Mengulas Intisari Teori Hukum Pembangunan Prof Mochtar Kusumaatmadja
Utama

Mengulas Intisari Teori Hukum Pembangunan Prof Mochtar Kusumaatmadja

Inti dari teori hukum pembangunan ialah hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Prof Mochtar tidak kemudian menyarankan Indonesia untuk menjadi case law atau mengubah sistem menjadi common law. Tapi dalam teorinya, beliau hendak memandang bagaimana hukum tertulis bisa terus mengakselerasi pembangunan.

Ferinda K Fachri
Bacaan 4 Menit

Terkait dengan tujuan hukum biasanya di bangku perkuliahan Fakultas Hukum sering dikatakan bahwa hukum bertujuan untuk terciptanya kepastian dan keadilan. Dalam hal ini, Prof Mochtar mereduksi kesemuanya menjadi ketertiban. Dengan kata lain, ketertiban sebagai tujuan hukum telah mengandung nilai kepastian dan keadilan itu sendiri.

“Kemudian beliau tambahkan satu fungsi baru yaitu sebagai sarana pembaharu masyarakat. Dalam kuliah-kuliahnya, beliau selalu mengatakan, ‘yang saya maksud bukan alat, bukan tool of social engineering, tetapi sarana. Sebagai sesuatu yang bisa merekayasa publik, sehingga publik dapat bergerak ke arah yang lebih baik’.”

Ahmad menerangkan basis teori dari teori hukum pembangunan Prof Mochtar setidaknya dilandasi oleh 3 hal. Antara lain masyarakat pluralistik Indonesia, berbasis ideologi Pancasila, dan hukum sebagai pemberi arah pembaharuan masyarakat. Mochtar menekankan betul perlunya masyarakat yang diperbaharui itu.

Berkaitan dengan definisi dan unsur hukum, teori ini juga menyatakan dari definisi dan unsur hukum bahwa dari tulisan-tulisan Prof Mochtar yang telah dibaca dan dipelajari sekaligus berbagai perkuliahan yang diberikan selalu disampaikan hukum unsurnya ada asas, kaidah atau norma, lembaga, kemudian ada proses untuk melaksanakan kaidah-kaidah tersebut.

Dari adaptasi analitik yang telah dilakukan olehnya, dijumpai fakta bahwa negara-negara berbasis case law ternyata adaptif terhadap transformasi. Sebagai contoh ketika terdapat pihak-pihak yang hendak membuat sesuatu pada bidang teknologi digital, maka dapat langsung direalisasikan, kecuali jika memang pengadilan telah mengatakan hal tersebut tidak boleh dilakukan, barulah diberhentikan.

Berbeda dengan negara bersistem hukum tertulis rigid yang relatif hukumnya selalu tertinggal dari pergerakan dan transformasi yang cepat (seperti di Indonesia, red). Oleh karena itu, Prof Mochtar menginginkan agar ada pembaharuan-pembaharuan terjadi.

“Apakah teori-teori yang beliau kembangkan masih relevan sampai saat ini? Saya harus jawab, sangat relevan. Pertama bahwa teori hukum pembangunan itu intinya hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat dan di kita itu titik tolaknya memang pada hukum tertulis. Beliau juga tidak menyarankan kita untuk menjadi case law dan menjadi seperti common law, tidak. Tapi bagaimana hukum tertulis ini bisa terus mengakselerasi pembangunan,” ungkapnya.

Dia menilai masih relevannya teori hukum pembangunan Prof Mochtar disebabkan oleh kondisi dunia yang sekarang berada pada masa transformasi masif yang tidak lagi sekedar industri 4.0, melainkan sudah berada pada industri 5.0. Hal itu sejalan dengan deklarasi yang marak dilakukan Uni Eropa dan sejumlah negara besar, seperti Amerika Serikat dan Jepang per akhir 2020 yang menyatakan bahwa dunia sudah berada di revolusi industry ke-5.

“Kalau di 4 kita berpikir seolah-olah semua pekerjaan bisa digantikan oleh robot dan mesin, justru pada industry 5.0 itu kita akan meneruskan semua teknologi yang ada, malah mengembangkannya. Tapi di sisi lain pendekatannya adalah human centred. Kita membutuhkan hukum progresif yang dinamis, pembaharuan masyarakat sebagai pendorong transformasi dan lain-lain. Oleh karena itu, kami di Pusat Studi Cyber Law Unpad membuat teori turunannya dari teori beliau yaitu hukum sebagai infrastruktur transformasi.”

Tags:

Berita Terkait