppu, maka Perppu akan ditetapkan menjadi undang-undang. Jika DPR tidak setuju dengan isi Perppu, maka Presiden harus mencabut Perppu.

 

Perppu Belum Tentu Menyelesaikan Masalah

Dari penjelasan singkat ini, maka dapat kita tarik beberapa kesimpulan. Pertama, Perppu adalah suatu produk hukum yang bersifat sementara. Kedua, Presiden dalam sistem ketatanegaraan dan hukum yang ada tidak akan mungkin memuaskan tuntutan para penolak Perubahan UU KPK, karena ia membutuhkan kerja sama penuh dari DPR. Ketiga, Perppu bisa menjadi suatu bunuh-diri politik Presiden, jika DPR menolak Perppu. Keempat, Presiden bisa terus mendapatkan bully politik, jika tidak mengeluarkan Perppu.

 

Quo vadis?

Lalu sebaiknya apa yang Presiden lakukan? Pendukung Perubahan UU KPK menekankan perlunya pengawasan terhadap KPK. Penolak Perubahan UU KPK menekankan perlu tetap terjaganya independensi KPK. Untuk membuktikan argumentasi siapa yang benar dalam semangat pemberantasan korupsi sebaiknya Presiden memerintahkan agar Perubahan UU KPK yang sudah disahkan dibahas secara akademis dan terbuka untuk umum.

 

Perintahkan pihak universitas untuk menjadi penyelenggaran pengupasan Perubahan UU KPK. Berikan kesempatan yang sama kepada kubu pro dan kontra untuk menyiapkan argumentasi masing-masing. Secara transparan publik dapat menilai argumentasi siapakah yang benar dan valid. Jika ada pihak yang menggerutu setelah pembahasan tersebut, maka publik pun dapat menilai bobot dari protes tersebut.

 

Pasca pembahasan, Presiden bisa memutuskan: Apakah Perppu diperlukan atau tidak? Jika Perppu harus diterbitkan, Presiden mempunyai panduan untuk subtansi Perppu yang suai-tuju dengan usaha pemberantasan korupsi. Jika DPR kemudian menolak Perppu di persidangan berikutnya, Presiden mempunyai justifikasi ilmiah dan populis yang bernilai secara politik dan yuridis.

 

Menjunjung Cita Negara Hukum

Meski peraturan disusun dengan keterlibatan publik, bukan berarti desakan publik selalu benar. Mengubah suatu undang-undang karena desakan publik dapat menjadi suatu preseden buruk. Hal tersebut hanya akan memperbaiki suatu keadaan, tetapi merusak sistem secara keseluruhan. Supremasi hukum menuntut kecermatan berpikir, kerarifan memimpin, dan kesamaan derajat semua pihak di depan hukum. Presiden harus cermat bertindak dalam sistem yang ada, dan menjunjung tinggi cita negara hukum.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait