Menyoal Divestasi Saham dalam PP Minerba
Utama

Menyoal Divestasi Saham dalam PP Minerba

Penawaran divestasi saham sebaiknya juga bisa dilakukan melalui pasar modal.

Yoz
Bacaan 2 Menit
Usulan divestasi saham perusahaan tambang asing lewat bursa, mencuat dalam<br> seminar “Satu Tahun UU Minerba dan Implementasi PP Minerba 2010” yang<br> diselenggarakan hukumonline. Foto: Sgp
Usulan divestasi saham perusahaan tambang asing lewat bursa, mencuat dalam<br> seminar “Satu Tahun UU Minerba dan Implementasi PP Minerba 2010” yang<br> diselenggarakan hukumonline. Foto: Sgp

Pasal 97 Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) mengatur soal divestasi saham perusahaan tambang asing yang beroperasi di Indonesia. Disebutkan dalam pasal tersebut, modal asing pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) setelah 5 tahun sejak berproduksi wajib melakukan divestasi sahamnya, sehingga sahamnya paling sedikit 20 persen dimiliki peserta Indonesia.

 

Lantas, apakah kepemilikan tersebut cukup berarti, mengingat saham minoritas tidak memberikan kendali atas perseroan? Praktisi hukum Ahmad Fikri Assegaf mengatakan, dari segi hukum dan komersial, hal semacam itu menjadi perbedaan yang sangat mendasar. Pasalnya, Kontrak Karya yang dulu diberikan Pemerintah, mewajibkan divestasi bertahap sampai dengan 51 persen.

 

Ia mempertanyakan, apakah benar kepemilikan saham 20 persen bisa efektif untuk membangkitkan pengusaha lokal, atau hanya sekadar basa-basi agar terkesan ada keturutsertaan pengusaha lokal dalam industri pertambangan. “Hal ini masih menjadi tanda tanya,” ujar Fikri dalam seminar “Satu Tahun UU Minerba dan Implementasi PP Minerba 2010” yang diselenggarakan hukumonline, di Jakarta, pekan lalu.

 

Fikri menjelaskan, keuntungan kewajiban divestasi yaitu memberikan kesempatan kepada pihak Indonesia untuk berpartisipasi pada perusahaan tambang yang telah memasuki tahap produksi. Hal ini dapat mengurangi penguasaan pihak asing atas aset-aset tambang nasional. Kendati demikian, divestasi juga memiliki kelemahan bagi perusahaan, yakni memakan waktu dan biaya.

 

Dikatakan Fikri, proses divestasi setidaknya membutuhkan waktu lebih dari setengah tahun. Selain itu, hasil divestasi belum tentu memenuhi return yang dikehendaki investor. “Kita belum tahu bagaimana nanti menteri menetapkan mekanisme penetapan harganya, mudah-mudahan metode penetapan harga itu tetap me-refer pada pasar,” terang pengacara dari kantor Assegaf & Partners ini.

 

Kelemahan lainnya adalah partnership dengan pihak Indonesia, belum tentu menguntungkan baik bagi perusahaan tambang ataupun bagi investor. Selanjutnya, bagi investor asing, investasi di atas 80 persen bisa jadi kurang menarik karena ada kewajiban divestasi.

 

Sejatinya, kebijakan divestasi bukan sesuatu yang baru di industri pertambangan. Kontrak Karya pada umumnya mewajibkan divestasi bertahap sampai dengan 51 persen. Berbagai peraturan penanaman modal asing juga mewajibkan divestasi setelah melalui jangka waktu atau tahapan tertentu.

 

Dalam PP No. 23/2010 disebutkan, divestasi saham dilakukan secara langsung kepada peserta Indonesia yang terdiri atas pemerintah, pemerintah daerah provinsi (pemprov), atau pemerintah daerah (pemda) kabupaten/kota, BUMN, BUMD, atau badan usaha swasta nasional. Apabila pemerintah tidak bersedia membeli saham perusahaan yang akan didivestasi, ditawarkan kepada pemprov atau pemda kabupaten/kota. Apabila pemprov atau pemda kabupaten/kota tidak bersedia juga, ditawarkan kepada BUMN dan BUMD melalui cara lelang. Lalu, apabila BUMN dan BUMD juga tidak bersedia membeli saham, ditawarkan kepada badan usaha swasta nasional dilaksanakan dengan cara lelang.

 

Fikri mengatakan divestasi dengan cara Initial Public Offering (IPO) atau melalui pasar modal, jauh lebih bermanfaat bagi negara. “Soalnya partisipasi masyarakat untuk membeli saham sebesar 20 persen akan lebih luas,” tuturnya.

 

Namun yang lebih penting lagi, sambung Fikri, perusahaan tambang tersebut akan berada dalam lingkup UU Pasar Modal yang di dalamnya terdapat ketentuan keterbukaan, ketentuan governance, dan perlindungan saham minoritas yang relatif lebih baik daripada perusahaan tertutup. Dengan begitu, dia meyakini hasil yang bisa didapat oleh pemegang saham sebesar 20 persen bisa lebih optimal.

 

“Tidak ada larangan di dalam undang-undang atau peraturan pemerintah karena tidak ada pembahasan sama sekali. Saya pikir nantinya hal semacam ini bisa masuk ke dalam peraturan menteri,” usul Fikri. Bila sudah 20 persen saham itu dimiliki masyarakat, maka bisa dianggap hal itu telah memenuhi ketentuan undang-undang dan peraturan pemerintah mengenai divestasi. “Kalau bisa hal ini tercantum juga dalam peraturan menteri,” tambahnya.

 

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesian Mining Association (IMA) Priyo Pribadi Soemarno mengatakan, sepanjang mengikuti kaidah bisnis, maka divestasi saham sebesar 20 persen tidak menjadi masalah bagi investasi tambang. “Itu adalah hal yang normal,” ucapnya.

 

Setuju dengan  Fikri, ia beranggapan, selain ditawarkan secara langsung kepada pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota, BUMN, BUMD, atau badan usaha swasta nasional, divestasi saham sebaiknya bisa dilakukan juga melalui pasar modal.

Tags:

Berita Terkait