Pemohon III juga mengeluhkan lagu ciptaannya diaransemen ulang kemudian diunggah dalam bentuk UGC, dipublikasi dalam berbagai platform layanan digital media sosial. Hasil aransemen ulang itu dieksploitasi pihak tidak bertanggung jawab dan video cover version itu digunakan sebagai bahan materi yang dapat digunakan pengguna platform layanan digital.
Misalnya materi untuk konten berupa video pendek mempromosikan jasa dan/atau barang dagangan. Pemohon berharap Pasal 10 dan 114 UU 28/2014 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. Dengan begitu Pemohon berharap tidak mengalami lagi kerugian hak konstitusional.
Dalam pertimbangan hukumnya, mahkamah berpendapat Pasal 10 UU 28/2014 belum mengikuti perkembangan teknologi saat ini. Sebab ketentuan itu masih menggunakan terminilogi ‘barang’ dan ‘tempat perdagangan’ yang relevan untuk produk fisik yang dijual di toko atau pasar. Tapi tidak memberikan makna untuk industri musik, lagu, film dan lainnya serta tempat perdagangan berbasis teknologi digital.
Maka, diperlukan perluasan makna terhadap istilah ‘tempat perdagangan’ dan ‘barang’ dalam ketentuan tersebut agar relevan dengan perkembangan zaman yang serba digital. Mahkamah mengingatkan UU 28/2014 perlu penafsiran baru terkait materi platform digital berbasis UGC.
“Dan segala bentuk perkembangannya ke depan sebagai salah satu tempat perdagangan yang mewajibkan pengelolanya untuk tidak melakukan pembiaran, penjualan, dan/atau penggandaan barang”, kata hakim konstitusi Prof Arief Hidayat membacakan sebagian pertimbangan putusan perkara No.84/PUU-XXII/2024, Kamis (29/02/2024) lalu.
Menurut Prof Arief Pasal 10 UU 28/2014 dapat ditafsirkan secara ekstensif tidak hanya ruang fisik, tapi juga virtual. Dengan penafsiran itu dapat menciptakan pelindungan dan rasa adil bagi para pencipta/pemegang hak cipta/pemilik hak terkait karena mengingat maraknya transformasi model bisnis konten digital dan peralihan yang sangat signifikan dari ruang fisik ke ruang digital.
Sehingga, dengan metode penafsiran tersebut, Pasal 10 UU 28/2014 dapat mencakup pula baik ruang fisik (physicaly commerce) maupun ruang virtual (market place atau cyberspace commerce), begitu pula, platform digital dapat diidentifikasikan dengan frasa ‘tempat perdagangan’.