Menunggu Percepatan Pengesahan RUU Administrasi Pemerintahan
Kolom

Menunggu Percepatan Pengesahan RUU Administrasi Pemerintahan

Di antara semua produk hukum yang paling dibutuhkan saat ini, UU AP merupakan instrumen paling strategis dan signifikan untuk menjawab kebutuhan pembaharuan masyarakat dan birokrasi.

Bacaan 2 Menit
Menunggu Percepatan Pengesahan RUU Administrasi Pemerintahan
Hukumonline

 …there are more corruption cases than penal law court decisions on corruption;

the administrative law approach in corruption policy

was underestimated for a long time”.

(G.H. Addink & J.B.J.M. ten Berge, 2007)

Setelah hampir 66 tahun merdeka, Indonesia belum memiliki perangkat hukum khusus untuk mengatur proses penyelenggaraan administrasi pemerintahan yang dijalankan melalui mekanisme aktivitas birokrasi yang secara substansial sering diformulasikan dalam Undang-Undang (UU) Prosedur Administrasi. Spanyol merupakan negara pertama di dunia yang membentuk UU semacam ini yakni dengan disahkannya Azcárate Law pada tanggal 19 Oktober 1889, selanjutnya disusul oleh sejumlah negara lain seperti Austria (1925), Amerika Serikat (1948), Hungaria (1957), Polandia (1960), Jerman (1976) dsb.

Legalisasi prosedur administrasi bukanlah sebagai pengekangan terhadap sikap tindak administrasi negara melainkan sebagai panduan bertindak dalam menjalankan tugas dan fungsi yang diamanatkan kepadanya. Di situlah esensi asas legalitas sebagai ciri ketiga negara hukum modern yakni bahwa keabsahan dan kemanfaatan setiap keputusan pemerintah dapat dilihat dari cara terjadinya, dan dari proses penyusunannya. Merespon kekosongan aturan hukum tersebut, atas prakarsa dan terobosan MENPAN Kabinet Indonesia Bersatu I, Taufiq Effendi, pada 2004 mulai disusun sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) yang mengatur dan memuat prosedur umum dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan, khususnya dalam pembuatan keputusan pemerintahan.

Proses panjang dan berliku

Hampir sewindu sudah proses perjalanan penyusunan RUU-AP. Pembahasannya masih terus berlanjut, terakhir sedang ditelaah oleh para Kepala Daerah dalam Asosiasi Gubernur se-Indonesia, selanjutnya akan diteruskan kepada para Bupati/Walikota(Forum Keadilan Edisi 3 April 2011). Guna menampung masukan dari berbagai kalangan, perubahan draf materi RUU-AP telah terjadi belasan kali, dan antara tahun 2007 dan 2011, sudah dua kali dibahas dalam rapat kabinet terbatas di Istana Negara, termasuk dua kali dinominasikan masuk daftar prolegnas di Senayan, tahun ini berada pada urutan ke-62 dari 71 RUU yang ditargetkan untuk disahkan.

Sehubungan dengan rencana kerja pemerintah selama tahun berjalan ini, dimana agenda Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola ditempatkan sebagai prioritas pertama perhatian pemerintah, maka sebenarnya pengesahan RUU-AP menjadi sangat relevan dan dibutuhkan guna menunjang terwujudnya rencana kerja pemerintah tersebut. Apakah penyebab lambannya RUU ini disahkan?

Dari segi muatannya, konstruksi RUU AP tidaklah diarahkan untuk sampai mengatur hal-hal yang bersifat teknis-operasional, melainkan difokuskan ke sejumlah point pokok atau ketentuan umum (algemene norm), yang bersifat mendasar dan mendesak. Antara lain seperti isu bagaimana kebebasan bertindak aparatur pemerintah (diskresi), soal larangan konflik kepentingan (conflict of interest), penyalahgunaan wewenang (abuse of power), syarat pembuatan keputusan, penegasan sumber kewenangan dll. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa materi yang telah digarap selama ini, telah menyediakan fondasi menuju transformasi tata kepemerintahan. Apabila materi yang ada sekarang setelah disahkan dinilai masih belum optimal tentu kemudian dapat dilakukan maksimalisasi melalui penyesuaian lebih lanjut baik melalui perubahan maupun pengaturan lebih lanjut dalam aturan-aturan yang bersifat sektoral, sebagaimana dipraktekan sejumlah negara yang sudah lebih dulu mengenal legislasi semacam ini.

Ambil contoh Belanda, untuk memperbaharui wet AROB menjadi AWB (Algemene wet bestuursrecht/General Administrative Law Act), dilakukan secara bertahap: antara tahun 1994, 1998 dan 1999 dst. Sehingga point utamanya di sini adalah bagaimana menjawab kekosongan UU AP dulu. Dikuatirkan apabila semakin lama ditunda, seiring bergulirnya waktu, maka konsep yang sudah disusun akan terancam maju-mundur, tak pelak risikonya adalah kondisi yang hendak diperbaiki justru akan lebih sulit untuk ditangani. Nasib RUU KUHP yang terkatung-katung sejak dua dasawarsa silam setidaknya mencontohkan kasus tersebut. Memang, sejumlah kebijakan perundang-undangan lain maupun berbagai produk hukum yang terkait di bidang penataan birokrasi juga, tidaklah sedikit jumlahnya yang telah diupayakan terutama oleh Pemerintah. Terlebih lagi bila dihubungkan dengan kehadiran UU Keterbukaan Informasi Publik, UU Pelayanan Publik, UU Ombudsman RI maupun kebijakan lainnya, namun kendati begitu bukanlah berarti pengesahan RUU-AP telah kehilangan urgensinya. Di antara semua produk hukum yang paling dibutuhkan saat ini, UU AP merupakan instrumen paling strategis dan signifikan untuk menjawab kebutuhan pembaharuan masyarakat dan birokrasi (law as a tool of social and bureucratic engineering).

Bukanlah sesuatu yang berlebihan jika dikatakan materi RUU-AP pada dasarnya merupakan perwujudan inti dari hakikat hukum administrasi negara yaitu untuk memungkinkan aparatur pemerintah menjalankan fungsinya serta melindungi warga dari sikap tindak aparatur tersebut dan sekaligus untuk melindungi aparatur pemerintah itu sendiri.

Tags: