Mengintip Substansi RUU Hukum Perdata Internasional
Utama

Mengintip Substansi RUU Hukum Perdata Internasional

RUU ini nantinya akan mengatur subjek hukum orang pribadi dan subjek hukum badan.

Moch. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Pemerintah menargetkan pembahasan Rancangan Undang-Undang Hukum Perdata Internasional (RUU HPI) rampung di tahun 2022. Saat ini pemerintah tengah merampungkan Naskah Akademik RUU tersebut. RUU HPI sendiri sebenarnya pertama kali disusun pada tahun 1980 dengan Ketua Tim Penyusun waktu itu Prof. Sudargo Gautama.

Seiring pesatnya pertumbuhan aktifitas ekonomi antar negara seperti saat ini, kebutuhan terhadap RUU HPI dirasa semakin mendesak. Pemerintah mengakui keberadaan UU HPI salah satunya adalah untuk mendukung kebutuhan masyarakat terkait perkembangan praktek hukum pedata dan komersial yang borderless.

Selain itu, Direktur Otoritas Pusat dan Hukum Internasional Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM, Tudiono mengungkapkan RUU HPI juga dibutuhkan untuk mendukung usaha kreatif di pasar global akibat penggunaan media teknologi serta meningkatkan angka investasi asing.

“Meningkatkan angka investasi across borders di Indonesia karena adanya kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa,” ungak Tudiono dalam salah satu diskusi daring, beberapa waktu lalu. (Baca Juga: Pemerintah Target UU Hukum Perdata Internasional Rampung di 2022)

Selain isu lama seperti kepastian hukum terkait pilihan hukum (choice of law), pilihan yurisdiksi (choice of jurisdiction), dan pengakuan terhadap putusan pengadilan asing (recognition and enforcement of foreign legal judgments), masih banyak hal lain yang mungkin belum diketahui publik terkait substansi RUU HPI.

Tudiono menjelaskan ruang lingkup RUU HPI yang saat ini tengah disiapkan pemerintah. RUU ini nantinya akan mengatur subjek hukum orang pribadi dan subjek hukum badan. Untuk subjek hukum orang pribadi, RUU HPI akan mengatur hal-hal dari aspek dalam kandungan dan kelahiran; anak-anak, dewasa (kompetensi, hak, status dan kewenangan), perkawinan, dan meninggal.

Aspek orang pribadi dalam kandungan dan kelahiran nantinya akan mengatur terkait munculnya hak waris dalam kandungan, ayah ibu yang berbeda warga negara, serta dual kewarganegaraan. Sementara terkait anak, hal yang akan diatur dalam HPI berkaitan dengan ketentuan adopsi anak, berhak atas harta kekayaan meski melalui wali, serta ketentuan terkait mengadakan perikatan/perjanjian melalui wali.

Sementara untuk dewasa, RUU HPI akan mengatur ketentuan terkait pemilihan kewarganegaraan, syarat kedewasaan dengan memperhatikan UU Imigrasi, UU Perkawinan, UUPA, serta KUH Perdata. Juga akan mengatur mengetai harta kekayaan di luar negeri, perikatan/perjanjian dengan warga negara asing, serta kepailitan.

Salah satu yang juga penting dari RUU HPI adalah ketentuan mengenai perkawinan. RUU HPI akan mengatur ketentuan terkait hak dan kewajiban suami istri, hak dan kewajiban orang tua dan anak, kewenangan memiliki aset (lex resite kah atau statuta personal), perceraian, harta gono gini, serta contoh perjanjian perkawinan ataupun penetapan pemisahan harta.

Sementara terkait kematian dalam RUU HPI akan mengatur terkait wasiat, warisan, harta di luar negeri, keturunan merupakan warga negara asing, serta hak pewarisan bagi anak yang diakui/ anak sah.

Subjek Hukum Badan

Tudiono menjelaskan terkait subjek hukum badan dalam RUU HPI nantinya akan diatur mulai dari pendirian, operasional, kepailitanm hingga likuidasi. Dalam pendirian subjek hukum badan, aspek-aspeknya antara lain mengenai badan usaha non badan hukum, badan hukum, maupun kepemilikan saham campuran (PMA/nominee asing).

Terkait operasional badan hukum, RUU HPI akan mengatur terkait perijinan dalam maupun luar negeri, pembukaan cabang dalam maupun luar negeri, perikatan/perjanjian dengan warga negara asing atau badan asing (kerjasama, investasi, aset, merger, akuisisi, konsolidasi), kewenangan/relasi antar organ yang memiliki elemen asing, kewenangan organ ketika berhadapan denngan pihak ke-3, pengadilan dan atau forum yang berwenang.

Sementara terkait kepailitan, hal-hal yang akan diatur oleh RUU HPI adalah mengenai cross border insolvensi, aset di luar negeri, aset badan asing di dalam negeri, piutang di luar negeri atau piutang asing, tenaga kerja asing atau tenaga kerja di negara lain, serta perpajakan.

Untuk likuidasi, hal-hal yang akan diatur dalam RUU HPI adalah terkait pemberesan aset luar negeri, pemberesan aset badan asing di dalam negeri, tenaga kerja asing atau tenaga kerja di negara lain, perpajakan, pembubaran dan bagaimana efkenya jika ada cabang di luar negeri, dan daluarsa.

Tudiono mengungkapkan, saat ini terdapat sejumlah Undang-Undang sektoral yang pemberlakuannya tidak efektif akibat ketiadaan RUU HPI. Ia menyebutkan contoh pasal 18 UU ITE jo PP No.80 Tahun 2019 yang mengatur kewenangan para pihak memilih hukum yang berlaku dan forum penyelesaian sengketa bagi e-commerce  internasional yang dibuatnya.

“Hukum dan asas HPI mana yang akan digunakan? Bagaimana pasal tersebut bisa ekektif tanpa adanya UU HPI?,” ungkap Tudiono.

Selain itu, dalam UU Ketenagakerjaan dan UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia mengatur tenaga kerja asing merupakan WNA yang bekerja di wilayah Indonesia. Namun menurut Tudiono, apabila ada sengketa terkait hubungan kerja antara pemberi kerja dengna penerima kerja yang bersifat transnasional, belum diatur terkait pilihan hukum dan forum penyelesaian sengketa.

Begitu juga dalam hal sengketa pailit dan persaingan usaha yang bersifat transnasional. Putusan pengadilan Indonesia tidak dapat berlaku di negara lain atau sebaliknya karena tidak dapat diterapkan adanya asas recognition and enforcement foreign judgment. Terkait ini, dengan alasan kepastian hukum para pelaku seringkali lebih memilih penyelesaian sengketa dengan jalan arbirase.

“Apakah arbitrase menguntungkan untuk usaha mikro kecil dan menengah? Lalu bagaimana dengan usaha kecil/keluarga yang berada di perbatasan, apakah arbitrase menjadi pilihan favorit?” ungkap Tudiono.

Peneliti senior Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Muhammad faiz Aziz mengatakan terdapat potensi masalah hukum dan masalah penyelesaian bagi masyarakat ekonomi di wilayah perbatasan. Aziz menggambarkan permasalah tersebut antara lain terkait hutang piutang, wanprestasi pembayaran, PMH akibat penipuan perdagangan, wanprestasi barangm serta upah.

Masalah penyelesaiannya antara lain, menurut aziz, misalnya minim sarana pengadilan, akses yang tidak mudah, jarak tempuh yang jaug, serta counterpart yang beda warga negara.

Aziz menilai, khusus terkait perdagangan di daerah perbatasan, ketentuan RUU HPI masuk dalam bab mengenai perikatan. Di sana nantinya terdapat sejumlah ketentuan mengenai perjanjian, pemberian kuasa, perbuatan melawan hukum, pengelolaan urusan orang lain tanpa kuasa (negotiourm gestio), pengayaan diri secara tidak wajar, serta kegiatan negosiasi dan tanggung jawab pra kontraktual.  

Tags:

Berita Terkait