Menkopolhukam: RUU KUHP Disahkan Jadi UU Akhir Tahun
Terbaru

Menkopolhukam: RUU KUHP Disahkan Jadi UU Akhir Tahun

RUU KUHP tinggal finalisasi yang sudah mengakomodasi banyak hal, mulai dari berbagai kepentingan, aliran, paham, situasi, budaya, dan lain sebagainya.

Ferinda K Fachri
Bacaan 5 Menit

Perbuatan dalam rumusan ini telah disesuaikan dengan perbuatan sebagaimana diatur dalam Kovenan Hak Sipil dan Politik, serta dipandang lebih jelas jika dibandingkan dengan kata “penodaan” pada rumusan pasal sebelumnya.

Kedelapan, Pasal 342 tentang penganiayaan hewan. Pemerintah telah menambahkan penjelasan Pasal 342 ayat (1) huruf a. Dengan demikian menjadi berbunyi “Yang dimaksud dengan ‘kemampuan kodrat’ adalah kemampuan hewan yang alamiah”. Kesembilan, Pasal 414-416 tentang alat pencegahan kehamilan dan pengguguran kandungan.

Dalam penjelasan, Pasal 414 tidak ditujukan bagi orang dewasa, melainkan untuk memberikan pelindungan kepada anak agar terbebas dari seks bebas. Pengecualian Pasal 414 bila dilakukan untuk program KB, pencegahan penyakit menular seksual, kepentingan pendidikan, dan untuk ilmu pengetahuan. Kemudian dilakukan untuk kepentingan pendidikan. Sementara rumusan Pasal 416 RKUHP sesuai dengan Pasal 28 UU No.52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga.

Kesepuluh, Pasal 431 tentang Penggelandangan. Pemerintah mengusulkan agar rumusan Pasal 431 tetap diatur dalam draf RKUHP. Tujuannya agar dapat menjaga ketertiban umum. Sanksi yang diberikan bukan pidana pemenjaraan, tapi sebatas pidana denda. Dimungkinkan pidana alternatif berupa pengawasan atau pidana kerja sosial. Alasan lainnya, akibat adanya putusan MK No.29/PUU-X/2012 yang menguatkan pengaturan penggelandangan dalam draf RKUHP.

Kesebelas, Pasal 469-471 tentang aborsi. Pemerintah mengusulkan penambahan 1 ayat baru yang menyebutkan, “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal perempuan merupakan korban perkosaan yang usia kehamilannya tidak melebihi 12 minggu atau memiliki indikasi kedaruratan medis”. Penambahan 1 ayat baru tersebut memberi pengecualian bagi pengguguran kandungan untuk perempuan apabila terdapat indikasi kedaruratan medis atau hamil karena korban perkosaan yang usia kehamilannya tidak lebih dari 12 minggu. Ketentuan dalam ayat baru tersebut merupakan ketentuan yang telah diatur dalam UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Kedua belas, Pasal 417 tentang Perzinahan. Tak ada satupun agama yang membolehkan perzinahan. Sebab, perzinahan menjadi kejahatan tanpa korban (victimless crime) yang secara individual tidak langsung melanggar hak orang lain, tapi melanggar nilai budaya dan agama yang berlaku dalam masyarakat. Pasal 417 bagi pemerintah bentuk penghormatan terhadap lembaga perkawinan. Rumusan pasal tersebut sebagai delik aduan yang hanya dapat diajukan oleh orang-orang yang paling terkena dampak. Seperti suami, istri, orang tua, atau anaknya.

Ketiga belas, Pasal 418 tentang kohabitasi (tinggal bersama tanpa ikatan perkawinan). Rumusan pasal tersebut merupakan delik aduan. Pengadunya hanya dapat diajukan orang-orang yang terdampak. Namun begitu, pemerintah mengusulkan menghapus ketentuan kepala desa yang dapat mengajukan aduan. Dengan begitu, aduan hanya dapat dilakukan suami/istri (bagi yang terikat perkawinan), atau orang tua atau anak (bagi yang tidak terikat perkawinan).

Keempat belas, Pasal 479 tentang perkosaan. Perkosaan dalam perkawinan (marital rape) ditambahkan dalam rumusan Pasal 479 agar konsisten dengan Pasal 53 UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Tapi kekerasan seksual berupa pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap istri atau suami bersifat delik aduan.

Tags:

Berita Terkait