Mengingat Kembali Ceramah Mr. Roeslan Saleh tentang Pidana Mati
Berita

Mengingat Kembali Ceramah Mr. Roeslan Saleh tentang Pidana Mati

“Bagi kita, pidana penjara seumur hidup dan lain-lainnya pidana yang merupakan perampasan dan pembatasan atas kemerdekaan dan harta kekayaan seseorang sajalah yang dapat dipandang sebagai pidana”.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pidana mati. Ilustrator: HGW
Ilustrasi pidana mati. Ilustrator: HGW

Ceramah Profesor Muladi mengenai pidana mati dan pidana mati bersyarat di depan peserta Silaturrahmi Nasional ke-2 Ikatan Alumni Program Doktor Hukum Universitas Diponegoro, pertengahan Oktober lalu, mendapat respon yang luar biasa. Meskipun dilakukan secara daring, ceramah Guru Besar Hukum Pidana itu diikuti ratusan peserta hingga waktu berakhir.

Muladi, Rektor Universitas Diponegoro 1994-1998, menyampaikan ius constituendum pidana mati, yang ia sebut sebagai ‘Indonesian way’, sebuah jalan tengah di antara dua pandangan yang saling bertolak belakang terhadap pidana mati. Sebagai jalan tengah, terpidana mati berhak memperbaiki dirinya selama 10 tahun. Jika dalam jangka waktu itu terpidana dinilai ‘berubah’, hukumannya dapat berubah menjadi pidana seumur hidup. Presiden menetapkan perubahan pidana itu setelah mendengar masukan dan hasil penilaian lembaga terkait.

(Baca juga: Jalan Tengah Hukuman Mati ala Profesor Muladi).

Pidana mati telah memantik diskursus tak berkesudahan antara kelompok abolisionist dan retensionist. Di Indonesia, bukan hanya Prof. Muladi yang menaruh perhatian pada isu masalah pidana mati. Sekitar enam puluh satu tahun lalu sebelum, Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Mr. Roeslan Saleh, memberikan ceramah khusus “Mas’alah Pidana Mati” pada 7 September 1958. Mengingat pentingnya isi ceramah itu, Islam Study Club (ISC) mendokumentasikan dan menerbitkannya tiga bulan kemudian.

Mr. Ruslan Saleh tercatat sebagai Wakil Ketua Badan Koordinasi ISC. Guru Besar UGM Yogyakarta ini melahirkan banyak karya dalam bidang pidana. Misalnya, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana (1983), Dari Lembaran Kepustakaan Hukum Pidana (1988), Stelsel Pidana Indonesia; Beberapa Catatan Sekitar Perbuatan dan Kesalahan dalam Hukum Pidana; dan SIfat Melawan Hukum dari Perbuatan Pidana.

Bagaimana pandangan Mr Roeslan Saleh terhadap pidana mati? Kutipan pada bagian awal tulisan ini menunjukkan harapannya agar pidana mati ditiadakan. “Banyak alasan dapat dikemukakan kenapa kita tidak dapat menerima, bahkan menolak adanya pidana mati, baik sebagai ancaman maupun pelaksanaannya,” kata Roeslan Saleh dalam ceramahnya.

Mr. Roeslan Saleh menggunakan tiga sudut pandang untuk menopang pandangannya tentang hukum mati, yakni sudut pandang umum; sudut pandang hukuman mati dalam KUH Pidana, dan sudut pandang Pancasila dan UUD.

Pandangan Umum

Bagi kebanyakan negara, masalah pidana mati tidak lepas dari sejarah kultural masyarakatnya. Sebagian masyarakat negara telah menghapuskan hukuman mati dari perundang-undangannya. Mr. Roeslan Saleh menunjukkan bagaimana pidana mati menjadi pro kontra sejak zaman Beccaria. Pada 1864, Joseph von Sonnenfels, seorang guru besar di Austria, mulai menentang pidana mati karena menurut dia, hukuman mati itu bertentangan dengan tujuan pemidanaan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait