Menyoal Kewenangan IDI, Ahli: Uji UU Praktik Kedokteran Nebis in Idem
Berita

Menyoal Kewenangan IDI, Ahli: Uji UU Praktik Kedokteran Nebis in Idem

Mantan Pengurus IDI periode 2015–2018 membantah dalil yang diungkapkan para Pemohon mengenai adanya intervensi IDI terhadap Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia. Padahal, faktanya Majelis Kolegium bersifat mandiri dan hubungan antara IDI dan Majelis Kolegium bersifat koordinatif.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji materi Pasal 1 angka 12 dan angka 13 serta Penjelasan Pasal 1, Pasal 28 ayat (1), Pasal 29 ayat (3) huruf d beserta penjelasannya, dan Pasal 30 ayat (2) huruf b UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran terkait kewenangan sangat besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Sidang kali ini mendengar keterangan ahli dan saksi dari pihak terkait Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yakni Ketua Asosiasi Dosen Hukum Kesehatan Indonesia Muh. Nasser dan Muhammad Akbar.

 

Dalam keterangnnya, Muhammad Nasser menilai aturan yang dimohonkan para Pemohon bukan pasal, melainkan penjelasan pasal-pasal UU Praktik Kedokteran. Karena tidak terkait norma, sehingga tidak layak untuk diadili oleh MK. Dia juga menilai permohonan ini pengulangan dari permohonan sebelumnya yakni Putusan MK No. 10/PUU-XV/2017. “Permohonan ini seharusnya tidak perlu diperiksa karena menambah beban Majelis MK,” kata Nasser dalam persidangan, Senin (12/2/2019).

 

Ditegaskan Nasser, ketentuan/atuan yang diuji yang tidak bermuatan norma tidak dapat diuji. Terlebih, permohonan ini sebenarnya telah diputus dalam Putusan MK No. 10/PUU-XV/2017. Intinya, putusan itu MK menegaskan bahwa IDI dilarang merangkap sebagai anggota Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). (Baca Juga: MK ‘Larang’ Pengurus IDI Jadi Anggota KKI)

 

Selain itu, kata Nasser, permohonan uji materi Pasal 28 ayat (1) UU Praktik Kedokteran telah diuraikan dalam Putusan No. 10/PUU-XV/2017 tersebut. Dalam halaman 303 putusan tersebut berbunyi “Pengaturan mengenai kegiatan internal organisasi yang berkaitan dengan bidang pendidikan kedokteran menjadi tanggung jawab Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia,” kata dia.

 

Karenanya, dia merasa nampaknya isi permohonan ini hanya pengulangan saja dengan menggunakan susunan kosakata yang berbeda. Artinya, permohonan ini dapat dikatakan nebis in idem. “Permohonan ini kehilangan objek karena sudah pernah diputus sebelumnya termasuk dengan frasa ‘kolegium’ dalam Penjelasan Pasal 29 ayat (3) huruf d sangat jelas telah ada dalam outusan sebelumnya,” kata dia.

 

Sementara M. Akbar sebagai saksi yang merupakan Pengurus IDI periode 2015–2018 dalam keterangannya membantah dalil yang diungkapkan para Pemohon mengenai adanya intervensi IDI terhadap Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia. Menurutnya, Majelis Kolegium bersifat mandiri. “Hubungan antara IDI dan Majelis Kolegium bersifat koordinatif. (Jadi) IDI tidak bisa mengintervensi,” ujarnya.

 

Seperti diketahui, permohonan ini diajukan 36 orang yang terdiri dari dosen, pensiunan dosen dan guru besar bidang kedokteran yang diinisiasi oleh Judilherry Justam. Misalnya, Pasal 1 angka 12 UU Praktik Kedokteran pada pengertian frasa “Ikatan Dokter Indonesia” ditafsirkan secara sempit semata-mata sebagai Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI) untuk tingkat nasional.

 

Padahal, menurut para Pemohon dalam lingkungan (struktur) IDI terdapat beberapa majelis yang sifatnya otonom, seperti Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian (MPPK), dan Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI). Pengertian IDI dalam pasal tersebut dinilai menempatkan majelis-majelis tersebut menjadi subordinat dari PB-IDI. Khususnya bagi MKKI yang berakibat pada kesewenangan PB-IDI untuk campur tangan dalam bidang akademis/pendidikan dokter.

 

Dampak negatif dari pasal-pasal tersebut, menurut para Pemohon apabila tidak dikoreksi atau direvisi akan menjadikan PB-IDI menguasai atau mengendalikan bidang kedokteran dari hulu hingga ke hilir karena tidak terciptanya mekanisme check and balances diantara lembaga-lembaga dalam lingkungan IDI sebagaimana dipraktikkan senior-senior IDI pada masa-masa tahun 2000-an.

 

Untuk itu, frasa “Ikatan Dokter Indonesia” dalam Pasal 1 angka 12 dalam organisasi profesi adalah Ikatan Dokter Indonesia untuk dokter dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia untuk dokter gigi bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “Ikatan Dokter Indonesia dengan struktur kepemimpinan yang terdiri dari Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI), Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI), Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), dan Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian (MPPK) yang masing-masing memiliki wewenang dan tanggung-jawab sesuai tugasnya.”

 

Menyatakan frasa “pendidikan dan pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi berkelanjutan oleh organisasi profesi” dalam Pasal 28 ayat (1) yang berbunyi, “Setiap dokter atau dokter gigi yang berpraktik wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi berkelanjutan yang diselenggarakan oleh organisasi profesi dan lembaga lain yang diakreditasi oleh organisasi profesi dalam rangka penyerapan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran atau kedokteran gigi” bertentangan dengan UUD dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai sebagai “pendidikan dan pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi berkelanjutan oleh organisasi profesi dengan pengawasan pemerintah dan KKI sebagai regulator.”

 

Pemohon juga meminta frasa “kolegium” dalam Penjelasan Pasal 29 ayat (3) huruf d dalam hal “Sertifikat kompetensi dikeluarkan oleh kolegium yang bersangkutan” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai sebagai “kolegium dokter spesialis, sedangkan kolegium untuk dokter (basic medical doctor) adalah fakultas kedokteran dan atau gabungan fakultas kedokteran yang berakreditasi tertinggi.”

 

Dan, frasa “kolegium dibentuk oleh organisasi profesi” dalam Pasal 1 angka 13 dalam hal  “Kolegium kedokteran Indonesia dan Kolegium Kedokteran Gigi Indonesia adalah badan yang dibentuk oleh organisasi profesi untuk masing-masing cabang disiplin ilmu yang bertugas mengampu cabang disiplin ilmu tersebut” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai sebagai “kolegium dibentuk oleh organisasi profesi dengan disahkan, dibina, dan diawasi oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).”

Tags:

Berita Terkait