Menunda Pemilu, Memaksa Konstitusi Tunduk pada Kepentingan Oligarki
Terbaru

Menunda Pemilu, Memaksa Konstitusi Tunduk pada Kepentingan Oligarki

Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely, yaitu kekuasaan yang cenderung korup, kekuasaan mutlak benar-benar merusak.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Upaya sekelompok elit partai mengsulkan penundaan pelaksanaan pemilihan umum pada Februari 2024 mendatang mengusik banyak kalangan. Tentangan terhadap ide penundaan tersebut tak hanya datang dari kalangan parlemen, tapi sejumlah elemen masyarakat pegiat kepemiluan. Setidaknya penundaan pemilu sebagai bentuk pemaksaan konstitusi agar tunduk pada kepentingan oligarki.

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Sjarief Hasan menilai usulan penundaan pemilu mengganggu iklim demokrasi. Parahnya, malah merusak konstitusi yang sudah mengatur sedemikian rupa aturan yang menjadi dasar dalam berkehidupan berdemokrasi di tanah air. Dia mengingatkan, penundaan pemilu yang berujung perpanjangan masa jabatan presiden berpotensi pada kekuasaan absolut serta merusak tatanan demokrasi

Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely, yaitu kekuasaan yang cenderung korup, kekuasaan mutlak benar-benar merusak,” ujarnya melalui keterangan tertulis, Jumat (25/2).

Politisi Partai Demokrat itu berpendapat, konstitusi secara tegas mengatur pembatasan masa jabatan presiden hanya 5 tahun dan dapat diperpanjang satu periode berikutnya. Dengan demikian maksimal dua periode alias 10 tahun. Baginya, masa jabatan maksimal dua periode menjadi bentuk koreksi terhadap kekuasaan absolut masa lalu. Karenanya tak boleh terulang lagi di masa reformasi. (Baca: Tiga Alasan DPD Uji Aturan Ambang Batas Pencalonan Presiden)

Ketua DPP Partai Nasional Demokrat (Nasdem) Teuku Taufikulhadi berpandangan usulan penundaan pemilu berdampak terhadap perpanjangan masa jabatan presiden dengan mengamandemen konstitusi. Baginya, usulan tersebut tidaklah bertanggungjawab. Menurutnya perpanjangan masa jabatan presiden satu sampai tiga tahun misalnya berdampak besar terhadap konstitusi.

“Lantas konstitusi mau diobrak-abrik. Itu sungguh tidak setara dibandingkan antara tujuan pragmatis yang hendak dicapai para politisi tersebut dan kerusakan konstitusionalisme kita. Usul itu juga tidak konsisten dengan UU Pemilu kita yang telah kita tetapkan (Februari 2024, red),” ujarnya.

Staf Khusus Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) itu berpendapat, usulan sejumlah pimpinan partai itu menabrak konsistensi dan tidak konsisten dengan jadwal Pemilu 2024 yang sudah diagendakan berdasarkan kesepakatan DPR dan pemerintah. Bahkan menghancurkan konsolidasi demokrasi

Tags:

Berita Terkait