Meninjau Ulang Peran Amicus Curiae dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
Kolom

Meninjau Ulang Peran Amicus Curiae dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

Peradilan pidana di Indonesia menerima praktik Amicus Curiae. Namun, pengaturan formil mengenai Amicus Curiae masih sangat umum.

Bacaan 6 Menit
Irene Amadea Rembeth dan Mirza Marali. Foto: Istimewa
Irene Amadea Rembeth dan Mirza Marali. Foto: Istimewa

Amicus Curiae atau dalam Bahasa Indonesia dikenal sebagai “Sahabat Pengadilan”, merupakan praktik hukum oleh pihak ketiga di luar pihak berperkara untuk terlibat dalam peradilan. Berbeda dengan pihak intervensi, keterlibatan Amicus Curiae hanya sebatas memberikan pendapat yang nantinya digunakan oleh hakim sebagai salah satu pertimbangan dalam memutus perkara.

Pada awalnya Amicus Curiae berasal tradisi Hukum Romawi yang kemudian diadopsi dalam sistem hukum Common Law. Dalam perkembangannya, penggunaan Amicus Curiae juga banyak ditemukan di negara-negara dengan sistem hukum Civil Law seperti Indonesia. Secara umum, landasan hukum yang dikaitkan sebagai dasar penerimaan konsep Amicus Curiae di Indonesia adalah Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) yang menegaskan bahwa “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat“.

Ketentuan tersebut memberi hakim kewajiban untuk menggali dan memperluas sumber informasi terkait perkara yang sedang diperiksa dan akan diputus. Banyaknya informasi yang diperoleh hakim diharapkan akan mendukung hakim bisa berpikir lebih terbuka, adil, dan bijaksana dalam memutus perkara. Amicus Curiae menjadi salah satu sarana bagi hakim dalam memperoleh informasi terkait klarifikasi fakta atau prinsip-prinsip hukum, terutama jika kasus-kasus itu melibatkan berbagai peraturan perundang-undangan yang kontroversial dan perlu direformasi.

Baca juga:

Amicus Curiae bisa diajukan baik oleh individu maupun organisasi yang berkepentingan terhadap suatu perkara. Ada tiga kemungkinan kepentingan pihak Amicus Curiae terhadap perkara yang sedang diperiksa dan dipertimbangkan oleh hakim. Pertama, untuk kepentingannya sendiri atau kepentingan kelompok yang diwakilinya. Hal ini disebabkan putusan tersebut memengaruhi kepentingannya atau kelompok yang diwakilinya terlepas dari kepentingan para pihak yang berperkara. Pihak Amicus Curiae berusaha agar pengadilan tidak memutus hanya berdasarkan alasan-alasan yang dikemukakan para pihak yang berperkara. Kedua, untuk kepentingan salah satu pihak dalam perkara. Pihak Amicus Curiae membantu menguatkan argumennya agar pengadilan memiliki keyakinan “memenangkan” pihak tersebut atau mengabulkan permohonannya. Ketiga, untuk kepentingan umum. Sahabat pengadilan dalam hal ini memberikan keterangan mengatasnamakan kepentingan masyarakat luas yang akan menerima dampak dari putusan tersebut.

Pada umumnya pun terdapat tiga kategori bagi pihak yang berkepentingan dalam mengajukan Amicus Curiae yaitu mengajukan izin/permohonan untuk menjadi pihak yang berkepentingan dalam persidangan, memberikan pendapat atas permintaan hakim, atau memberikan informasi atau pendapat atas perkaranya sendiri.

Amicus Curiae dalam Peradilan Pidana di Indonesia

Dasar hukum penerimaan Amicus Curiae dapat dilihat pada Pasal 180 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan “Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat diminta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan”.

Tags:

Berita Terkait